Seide.id – Setiap membaca cerita pendek dari penulis-penulis ternama termasuk Bapak Saya Gerson Poyk , saya mengamati teknik mereka bercerita secara detail, mulai dari tema, teknik penulisan cerita, kalimat demi kalimat mulai dari lead/alinea pertama, tubuh cerpen dengan permainan konfliknya dan menganalisis makna apa yang mau disampaikan.
Kalau tulisan Bapak saya di tubuh cerpen sebelum penutup, lebih banyak bermain dengan filsafat (karena ia pembaca buku-buku filsafat yang militan), maka untuk cerpen-cerpen lain saya menganalisis konflik yang ditampilkannya.
Ada memang cerpen-cerpen surealis yang absurd dan saya setengah mati mencari makna di baliknya denga tanya apa maksud atau pesan dari cerpen ini.
Begitu terus, maka diam-diam jika ada dana saya beli kumpulan cerpen penulis-penulis hebat Indonesia untuk saya telisik dan pelajari bagaimana gaya mereka menggambarkan situasi yang ada dengan padat, kuat dan indah dalam bentuk cerita pendek yang hanya dibutuhkan beberapa ribu karakter atau kata saja.
Begitulah cara saya belajar, ratusan cerpen Bapak saya Gerson Poyk sudah saya baca dan analisis, beliau selalu mengetengahkan kehidupan marginal yang sarat pesan. Meski demikian, saya selalu menggali gaya menulis saya dengan kalimat, ‘inilah saya’. Ketika seseorang membaca cerpen-cerpen saya ia akan tahu itu ‘style’ penulisan saya.
Kemudian tatkala heboh dengan plagiarisme, saya tertegun, hampir 45 tahun saya menulis, sampai sekarang saya masih terus belajar dan belajar.
Satu karya ketika sudah jadi akan mengalami proses editing berkali-kali sampai ia menjadi karya yang layak untuk dibaca. Begitulah, jangan menjadi plagiat tapi belajarlah menulis dengan tekun dan terus-menerus hingga kita tak mampu menulis lagi. Jujurlah pada diri sendiri.
(Fanny Jonathan Poyk)