Foto : Tirto
Nama Dr. Terawan di publik nasional lebih harum ketimbang IDI. Terawan adalah dokter ikonik. Pinter, kreatif, dan tak pernah lelah mengabdi untuk negara dan masyarakat.
IDI? Maaf aku sering mendapat cerita tentang kebusukan IDI. Konon, banyak pasen dirugikan karena kode etik dokter versi IDI. Tak sedikit orang menduga IDI adalah tempat berlindung dokter dokter nakal.
Kata orang, banyak dokter lulusan luar negeri tak bisa buka praktik di Indonesia karena terhalang aturan IDI. IDI — konon — adalah blocking dokter-dokter pinter, kreatif dan berprestasi. Maklumlah, pengurus IDI –kata sebuah sumber — tak lebih dari orang-orang LSM yang besekongkel dengan pabrik-pabrik farmasi.
Betulkah dugaan di atas! Wallahu a’lam. Tapi begitulah yang aku dengar.
Kenapa biaya berobat di Indonesia lebih mahal ketimbang di Malaysia, konon, itu karena IDI. Kenapa obat-obat tradisional tertentu yg sudah terkenal ampuh, tidak pernah jadi resep dokter. Itupun karena aturan IDI.
Aku sendiri punya pengalaman disetrap dokter karena bercerita tentang ampuhnya obat tradisional untuk mengatasi diabet. Sampai-sampai aku mau diusir dari ruang dokter karena bercerita tentang obat-obat herbal untuk diabet tersebut.
Aku sudah lama dok pakai obat herbal untuk meringankan diabet. Kataku.
Lo, kenapa kamu datang ke dokter untuk mengobati diabetmu? Sergah dokter.
Aku diam. Karena aku butuh rekomendasi kondisi diabetku agar bisa operasi katarak.
Sejak itu aku tahu ternyata dokter anti obat herbal. Konon, itulah aturan IDI. Padahal sumpah, dalam mengendalikan diabet sejak 10 tahun lalu, aku hampir 100 persen memakai herbal. Aku rajin minum rebusan daun talok (cerri), makan sayur buncis, dan pete. Tentu menghindari gula pasir dan makanan kalori tinggi. Hasilnya, tetap sehat. Termasuk aktivitas seksual. Masih lancar jaya.
Kembali ke IDI. Campur tangan IDI tampaknya terlalu jauh dalam dunia kedokteran. Dan IDI tampaknya akan menendang siapa pun yang “membelot” dari pakem aturannya.
Celakanya di dunia kedokteran, organisasi profesinya hanya IDI. Tak ada yang lain. Bandingkan misalnya dengan dunia advokat. Di sana ada beberapa organisasi profesi dan masing-masing berhak mengeluarkan sertifikasi kepengacaraan.
Kini IDI kembali menyalak. Mungkin untuk membesarkan pengaruhnya. Korbannya Dr. Terawan. Seorang dokter ikonik yang kreatif, berprestasi, dan karyanya bermanfaat untuk pasien. Puluhan ribu pasien stroke tertolong oleh kreativitas Dr. Terawan yang menggunakan metode “cuci otak”nya.
Cuci otak adalah istilah lain dari flushing atau Digital Substraction Angiography (DSA) yang dilakukan Terawan untuk melancarkan peredaran darah di kepala. Cara ini terbukti berhasil menangani berbagai jenis stroke yang diderita pasen. Terawan mengklaim 40 ribu pasien telah mencoba DSA. Hasilnya bagus. Menko Polhukam Mahfud MD, misalnya, dalam tulisannya membenarkan efektivitas metode DSA tadi. Mafud yang pernah dua kali cuci otak sampai mengajak istrinya untuk berobat ke Terawan. Hasilnya bagus. Ujar Mahfud.
Metode DSA pun dibahas dalam disertasi doktor Terawan di Universitas Hasanudin, Makasar. Dan Terawan lulus setelah berdebat panjang mempertahankan disertasinya. Kurang apa ilmiahnya?
IDI sampai hari pemecatan Terawan sebagai anggotanya, lucu, masih tetap mempersoalkan metode terapi cuci otak yang menggunakan DSA tadi. Konon, kata IDI, ia belum teruji secara ilmiah. Padahal, sudah banyak artikel di jurnal ilmiah internasional yang membahas metode DSA. Tak ada masalah. Fine dengan dunia ilmiah.
Meski IDI menganggap metode cuci otak itu belum teruji, namun sejumlah pejabat di Tanah Air sudah mencoba sentuhan tangan dokter Terawan. Para pejabat tadi bahkan mengakui khasiat dari metode cuci otak tersebut.
Saking fenomenalnya metode DSA terobosan Terawan, mantan Kepala BIN Jenderal (purnawirawan) Hendroproyono ingin mengusulkan Terawan mendapat hadiah Nobel. Ini karena metode DSA memberikan harapan baru bagi penderita stroke yang sulit diobati. Kata Hendropriyono.
Barangkali itulah sebabnya anggota Komisi IX DPR RI Fraksi NasDem, Irma Suryani Chaniago, turut berkomentar nyinyir terhadap keputusan IDI.
Di samping masalah DSA, alasan lain pemecatan Terawan dari IDI adalah karena melakukan promosi kepada masyarakat luas tentang Vaksin Nusantara sebelum penelitian mengenai vaksin itu selesai.
Menurut Irma, seharusnya IDI memberikan dukungan terhadap Terawan soal Vaksin Nusantara. Bukan justru malah terkesan menghalang-halangi dengan menjadikan alasan untuk memecat Terawan.
“Program cuci otak selain bermanfaat, tidak ada dampak negatif dari tindakan medis tersebut. Sementara untuk vaksin Nusantara karya anak bangsa harusnya IDI memberikan support — bukan menghalang halangi. Tentu saja akhirnya publik mencurigai bahwa tindakan IDI tersebut merupakan pesanan perusahaan farmasi,” kata Irma Senin (28/3/022) di Jakarta.
Bagaimana IDI? Ternyata nama Terawan di mata publik lebih terhormat ketimbang IDI. Maju terus Terawan. Publik di belakangmu.