Terbalik

Kata otodidak sering diartikan dengan salah kaprah, salah yang ‘tak terasa salah’. Otodidak, kerap diartikan sebagai orang yang menjadi ahli di bidang tertentu. Biasanya bidang seni. Misalnya seni lukis, seni suara, seni sastra, seni peran, seni arkitektur, tulis-menulis, dll.

Pendeknya orang tanpa belajar, tapi menjadi ahli di bidang tertentu. Menurutku itu namanya bukan otodidak, tapi:…wangsit. Wangsit diperoleh jika seseorang bertapa. Bertapa di goa-goa, tempat-tempat sepi nyenyet di atas bukit. Bertapa itu semacam menyepi ya, bukan ‘bertapa malang nasibku’. Kalok itu lagu. Judulnya kalok gak salah: “Ratapan anak tiri”…? Dan wangsit itu, semacam karomah atau wahyu. Bukan orang yang suka berlari-lari, kadang meniup peluit itu.

Otodidak, adalah orang menjadi ahli di bidang tertentu karena belajar sendiri. Belajar dari banyak dan beragam bacaan. Belajar dari berbincang dengan teman atau siapa saja. Mencoba berulang-ulang. Mencoba hal-hal baru. Juga termasuk belajar dari kesalahan. Baik kesalahan orang lain, terutama kesalahan diri sendiri (kerennya disebut eksperimen). Pendeknya, belajar tanpa guru dan tidak di sekolah formal.

Orang yang bersekolah formal untuk bidang tertentu, setelah lulus, setelah meraih keahlian yang diharapkannya, setelah selesai sekolah, cenderung berhenti mempelajari bidang itu. Malah ketika memasuki dunia kerja, tak jarang orang tidak mengerjakan sesuatu sesuai dengan bidang yang dipelajarinya. Tapi orang otodidak, cenderung terus belajar, bahkan belajar sepanjang hidup tentang bidang yang digelutinya.

Dulu, ketika menjadi ilustrator -untungnya- aku adalah junior di antara 2 orang ilustrator lain di tempatku bekerja. Sehingga -seperti umumnya junior- aku nothing to lose’ saja. Baik secara kecepatan pengerjaan, atau mutu karya, haha. Dan yang paling penting aku banyak belajar dari 2 orang senior itu. Ketika bekerja, kami kerap saling bergurau, menggoda dan mengejek (menyemangati sesungguhnya) tentang karya masing-masing.

Berbagai gaya dan alat kami coba. Mulai dari pensil, pensil warna, konte, arang batu, tinta Cina, cat air, (ketumpahan) cairan kopi, spidol, marker, stabilo, akrilik, bahkan tip-ex (merk),…dll.

Tapi, aku penasaran dengan seni cukil kayu dan atau etsa.

Cukil kayu adalah seni grafis. Disebut cukil kayu, karena bidang gambarnya memang kayu. Biasanya yang digunakan adalah kayu yang empuk, supaya mudah untuk dicukil atau ditoreh.

Cara berfikir ketika menggambar dengan teknik cukil kayu adalah: terbalik. Bidang yang dicukil atau ditoreh, justru nantinya berwarna putih atau warna seturut warna kertas. Yang tercetak pada kertas adalah bagian kayu yang tidak dicukil atau ditoreh. Baik, aku berikan contoh yang mudah-mudahan bisa ditangkap.

Seandainya kita menggambar wajah. Di bagian mata, misalnya: justru yang bagian putih itulah yang dicukil, sementara, gambar biji matanya dibiarkan. Orang jadul, biasanya masih mengenal film negatif. Nah, seperti itulah, menggambar teknik cukil kayu. Nanti setelah dicetak, hasilnya adalah kebalikannya.

Etsa, lebih rumit lagi. ‘Kayunya’ adalah logam. Bisa lempengan seng, besi, atau logam lain. Biasanya tembaga. Untuk tangkai pencukil atau penggoresnya digunakan logam juga. Semacam paku atau ujung jangka yang terbuat dari besi runcing, mirip jarum. Pelukis Rembrandt adalah salah-satu maestro etsa yang karyanya dahsyat.

Sebelum masuk ke percetakan, naskah dirancang oleh bagian grafis. Bagian-bagian yang nanti akan ditaruh foto, biasanya diblok hitam. Settingan terbuat dari semacam kertas yang mirip kertas foto, tapi lebih tipis.

Nah, suatu ketika, aku terdesak deadline. Bidang foto diblok hitam yang akan diletakkan foto itu, ternyata orang yang difoto berkeberatan (kalau tak salah rubrik ‘peristiwa’).

Akhirnya aku berinisiatif menggambar di bidang hitam itu dengan teknik cukil kayu atau etsa. Alat pencukil atau penorehnya bukan alat khusus untuk teknik cukil kayu atau etsa, tapi…cutter. Srek-srek-srek,…jadilah gambar.

Lalu,…sejak itu, untuk ilustrasi beberapa rubrik, khususnya untuk rubrik cerpen, aku jadi kerap menggambar dgn teknik cukil kayu atau etsa di kertas foto hitam ditoreh cutter.

Aku sempat menikmati, teknik itu.

Menggambar dgn ‘berfikir terbalik..’
(Aries Tanjung)