Bukan soal karena telah menjalankan teori pengasuhan yang terbaik, melainkan kita menjadi orang tua yang baik
“Bu, saya suka merasa bersalah, kok belum pas dan sejalan dengan parenting yang diomong-omongin itu ya. Saya masih suka ngomel, nggak oke kalau berkata-kata, dan banyak salahnya. Gimana agar tidak terintimidasi, Bu?”
Sebuah pertanyaan terlontar dari peserta webinar di mana saya diundang sebagai pembicaranya.
Di hari yang sama, saya mendapat kisah serupa ketika menjenguk seorang teman yang baru menjadi ibu baru.
“Aku tuh diminta bidan tempatku konsultasi untuk fokus menyusui bayi saja, konsentrasi untuk memerhatikan bagaimana kondisi dan perkembangannya saja. Bu Bidan bilang, kamu jangan baca-baca dulu tulisan parenting, nggak usah peduli teori ini, teori itu. Tapi … ternyata bener banget kata-katanya. Perjuangan untuk bisa menyusui aja aku kudu kerja keras, apalagi kalau masih ditambah komen tentang bingung puting, sufor, bonding, harus A, B, C dalam mengasuh anak. Jujur, pasti lebih stress akunya!”
Saya acungkan jempol untuk sikap yang ditunjukkan teman itu. Menjadi ibu baru saja, seorang perempuan bagai terlahir kembali. Menjadi manusia yang berbeda, dengan tugas, kewajiban dan tanggung jawab yang tak serta-merta mudah. Semuanya sungguh sangat menantang. Apalagi, bila berhadapan dengan media sosial dan konten yang tanpa disadari malah merundung, bukan mendukung.
Saya sepakat bahwa kita sangat mungkin terbebani dengan segala omongan parenting dalam bentuk konten di media sosial. Di sisi lain, sebagai penulis banyak isu parenting, saya jadi berefleksi apakah tulisan saya yang juga sebagian besar parenting benar mengintimidasi dan memojokkan ibu-ibu yang lain. Kadang muncul perasaan malu, ketika menyadari ada hal-hal juga yang masih perlu saya terapkan sendiri.
Akhirnya, saya menyimpulkan; hal yang sangat mutlak dari semua teori parenting, pemilihan teori dan penerapannya bagi setiap orang tua bersifat sangat PERSONAL. Karena proses tumbuh kembang anak-anak dari satu keluarga dengan keluarga lain berbeda. Ketika ada anggota keluarga yang tinggal serumah atau extended family, seperti kakek nenek, paman, bibi, hal itu pun berpengaruh terhadap gaya pengasuhan. Belum lagi, lingkungan tempat tinggal antara perkampungan dan perumahan clustertentu akan berbeda.
Lalu, saya juga mempertanyakan tentang tokoh parenting yang membuat ibu-ibu terintimidasi. Apakah dia orang tua biasa seperti saya, yang juga masih jungkir balik, salto, kayang menghadapi dinamika pengasuhan, tetapi senang berbagi pengalaman. Atau apakah sharing pengasuhannya hanyalah gimmick dari marketing produk yang dianggap mendukung pengasuhan semata? Dalam arti hanya dengan memakai produk itu, anak kita akan terasuh didik dengan baik, berkembang menjadi anak yang hebat dan cerdas. Bila demikian, itu bukan sharing parenting, melainkan (maaf) jualan. Di surat kabar atau majalah, hal ini umum disebut advertorial. Mengemas kisah untuk mengiklankan produk.
Ibu-ibu muda tentu mudah menjadi target empuk untuk tipikal marketing semacam itu. Karena telah memiliki perasaan, duh saya baru jadi ibu. Belum pengalaman. Saya perlu belajar ini, itu, a-z, teori barat maupun timur; tanpa benar-benar tahu yang sebenarnya dibutuhkan apa.
Lalu, saya ditanya lagi. “Nah, ibu sendiri banyak berbagi tentang pengasuhan. Pernah merasa nggak, misal hal yang terjadi di rumah kontradiktif dengan tulisan sendiri?”
Tentu, saya pernah merasa dan pernah terjadi. Sungguh malu banget bila saya belum menjalankan apa yang sudah saya berapi-api omongkan. Namun, saya jadi tertantang untuk menyiasatinya. Apa yang saya tulis haruslah hal yang saya dan anak-anak alami. Selalu ada ilustrasi nyata dari apa yang terjadi di rumah, sekolah anak saya, pertemanan mereka, kejadian sehari-hari. Yang jelas, bahan tulisan saya adalah hal yang riil. Bukan karangan atau hal ideal semata.
Dengan karakter semacam itu, tulisan saya akhirnya terkondisikan sebagai catatan pengingat tentang apa seharusnya saya upayakan sebagai orang tua bagi anak sendiri.
Menjadi orang tua bagi saya adalah pekerjaan rumah seumur hidup, yang berarti tak ada waktu rehat untuk tak belajar. Menurut laman ChildCare.Gov orang tua merupakan guru terpenting dalam kehidupan anak. Hanya orang tua lah yang tahu hal yang terbaik bagi anaknya. Mempelajari bagaimana anak bertumbuh dan berkembang adalah cara terbaik untuk memahami apa yang mereka pahami dan sesungguhnya akan mendapatkan makin banyak hal baru untuk mendukung anak belajar dan menjadi diri mereka sendiri.
Oleh karena itu, bukankah sudah sewajarnya bila anak bertumbuh, orang tua pun ikut bertumbuh. Sehingga anak dan orang tua saling berkembang bersama, tak ada yang merasa tertinggal.
Pernyataan Katherine Williams, Dana Dance-Schissel dalam modul perkuliahan tentang hubungan orang tua dan anak akhirnya sangat pas untuk menutup tulisan perihal pengasuhan ini.
Bahwa bukan karena telah menjalankan teori pengasuhan yang terbaik, kita menjadi orang tua yang baik.
Namun, ketika sebagai orang tua kita memiliki hubungan dengan anak dimana mereka merasa dicintai, diterima, dan merasa aman.
Orang tua yang baik akan bisa mendengarkan bagaimana perasaan anak-anak, menginginkan yang terbaik untuk mereka, dan tak demikian mudah menggunakan hukuman fisik maupun mental.
Bagaimana kalau untuk tidak terintimidasi, kita berupaya menjadi seperti demikian dahulu?
Kreativitas dan Menerbitkan Buku/Novel Secara Indie
CHEATING: Hal Penting Lain Dari Sekedar Mengurus Perempuan atau Lelaki Lain