“Mana lebih baik, tidak beragama tetapi tidak berbuat dosa; ataukah mengaku beragama tetapi sering membunuh, menebar bom, korupsi uang negara dan lebih percaya penampakan setan daripada kekuatan kuasa Tuhan?”
Oleh EDDY J SOETOPO *
SEORANG rekan wartawati blasteran Rusia-Vietnam, mengaku pemeluk Katholik Orthodok, dalam perbincangan melalui internet jelang hari pencoblosan tahun lalu, menggunakan bahasa gado-gado Ingris-Rusia, entah ingin ngeledek atau tanya beneran, ia menanyakan, “benarkah di negaramu banyak hantu bergentayangan, sehingga televisi gemar menayangkan acara ghost buster?” Lama saya tercenung di depan layar monitor hingga dengan santun ia menegur, “Maaf, apakah Mas Jawa, masih berada di depan komputer,” tulisnya menggunakan huruf cyrillic.
Dalam hati rasanya ingin berteriak, “Celaka tigabelas, matilah awak sekarang.” Sebab, sewaktu kami bertemu dua puluh tiga tahun lalu di Hanoi, saya sempat mengajukan pertanyaan konyol padanya: “Ngapain kamu begitu taat menjalankan ibadat agama, sedang di negaramu, mayoritas orang tidak beragama?” Apa jawabnya? ”Mana lebih baik, tidak beragama tetapi tidak berbuat dosa; ataukah mengaku beragama tetapi sering membunuh, menebar bom, korupsi uang negara dan lebih percaya penampakan setan daripada kekuatan kuasa Tuhan?”
Kata-katanya memerahkan kuping membangkitkan nasionalisme-puritan — fuih sok nasionalis— menyebabkan nafas saya tersengal-sengal menahan marah. Tetapi tidak tahu harus beradu-argumentasi seperti apa, tiwas kalah. Mau menyangkal tidak mungkin, wong kenyataannya memang seperti itu. Ibarat main tinju, pertandingan menjadi tidak seimbang. Serangan taktis berbagai pertanyaan disertai fakta tak terbantahkan mencecar bak petinju profesional yang melayangkan upper-cut menyilang dan meng-knock out-kan tubuh sehingga semampir- ngegelesot di sudut ring tak berdaya.
Sebenarnya pertanyaan yang ia lontarkan merupakan partai tunda debat di sebuah negeri yang pernah terkoyak perang dan melahirkan wartawati ‘tahan banting’ berparas ciamik dan selalu menaruh syak-wasangka pada setiap orang tak dikenal. Itulah sebabnya, ketika ia membatalkan niatnya untuk berkunjung ke Jakarta, menyebabkan perasaan saya haru-biru oleh alasan yang sebenarnya tak perlu saya perdebatkan lewat komunikasi dunia maya.
“Maaf saya batalkan niat bertandang ke negerimu,” tulisnya. “Bukan perkara takut bom. Kalau soal bom, bukan barang asing bagiku, tapi persoalan prinsip: tabu menonton tayangan TV pemburu hantu dan publict expose bom bunuh diri. Sungguh sangat tidak masuk akal terjadi di sebuah negara yang mengaku beradab dan mayoritas rakyatnya pemeluk agama,” tulisnya menggunakan huruf kapital berwarna-warni.
Nah, kalau persepsi seorang wartawati mancanegara seperti itu, so what gitu lhoh! Bagaimana kita dapat menjawab, pertanyaan usil seperti, misalnya: “…bisakah kamu jelaskan bagaimana jalan pikiran kaum fundamentalis yang dengan gagah-berani menarik timer bom bunuh diri sehingga menyebabkan orang lain tak berdosa tewas? Bukankah mayoritas bangsamu pemeluk agama? Jangan-jangan itu imbas tayangan kisah misteri di stasiun swasta televisi di negaramu. Semua jadi irasional!”*
Disadari atau tidak, acara-acara berbau misteri memperburuk pencitraan terhadap karakteristik budaya timur di mata orang barat, terutama bila dikaitkan dengan praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dan masih terlekati budaya mistik. Tidaklah mengherankan bila pandangan demikian mendominir dan sekaligus mengherankan jalan pikiran wartawati ahli filsafat timur lulusan Saint Petersburg yang dibesarkan di negeri ateistik.
Selanjutnya, Agama Timur Kesambet Mistik