Teror dan Mistisisme di Negeri Agamis

Masih lekatnya cara pandang demikian, tidak dapat lepas dari pengamatan impiris mengenai praksis keagamaan yang dihayati, secara sadar atau tidak, terdapat banyak praktik-praktik mistik dalam ritual keagamaan seperti di Jawa. Asumsi yang tertancap dalam di benak para pemikir barat tentang praktik keagamaan yang harus terpisahkan antara ritual langsung ke Yang Ilahi tanpa perantara, dan ritual yang acapkali tercampuri dengan unsur ataupun simbul-simbul mistis di luar keillahian, merupakan sesuatu tak tertawarkan dan masuk akal dalam perspektif kacamata bule.

Dengan pemilahan tersebut, agama menurut pengertian Tylor, sebagai keyakinan terhadap sesuatu yang sifatnya spiritual, terdistorsi oleh pandangan yang hanya melulu melihat bentuk ritual semata dan mengabstraksikan pemahaman terhadap agama ke dalam pembeda berdasar: agama wahyu dan agama mistik. Sama halnya dengan Tylor, teolog Paul Tillich berpendapat bahwa mistisisme tidaklah irasional. Ia mencirikasi mistisisme sebagai sebuah kategori, terutama saat bersinggungan non-ragawi, berdasar pengalaman tak tersentuh, terlukiskan dan ekstasis.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, dapatkah mistisisme, dikaji secara ilmiah, hingga pertanyaan tandas rekan tadi dapat saya jelaskan dengan clear tidak kusut. Sekusut tayangan-tayangan telivisi dalam acara Kismis dan perilaku anarkisme-brutal dengan dalih keyakinan agamawi. Sungguh sangat absurd, ketika saya harus menjawab pertanyaan nakal misalnya, “…bisakah kamu jelaskan bagaimana mungkin orang berani-mati untuk tujuan keyakinan agama yang diyakininya benar dan membunuh semena-mena tidak disebut atheistik?”

Menurutnya, di negara yang pernah terjajah, pendekonstruksian ruang privat bukan mustahil dikreasikan oleh bangsa yang tidak menyukai kompromi untuk suatu tujuan absurd sebuah kehidupan lain yang kekal di akherat: jihad. Mungkin pendapat itu bisa diterima sepanjang pelaku bom-bunuh diri itu nekat mau mati sendiri —kalau hanya demi mengejar kebahagian dirinya di akherat. Logika warasnya tidak akan mengajak paksa mati orang lain yang tidak berdosa, mati bersama dengan dalih berjihad. Bukankah hal seperti itu merupakan dogmatisme mistisistik?

*Penulis adalahDirektur Eksekutif Institute for Media and Social Studies [IMSS] dan Pemimpin Redaksi sarklewer.com

Avatar photo

About Eddy J Soetopo

Peneliti Media Massa, Anggota AJI Solo, Direktur Eksekutif Institute for Media and Social Studies ( IMSS), Pemimpin Redaksi sarklewer.com. Penggemar kuliner. Tinggal di Kota Solo.