The Myth of Motherhood VS Ibu Bahagia

The Myth of Motherhood VS Ibu Bahagia

Mencintai dan membahagian anak-anak, tak hanya kewajiban ibu-ibu, melainkan juga bapak-bapak. Dukung perempuan untuk menjalankan keibuannya dengan cinta kasih sepenuh hati. Untuk itulah suami isteri dipanggil.

“Bayi kok dikasi jamu sampai meninggal?

“Lah, itu ada bayi dikasi kopi sachet yang katanya mengandung ‘susu’ juga?”

Ibu-ibu jadul berkomentar. “Anak saya ya pernah disuapi kopi juga, tapi cuma sesendok, itupun kopi tubruk yang pahit, biar nggak ‘step’ (kejang kalau demam)

Netizen pun mengumpat, sampai Jokowi pun ikut berkomentar.

Pada konten lain, ibu-ibu muda membanding-bandingkan tahun kelahiran mereka.

Ibu 1 : Aku kelahiran 2001, anak ke-1 udah 15 bulan, di perut udah ada lagi

Ibu 2 : Aku kelahiran 2002, baru lahiran kemarin

Ibu 3 : Bu, aku kelahiran 2007, udah otw anak satu

Netizen, “Ini mengapa jadi lomba-lomba menikah muda dan punya anak. Padahal UU Pernikahan sudah di’tua’kan usianya.”

Komen lain, “Welcome to dunia, di mana apa-apa yang kau perbuat, salah mulu, keliru terus.”

Ikut berkomentar di konten-konten tersebut? Anda tak sendiri. Sahabat saya malah membuat tulisan tentang kejadian ibu pemberi kopi sachet, dengan ulasan yang sangat cerdas. Tentang kemiskinan, tentang tanggung jawab pemerintah dalam mengedukasi kesehatan.

Menjadi Ibu di Indonesia

Menjadi Ibu atau tidak menjadi Ibu di Indonesia sungguh tricky. Karena perempuan berhadapan dengan masyarakat yang cenderung stereotip dan punya standar ganda, seperti bahasan tulisan saya minggu lalu.

Masalahnya tipe masyarakat yang gemar bersikap judging itu umumnya berlatarbelakang paham patriarki, dan feodalisme.

Tak heran, beginilah yang terjadi.

Semua urusan rumah tangga adalah urusan Ibu. Semua kekurangan Ibu, menjadi urusan semua perempuan.

Mulai dari punya anak berapa, child less atau child free menjadi public matters. Ini juga terkait dengan cara melahirkan per vaginam atau sectio.

Perihal ibu bekerja atau ibu rumah tangga tetiba asik untuk menjadi isu banyak orang, karena bisa membuat tuduhan dan membanding-bandingkan.

Lalu, berlanjut ke gaya pengasuhan. Yang diawali saat bayi brojol, apa ibunya menyusuikah? ASI atau sufor, MPASI rumahan atau pabrikan, sampai ke menu makanan.

Belum lagi tentang food prep, dan bekal anak (termasuk suami)

Untuk pemilihan sekolah pun yang diperbincangkan adalah sang ibu, termasuk pengembangan bakat anak, sekolah lanjutan, dll.

Padahal, coba dipikirkan. Darimana datangnya seorang anak? Apakah ujug-ujug dibawa seekor bangau seperti dalam dongeng-dongeng. Bukankah ada peran suami atau ayah di dalamnya, sehingga berbuah generasi baru?

The Myth of Motherhood

Mitos keibuan yang berlaku di banyak masyarakat adalah pandangan bahwa seorang wanita mencapai kepuasan sepenuhnya dengan menjadi seorang ibu, dan dengan demikian, harus selalu bahagia dan kuat.

Mitos itu berpandangan juga, dengan menjadi Ibu, cinta seorang perempuan akan tidak terbatas untuk anaknya, mereka pun akan berfungsi penuh dan bahagia sebagai perempuan.

Ada tuntutan tidak tertulis juga untuk menjadi Ibu Super, bukan menjadi diri sendiri.

Kondisi tersebut menjadikan orang tidak habis pikir bagaimana seorang ibu bisa begitu kelelahan, hingga mengalami depresi, punya kemampuan menyakiti anaknya, langsung maupun tidak langsung; karena beranggapan toh sebagai perempuan, dia telah mencapai kepuasan utamanya dalam hidup.

Mitos Keibuan itu faktanya sudah ada sejak dulu, ketika perempuan atau Ibu dalam berbagai peradaban kuno dianggap sebagai sumber kehidupan. Simbol ketika itu diwakilkan Dewi Sri, dewi kesuburan dan reproduksi.

Karena pandangan-pandangan demikian, menjadi Ibu dianggap proses dan fase alami sebagai perempuan. Sehingga perempuan yang tak dianugerahi anak, atau tak menginginkan dan tak menyukai anak-anak, menempatkan mereka pada posisi sosok-sosok yang patut dikasihani. Perihal ini saja, seketika mendiskreditkan perempuan menjadi sosok tidak berharga bila tak memiliki anak. Atau menjadi pembicaraan hangat para pihak, kok sudah menikah tak mau melahirkan anak, atau kok bisa-bisanya enggan menjadi Ibu?  

Dari mitos keibuan ini, muncullah anggapan, sesegera seorang perempuan menjadi Ibu, sedemikian juga tercipta naluri keibuan serta cinta yang berlimpah kepada anaknya. Didasari pemikiran, secara biologis, fisik dan mental perempuan akan alami terstruktur dengan kondisi demikian.

Naluri keibuan

Seorang antropolog Amerika, Sarah Blaffer Hardy mencoba membandingkan tentang naluri keibuan ini dengan spesies primata lain untuk mendapatkan pemahaman dan analisis lebih lanjut. Ternyata, bagi banyak monyet dan kera, seekor betina tidak akan bisa hamil sampai bayi terakhirnya mandiri, sehingga memungkinkannya mengatasi beban fisik mengasuh anak.

Sayangnya hal ini tidak terjadi pada tubuh manusia, perempuan. Ketika seorang perempuan mendapatkan menstruasinya kembali, selepas melahirkan, dalam waktu kurang dari sebulan kemudian, tubuhnya telah memproduksi sel telur yang akan siap dibuahi. Hal itu berarti membuka peluang untuk kehamilan, atau kehadiran anak berikutnya.

Keyakinan akan kehadiran naluri keibuan secara alami telah menafikan beberapa fakta, yang sebenarnya terjadi di lapangan.

Mereka meragukan kemungkinan Ibu akan menyakiti atau bahkan melenyapkan anaknya.

Atau berasumsi pikiran dan mental ibu sehari-hari akan wajar-wajar saja, tanpa masalah berarti.

Sebuah akun @mamapsychologist sampai membuat konten mengumpulkan pertanyaan yang berkecamuk di benak seorang Ibu sehari-hari.

“Menu apa lagi yang perlu saya sajikan untuk makan malam nanti?

“Duh, anak-anak sudah screen time terlalu lama hari ini. Saya sungguh ibu yang tak bertanggungjawab.”

“Aku mo cuci rambut dan maskeran, tapi capek banget sepanjang hari ini.”

“Saya berharap anak-anak tidur lebih cepat malam nanti.”

“Kuharap Tisha dan Peter nggak demam lagi, cutiku tinggal dua hari saja.”

“Mengapa Lulu baru bilang, besok harus mengumpulkan mozaik gambar dari kertas warna, jadi kita semua tak bisa tidur cepat. Kebayang besok pagi kehebohan akan seperti apa.”

Berjuta pertanyaan yang berkecamuk, bahkan terus diulang-ulang tanpa menemukan jawabannya dalam keseharian, kadang tak dimengerti pihak suami; karena menganggap hal itu alami dan biasa saja.

Ketika ibu burn out

Tekanan yang bertumpuk, situasi yang menuntut perilaku bertanggungjawab, bila tak didukung orang-orang yang memahami akan membuat situasi pengasuhan dan tentu saja kondisi ibu memburuk.

Sebuah riset pernah mendapati temuan mengejutkan tentang sulitnya menemukan alasan mutlak Ibu memperlakukan anak-anak mereka secara semena-mena. Walau sering diasumsikan bahwa hal itu pasti terjadi karena ibu yang bersangkutan berkarakter jahat atau psikotik; kenyataannya secara statistik jarang ditemukan pelaku dengan kondisi mental yang benar-benar merupakan gangguan jiwa.

Dari riset yang sama, ditemukan juga, korban tindakan penelantaran mengarah kekerasan ini pun mayoritas terjadi pada anak berusia di bawah satu tahun daripada kelompok usia lainnya. Sesungguhnya dari hal ini saja, kita bisa menemukan post partum deppresion nyata adanya. Pertanyaan-pertanyaan tentang mengapa bayiku menangis terus, apakah dia sudah tercukupi dengan aku menyusuinya, apakah aku sudah menjadi ibu yang baik, mengapa bayiku sulit tertidur, adalah beberapa hal yang mungkin menjadi awal ibu mengalami kondisi depresi ini. Lalu berlanjut menjadi pengabaian, penelantaran, terakhir tindakan kekerasan dan menghilangkan nyawa.

Sebuah studi akademik tahun 2013 yang menganalisis kasus filicide ( Filicide adalah tindakan orang tua yaitu ayah ibu, kandung atau tiri yang membunuh putra dan putrinya sendiri dalam keadaan sadar) di Inggris dan Wales dalam dekade hingga 2006 menemukan bahwa kurang dari seperempat pelaku perempuan adalah ibu remaja. Kurangnya persiapan mental menjadi ibu, dan atau keterpaksaan membesarkan sendiri anak di luar penikahan diasumsikan menjadi penyebab hal tersebut.

Hal tersebut menunjukkan kepada kita, ketidaksiapan mental menjadi ibu, termasuk kemungkinan post partum deppression yang tidak disadari pasangan atau keluarga terdekat seketika MEMATAHKAN mitos keIbuan yang merujuk lambang unconditionally love dan kepedulian tanpa pamrih dari sosok ibu.

Kita semua beranggapan seperti juga mitos keibuan itu, bahwa seorang ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya, lebih daripada kebutuhannya sendiri. Yang berlanjut, kepada pandangan kebahagiaan Ibu adalah bila melihat anak-anaknya bahagia.

Coba kita balik pernyataan tersebut. Bukankah anak-anak akan merasa bahagia MELIHAT ibu mereka sejahtera dan bahagia juga. Melihat ibu mereka di rumah tanpa tekanan, menjalankan segala sesuatu dengan riang. Bukan karena rutinitas, tanggung jawab atau memenuhi tugas seorang ibu. Termasuk bukan karena ibu cemas menghadapi omongan mertua, ipar, teman, tetangga, termasuk netizen.

Untuk kesejahteraan ibu dan generasi yang akan datang, sudah saatnya kita perlu MEMATAHKAN mitos keibuan, bahwa kewajiban mutlak mencintai dan membahagiakan anak-anak mereka hanya pada sisi IBU saja.

Tidak adil bagi masyarakat mana pun untuk mengharapkan wanita menjadi ibu terbaik, tanpa dukungan cinta, rasa aman, ekonomi dan kesejahteraan, plus ini yang sering dilupakan; tanpa adanya bapak (suami) yang bertanggungjawab, mencintai ibu dan anak-anaknya.

Ibu, yuk, SAYANGI dirimu untuk bisa menyayangi anak-anakmu.

Bapak/Ayah, yuk, DUKUNG dan SAYANGI istrimu untuk menjalani tugas-tugasnya sebagai ibu dengan penuh cinta

Parenting 101: Rasa Cinta, Kagum, Suka, dan Sayang, Tak (Seharusnya) Menyakitkan

Berbagi Virus Kebaikan  

SEPUTAR CHEATING: Hal Penting Lain Dari Sekedar Mengurus Perempuan atau Lelaki Lain

Avatar photo

About Ivy Sudjana

Blogger, Penulis, Pedagog, mantan Guru BK dan fasilitator Kesehatan dan Reproduksi, Lulusan IKIP Jakarta Program Bimbingan Konseling, Penerima Penghargaan acara Depdikbud Cerdas Berkarakter, tinggal di Yogyakarta