Jika masyarakat ingin marah, ada baiknya kemarahan itu ditujukan kepada stasiun televisi, KPI atau media massa lainnya yang begitu longgar dengan tayangan-tayangan minim etika dan moral.
Oleh HERMAN WIJAYA
BANGSA Indonesia sangat membenci kejahatan, lalu merasa menjadi orang yang paling suci ketika mengecam kejahatan. Ini terbukti dengan munculnya kecaman bertubi-tubi atas penyambutan bak pahlawan terhadap pedangdut Saipul Jamil (SJ) pada hari kebebasannya dari penjara Cipinang, Kamis (2/9/21).
Seperti ramai diberitakan, begitu ke luar dari pintu penjara SJ langsung diarak menggunakan mobil Ferrari merah. Sejumlah rekan selebriti menyambutnya. Sehari kemudian dia diundang oleh televisi.
Masyarakat semakin muak, mempertanyakan fungsi KPI dan membuat petisi menolak kehadiran Saipul di televisi. Kini petisi itu sudah ditandantangani ratusan ribu orang.
Benarkah masyarakat membenci kejahatan? Jawabnya bisa iya, bisa tidak. Tergantung kejahatan yang bagaimana, siapa pelakunya atau korbannya. Terhadap koruptor, pembunuh, perampok atau tindak pidana yang lain, jelas masyarakat tidak suka. Apalagi terhadap penjahat kelamin seperti SJ.
Tetapi tidak semua pelaku kejahatan dimusuhi masyarakat, sebagaimana masyarakat marah kepada SJ saat ini. Ada pesohor yang heboh video pornonya beredar, tetapi pelakunya justru tetap menjadi idola masyarakat sampai sekarang. Ada anggota DPR yang lengser karena video pornonya beredar, kini bisa kembali lagi ke partai politik.
Untuk pelaku korupsi, jangan ditanya, sikap masyarakat lebih permisif, terhadap perusakan rumah ibadah, meneng bae! Apalagi hukum memberikan batas waktu sanksi sosial, dan negara justru memberi jabatan.
Sekali lagi, kebencian orang terhadap penjahat kelamin yang lain, tidak sebenci yang diperlihatkan terhadap SJ saat ini. Seolah tidak ada dosa lebih berat selain yang dilakukan oleh SJ, sehingga, walau pun sudah menjalani hukuman cukup berat, SJ tetap menerima “hukuman” lagi dari masyarakat.
Sebagai informasi, Saipul Jamil mendekam di penjara akibat terjerat dua kasus sekaligus. Saipul Jamil dijatuhi vonis tiga tahun penjara karena kasus pencabulan terhadap seorang laki-laki pada 2016. Tak terima atas vonis tersebut, Saipul bersama tim kuasa hukumnya lantas mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Hasilnya, hukuman Saipul diperberat menjadi lima tahun penjara.
Saat kasus itu sedang bergulir, masalah lain pun muncul. Saipul Jamil terbukti menyuap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan uang sebesar Rp250 juta, agar hukumannya lebih ringan. Alih-alih mendapat keringanan, vonis justru bertambah tiga tahun, total vonis delapan tahun, dari dua kasus tersebut.
Masyarakat memang patut membenci apa yang dilakukan oleh SJ. Sebagai pelaku pedofilia, dia dinilai telah merusak generasi muda. Mungkin kejahatan itu oleh masyarakat dianggap lebih berat daripada menjadi “bintang” video porno yang menggarap isteri orang, pembunuh atau koruptor, bahkan kejahatan luar biasa, seperti kejahatan terhadap kemanusiaan atau terorisme.
Apalagi yang menjadi korban adalah orang-orang yang dianggap menjadi sampah masyarakat atau bertentangan dengan kehendak umum, seperti korban penembakan misterius (Petrus), atau pembantaian terhadap orang-orang yang diduga terlibat PKI.
Nah terhadap pelaku kejahatan di atas, sikap masyarakat tidak sekeras terhadap SJ. Padahal SJ sudah cukup menderita (niru pendapat Majelis Hakim yang menjatuhkan vonis terhadap Julari Batubara) dengan menjalani hukuman badan selama 8 tahun!
Bahwa kemudian SJ disambut meriah dengan mobil mewah, lalu diundang oleh televisi, tentu bukan kesalahan SJ. Rasanya SJ tak punya kemampuan merekayasa semua itu. Pihak penyambutlah, juga televisi yang patut disalahkan, jika memberi ruang kepada SJ, dan membuat SJ seperti pahlawan! Jika waktu itu SJ bergembira, seperti lupa diri, wajarlah namanya orang baru bebas setelah dikurung selama 5 tahun! (mendapat remisi 30 bulan)
KITA TAHU, selama ini seperti itulah perilaku televisi swasta di Indonesia dalam memberikan tontonan kepada masyarakatnya. Soal etika dan moral menjadi pertimbangan kesekian setelah pertimbangan komersil.
Sementara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang bertugas memantau isi siaran televisi, sering pura-pura buta dan tuli, sehingga banyak aktivitas pesohor yang tidak pantas masuk ke ranah publik kerap ditayangkan.
Jika masyarakat ingin marah, ada baiknya kemarahan itu ditujukan kepada stasiun televisi, KPI atau media massa lainnya yang begitu longgar dengan tayangan-tayangan minim etika dan moral.
Menimpakan kesalahan terhadap SJ, sama juga menghukumnya dua kali!
Masyarakat harus memberi kesempatan kepada SJ untuk memperbaiki sikap dan perilakunya ke depan. Bukan terus menghukumnya, seolah-olah tidak ada lagi kejahatan yang lebih besar selain yang dilakukan SJ.
Jika Tuhan Maha Pengampun mengapa manusia tidak? Apakah yang kini marah kepada SJ adalah orang-orang perilakunya yang seputih salju?
Dalam Injil Perjanjian Baru ada kisah menarik tentang bagaimana Yesus membebaskan seorang perempuan yang tertangkap saat berzinah, dari orang Yahudi.
Ketika sejumlah orang Farisi dan ahli Taurat ingin merajam perempuan itu. Yesus meminta kepada orang yang tidak berdosa untuk melempar duluan. Ternyata tak ada seorang pun yang melempar. Mereka sadar, tak seorang pun yang tidak berdosa.
Setelah mereka meninggalkan perempuan itu, Yesus berkata: ”Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai sekarang”.
Sebagai penutup tulisan ini, ijinkan saya mengutip reffrein lagu Kalian Dengarkanlah Keluhanku karya Ebiet G. Ade yang dinyanyikannya sendiri.
Ke manakah sirnanya nurani embun pagi
Yang biasanya ramah kini membakar hati?
Apakah bila terlanjur salah
Akan tetap dianggap salah?
Tak ada waktu lagi benahi diri
Tak ada tempat lagi untuk kembali…