Foto : Jan Antonin Kolar / Unsplash
Semua orang pasti ingin jadi yang terbaik, terkenal, hebat, ngetop, atau ingin memiliki sederet prestasi lainnya. Bahkan, demi konten dan mengejar rating penonton, banyak orang melakukan hal-hal yang konyol, tidak waras, bahkan kebodohan yang membahayakan jiwa sendiri dan orang lain.
Coba lihat anak kecil itu. Ia menantang maut dengan menghadang truk yang melaju kencang di jalan, akibatnya berakhir tragis. Ketabrak truk dan meninggal dunia. Atau orang muda yang melompati pagar pembatas kebun binatang itu. Sehingga kakinya ditarik orangutan, dan ia berteriak histeris minta tolong. Lalu, yang hotnews dan sangat ironis, seorang lelaki menikahi seekor kambing betina! Apakah ini namanya zaman edan?
Sebenarnya apa yang kita cari, dan untuk apa?
Popularitas, itu jelas. Siapa yang tidak ingin populer? Apalagi yang dilakukan itu jadi viral, trending, dan secara otomatis rating penonton melonjak. Akibatnya, kita juga kebanjiran rezeki.
Rezeki, ketika kita mencari rezeki yang didasari niat dan motivasi sekadar uang, kita sering lupa diri untuk menabrak aturan, tata krama, hingga menghalalkan segala macam cara. Yang penting jadi tajir melintir dan beken.
Ingin terkenal dan kaya itu hak tiap insani, dan itu tidak dilarang. Tapi yang jelas ngono yo ngono, nanging ojo ngono. Karena ingin ben diarani, kita kehilangan hati nurani dan akal sehat.
Dituntut ingin cepat kaya, kerja ringan, dan demi konten, lalu kita seakan melakukan hal yang terbaik agar jadi viral. Pembodohan orang lain demi memperkaya diri. Menjual penderitaan orang lain, sikut sana sikut sini, menipu, dan seterusnya agar kita memperoleh uang secara instan.
Sekali lagi, cepat jadi kaya itu tidak dilarang. Tapi, apakah yang kita lakukan itu tidak menabrak tata krama, bermanfaat bagi orang lain, dan sebagai tanggung jawab kita pada Allah anugerahi hidup ini?
Menjadi yang terbaik demi muasi keambisiusan diri itu tidak ada puasnya dan tidak ada habisnya. Sebaliknya kita bisa dibenci dan dimusuhi, jika yang kita lakukan itu menyimpang dari norma kesopanan, menipu, membodohi, dan merugikan banyak orang. Bahkan perilaku kita itu bakal mencoreng kehormaran keluarga, dan jadi aib yang sulit dibersihkan.
Ketimbang jadi yang terbaik sekadar menuruti ambisi pribadi, lebih bijak jika kita melakukan hal-hal yang terbaik dan bermanfaat bagi sesama.
Kita menggali potensi diri, mengolah dan mengoptimalkan talenta yang dianugerahkan Allah pada kita sebagai ungkapan pujian dan syukur kepada-Nya.
Percayalah, ketika kita memberikan yang terbaik dari hidup ini demi kebaikan sesama, maka hal-hal baik dan positif itu akan mendatangi kita.
Saatnya kita memberikan yang terbaik bagi sesama agar makin bernyala terang hidup kita.
Ketimbang Menghakimi Orang Lain, Lebih Bijak Mawas Diri