Tiga Janda

Ilustrasi:Shutterstock

Alkisah, di suatu siang, seorang teman yang saya dapatkan dari perkenalan di Facebook, menginbok saya, mengatakan bahwa ia akan bertandang ke rumah. Tentunya saya senang, meski saya belum bertemu di dunia nyata sekali pun. Sebutlah ia bernama Maia (bukan Maia sang artis). Di inbok ia menulis, kalau ia akan datang bersama dua temannya. Ia tidak menyebutkan nama kedua temannya itu, hanya pesannya, mereka punya hobi yang sama, sama-sama suka seni, yang satu pemain drama, satunya penyanyi dan Maia sendiri mengaku penyair (saya belum pernah membaca puisinya).

Singkat cerita, setelah saya beri alamat rumah, mereka datang ke rumah saya, tepat di siang yang mendung yang bergabung dengan cuaca sedikit dingin dan awan yang gulita. Mereka datang dengan tiba-tiba dan saya menyambut mereka dengan penampilan di luar dari sempurna; seperti biasa rambut keriting saya melingkar seperti ular di kepalanya Medusa, belum mandi dan memakai daster lengkap dengan jaket flannel untuk menutup payudara saya yang tanpa bra (hehe). Penampilan itu memang sudah menjadi ciri khas saya. Ya, jika di rumah, demi menghemat pemakaian air dari Perusahaan Air Minum alias PAM, saya ‘menyamarkan’ diri dengan tampilan yang awut-awutan, terkadang seperti pengemis yang miskin ekonomi (seringnya iya), sehingga tatkala ada tamu, mereka ‘shock’ menyangka saya bukanlah saya, saya sedang menyamar di rumah yang memang sudah saya tempati sekitar dua puluh enam tahun yang lalu.

Tapi sudahlah lupakan tentang penamilan, ketiga teman baru saya itu menerobos masuk ke rumah sembari berkata, “Betapa nyamannya rumah ini.” Dan setelah mereka duduk sambil meminum air mineral dingin yang saya suguhkan, cerita dari bibir mereka bergulir dengan tenangnya, mirip aliran air dari pegunungan, laju tanpa gejolak. Sang perempuan yang saya kenal di Fb, yang berniat menjadi penyair itu menuturkan kalau mereka bertiga bekerja sebagai pialang saham, berkantor di sebuah perusahaan bursa efek yang terletak di pusat kota.

Saya berdehem sembari menarik nafas panjang. Dominasi pembicaraan dikuasai oleh si perempuan penyair. Ia menuturkan kalau dirinya sering memperoleh penghargaan sebagai pembaca puisi, bahkan di era presiden sebelumnya, ia didaulat untuk membaca puisi di istana kepresidenan dan memperoleh sumbangan uang yang tidak sedikit jumlahnya dari sang presiden. Dan ia juga menuturkan kalau dirinya seorang kader partai yang diusung sang presiden.

Wah saya makin terpesona. Ketika saya tanyakan siapa saja tokoh-tokoh penyair yang ia kagumi dan apa saja karya-karya dari penyair dunia dan nasional yang sudah dibacanya, lalu apa tanggapannya tentang situasi dunia perpuisian saat ini, dia terdiam. Kemudian Hp-nya berbunyi, ia minta ijin untuk ke luar. Dua temannya kemudian ambil bagian untuk bercakap-cakap. Tanpa diminta mereka menuturkan tentang diri mereka, obrolan itu menurut saya sifatnya terlalu pribadi. Mereka bertiga telah menjadi janda. Janda di usia yang keempat puluh tahun. Janda dengan kisah mainstream yang sama, sang suami berselingkuh atau direbut perempuan lain. Hmm…saya sempat trenyuh.

“Nama saya Ima, dua tahun lalu suami saya meninggal tabrakan, dia tabrakan bersama selingkuhannya. Dan ini teman saya Mila, suaminya…ah…saya tak tega untuk menceritakannya, biar nanti dia cerita sendiri. Beberapa bulan lalu, ia minta cerai dari suaminya. Ia punya anak dua, saya satu, dan Maia dua. Jika Ibu mau, Ibu bisa membuat kisah kami menjadi sebuah cerita pendek. Pastinya kisah itu menjadi cerita yang sangat menarik.” Ujar Ima perempuan berjilbab ungu. Perempuan cantik berkulit kuning langsat dengan alis menyerupai celurit, tebal dan hitam ini, kemudian mengeluarkan rokok dari dalam tasnya. Ia menyalakan rokok itu dengan gerakan yang ‘elegant’ lalu mengisapnya juga dengan gaya yang sama. Rokok itu kemudian disodorkan ke Mila, temannya, dan perempuan berjilbab kuning itu, mengambilnya lalu mengisap dan menghembuskan asapnya dengan halus penuh penjiwaan. Mila tak banyak bicara, matanya kosong dan selalu menatap ke arah pohon belimbing yang tumbuh di halaman rumah saya.

Tak lama Maia masuk, masih dengan penuh semangat ia bercerita, menuturkan kisah hidupnya tanpa saya minta. Katanya, “Saya sudah bercerai sejak tahun 2012 yang lalu. Suami saya berselingkuh, ia hobi menikahi perempuan kaya, kali ini ia menikah siri dengan seorang perempuan keturunan China. Perempuan itu sudah menjadi mualaf. Saya tidak lagi membencinya, sebab untuk apa saya mengharapkan cinta suami lagi kalau dia sudah diambil orang dan tidak mencintai saya. Saya sengaja ke Jakarta untuk melupakan segalanya, saya ingin menjadi penyair. Ibu tolong perkenalkan saya dengan grup-grup sastra dan dunia penyair yang ada di kota ini,” katanya penuh semangat.

Saya ingin tertawa, tapi saya tahan. Kata saya dalam hati, berani sekali perempuan ini, meninggalkan kampungnya di Medan sana dan dua anaknya, hanya untuk menjadi seorang penyair di kota besar macam Jakarta. Lalu kata saya, “Itu keinginan yang baik, hanya saja untuk menjadi seorang penyair, harus dibarengi dengan karya, dan latihan yang terus-menerus. Saya saja yang sudah hampir empat puluh tahun lebih berkecimpung di dunia sastra, masih terus belajar dan masih begini-begini saja. Jangan harap kamu akan memperoleh uang banyak dari sastra, kecuali jika karyamu menang di berbagai lomba baik nasional maupun internasional. Dan semua itu harus dibarengi dengan latihan dan banyak membaca…” Ah, entah para janda ini mengerti dengan apa yang saya ucapkan atau tidak, sebab beberapa saat kemudian, tiga perempuan dengan dandanan yang cukup ‘menor’ serta bentuk alis yang sama seperti ‘celurit’ tebal dan hitam itu, mulai sibuk dengan dering di Hp mereka yang kerap menggema. Lalu ketiganya berkata-kata dengan suara keras. Yang sempat saya tangkap, salah satu dari mereka berkata, “Dia seniman kere, Pak. Tak punya uang, jadi tak sangguplah dia menginvestasikan uangnya dalam bentuk saham. Wong katanya tulisannya saja belum dibayar-bayar…”

Saya tertegun. Kemudian Maia bertutur tentang partainya. Iya menjadi ketua dari sebuah anak partai yang beranggotakan para perempuan pengusaha. “Mereka sosialita yang kaya, wangi dan memakai barang yang branded, Bu. Jika Ibu mau bergabung di partai yang mengusungnya, maka Ibu akan memiliki jaringan pertemanan yang bagus, orang kaya dan harum semua, Bu…” katanya bernada membujuk.

Saya termangu (sambil manggut-manggut dengan wajah lugu alias bloon)

Pembicaraan mulai melompat ke arah yang lain. Tiga janda dengan dandanan kekinian, masih sibuk dengan dering di Hp-nya. Di luar mendung semakin pekat. Saya berharap sebelum hujan turun mereka mohon pamit dari rumah saya, sebab pembicaraan tentang sastra sudah berubah alur, kini mulai ditambah dengan opini-opini yang menyudutkan tokoh politik yang saya sukai.

“Ibu tahu tidak, tokoh itu tidak memiliki kapabilitas sebagai seorang pemimpin. Dia suka berbohong, banyak janji dan pribadinya, pribadi pecah alias gila, suka ngomong kasar. Ibu mau negeri ini dipimpin oleh orang yang sakit jiwa?” tanya Maia.

Saya menggeleng. “Saya tak suka politik. Saya lebih suka di rumah, memasak, menulis cerpen, menulis puisi atau novel, dan membuat kue. Itu saja sudah membuat saya merasa waktu dua puluh empat jam sangat sedikit. Jadi saya tak ada waktu untuk bergombal ria dengan berbicara politik yang diisi oleh kalimat berputar-putar penuh kebohongan.”

Maia dan Ima termangu dalam diam, mereka memandang saya dengan tajam. Sedangkan Mila masih asyik dengan tatapan kosong ke arah pohon belimbing di teras rumah. Ekspresi wajahnya tetap sama, dingin.

“Saat ini, banyak orang yang pandai bermain sandiwara. Bahkan sahabat yang tadinya sangat dekat pun, dalam waktu singkat saya merasa asing dan tak paham lagi dengan dirinya. Dia berubah karena paham dan ideologinya. Saya jadi ngeri bila berdekatan dengannya, sebab sedikit-sedikit dia berseru bunuh…bunuh…waduh, mengapa dia jadi begitu?” Tiga janda itu tak menjawab ucapan saya. Kemudian saya menanyakan apakah mereka membaca buku-buku filsafat karya-karya penulis luar negeri seperti Nietze, Albert Camus, Immanuel Kant atau Hegel? Mereka saling pandang. Maia bertanya, “Siapa mereka?”

Saya berkata dalam hati, sudahlah tak usah diteruskan percakapan ini. Di luar hujan sudah mau turun. Kemudian ketika Hp Ima berdering, ketiganya secara serempak segera mengambil sepatu dan memakainya. Tiga cangkir kopi dan pisang goreng yang saya buat sudah tandas tak bersisa. “Pacarku telpon, dia pemimpin partai yang kami ikuti. Dia sudah menjemput kami,” katanya.

Maia juga berkemas. ‘Terima kasih Ibu sudah mau menerima kami. Saya lihat teman-teman dan relasi Ibu di Fb sudah hampir lima ribu. Ibu banyak followers-nya, nama Ibu juga ada di Google. Pastinya dari sekian banyak teman Ibu ada yang mau membeli saham-saham dari kami ya, tolong dikenalin ke mereka ya, Bu!” Katanya.

“Saya juga ya Bu, nanti tolong kenalkan dengan teman-teman Ibu yang kaya-kaya, yaaa…” tambah Ima.

“Ibu terima kasih kopi dan pisang gorengnya. Ini kartu nama saya, suatu saat saya ingin Ibu buatkan biografi saya. Kisahnya seru lho Bu. Sssttt…belum ada yang tahu…” kata Mila janda yang lebih banyak diam ini.

Saya mengernyitkan kening, “Kisah tentang apa?”

“Dia baru ke luar dari rumah sakit jiwa, Bu. Dua tahun yang lalu dia mencekik pacar suaminya. Untung tidak mati. Tapi dia sekarang sudah sehat karena minum obat penenang secara rutin.” Kata Maia.

“Oh begitu.” Lalu ketika mereka meninggalkan rumah saya, segera saya tutup pintu rumah rapat-rapat. Saya segera membuka akun Fb saya, dan memblokir nama Maia dari perteman. Semoga dia dan dua janda temannya tidak datang ke rumah saya lagi, kata saya dalam hati. Jujur saya ngeri dengan psikopat terselubung…

Tamat

Oleh : Fanny Jonathans Poyk

Avatar photo

About Fanny J. Poyk

Nama Lengkap Fanny Jonathan Poyk. Lahir di Bima, lulusan IISP Jakarta jurusan Jurnalis, Jurnalis di Fanasi, Penulis cerita anak-anak, remaja dan dewasa sejak 1977. Cerpennya dimuat di berbagai media massa di ASEAN serta memberi pelatihan menulis