Profesi lain yang juga tak lazim bagi warga Indonesia yaitu menjadi instruktur mengemudi, seperti yang dijalani Farida Simanjuntak dalam delapan tahun terakhir.
“Setahu saya memang tak banyak orang Indonesia yang menjadi instruktur mengemudi di Melbourne. Selain saya, ada Pak Budi dan satu orang lagi namun saya tidak tahu pasti apakah dia masih aktif,” katanya kepada ABC Indonesia.
Farida, yang akrab disapa Bu Ida, mengatakan saat ini dia merekrut anaknya untuk menjadi instruktur juga, karena sudah kewalahan melayani murid-murid yang semakin banyak.
“Ada peraturan bagi orang asing yang datang dan tinggal di sini, mereka hanya bisa menggunakan SIM dari negaranya maksimal selama enam bulan. Setelah itu kalau mau mengemudi harus memakai SIM dari negara bagian Victoria,” jelasnya.
“Jadi kami ibaratnya ketiban rezeki dengan banyaknya murid yang ingin belajar mengemudi dan ambil SIM. Kadang sembilan sampai 10 orang sehari,” tambah Bu Ida.
Ia mengaku senang menjalani profesinya karena bisa mengatur waktu sendiri, tidak terikat jam kerja dan kebanyakan muridnya juga dari Indonesia dan Malaysia.
Yang paling membuatnya senang adalah jika murid-muridnya bisa lulus mendapatkan izin mengemudi. “Tantangannya adalah bila mengajar seseorang yang sudah berumur dan sama sekali belum bisa mengemudi mobil. Wah, itu penuh tantangan. Masalahnya ‘kan kita ini berada di jalan raya,” ujarnya.
Tapi selama menjalani pekerjaan ini, Bu Ida mengaku lebih banyak sukanya, apalagi dari segi pendapatan juga lebih dari cukup, dibandingkan saat dia bekerja di tempat penitipan anak.
Australia memiliki peraturan lalu lintas yang berbeda dengan di Indonesia. Karenanya tidak berarti jika Anda sudah memiliki jam terbang menyetir yang tinggi di Indonesia akan bisa lulus begitu saja saat mengikuti tes untuk mengantongi izin mengemudi di Australia.
Menurutnya, menjadi instruktur mengemudi ini sangat sulit di tahun-tahun pertama, terutama dalam mencari murid yang mau belajar dengannya.
Dikatakan, syarat utama untuk menjadi instruktur mengemudi yaitu harus berstatus ‘permanent resident’ dan selama tiga tahun tak pernah mengalami pengurangan poin di izin mengemudinya akibat melakukan pelanggaran lalu-lintas.
“Saya juga ikut sekolah level Sentifikat IV di bidang transportasi yang terdiri atas teori dan praktek. Setelah itu baru bisa mendapatkan ijin sebagai instruktur mengemudi,” ujarnya.
Bu Ida menceritakan dalam mengajar murid-muridnya mengemudi, untuk yang pemula biasanya diikutkan paket tujuh kali pertemuan dan tiap pertemuan berlangsung 1,5 jam. “Kita jamin itu sudah bisa mengemudi, tapi belum ujian SIM ya. Kalau untuk ujian SIM, itu tergantung kapan dia merasa percaya diri,” katanya.
“Biasanya aku yang daftarkan mereka untuk ujian SIM dan selama menunggu jadwal murid-muridku akan latihan kembali untuk menghadapi ujian,” tambahnya.
Bu Ida menyebutkan rata-rata 90 persen muridnya lulus mendapatkan SIM dan mereka yang tak lulus itu biasanya karena masalah ‘speeding’ dan tidak sabar saat menyeberang dari jalan kecil ke jalan utama.
“Orang kita itu biasanya langsung berbelok saja padahal ada kendaraan lain di jalan utama yang jaraknya sangat dekat. Karena intinya yang ingin dipastikan itu adalah safe and clear, tidak bisa nyelonong begitu saja,” paparnya seraya menambahkan ujian SIM bertujuan untuk memastikan seorang pengemudi aman mengemudi di jalan raya.
“Contoh lain saat ujian itu misalnya penguji meminta pengemudi untuk changing lane atau berpindah jalur. Dia akan diminta changing lane when it is safe to do so,” katanya.
“Nah saat diminta seperti itu, pengemudi harus melakukan head-check minimal tiga kali sebelum pindah jalur, untuk memastikan aman dari arah belakang kita,” jelas Bu Ida.
Selanjutnya, Nani Puspasari, pekerja seni