Krisis itu tidak pandang bulu. Ia menyerang siapapun. Tidak seorangpun yang mampu lolos dan menghindarinya. Tua-muda, kaya-miskin, cerdik pandai, pejabat, keluarga, dan tidak terkecuali juga negara.
Ibarat ular, krisis itu melilit mangsanya. Mangsa itu semakin meronta, ular itu semakin melilit kencang untuk meremukkan tubuh mangsanya hingga tak berdaya.
Begitu pula, jika kita sedang mengalami krisis. Apakah itu krisis iman, keluarga, hubungan bisnis, dan seterusnya.
Semakin dipikir krisis itu, kita semakin kemrungsung, kalut, emosian, uring-uringan, dan stres.
Krisis itu dapat diatasi, jika kita berani bersikap tenang dan berpikir jernih untuk mengurai akar masalahnya.
Jika tidak mampu mengatasi sendiri, cobalah bertukar pikiran dan meminta saran kepada sahabat atau orang yang kita percaya.
Keterbukaan hati dan jujur kepada diri sendiri merupakan pintu masuk untuk mengurai apapun krisis yang kita alami.
Berani bersikap rendah hati, kita mengatasi egoisme untuk mengalah dan memahami orang lain.
Faktor utama timbulnya krisis itu umumnya adalah kita tidak mau mengalah satu dengan yang lain.
Api krisis muncul bisa dari hal yang remeh-temeh dan sepele. Misal, salah ngomong yang berujung tersinggung dan gengsi untuk meminta maaf.
Krisis keluarga lahir dari kecurigaan, lalu menjadi ketidakpercayaan, karena ada gosip kehadiran orang ketiga.
Krisis konflik antar negara timbul karena berasa benar sendiri, padahal yang meraja itu ambisi ingin menguasai.
Krisis iman muncul karena kita kehilangan kepercayaan kepada Allah. Kita ingin mengatur, mendikte, bahkan menuntut Allah untuk mengurusi tetek-bengek urusan kita. Padahal, sejatinya, hidup ini sebagai ungkapan syukur atas karunia dan kemurahan Allah.
Apa pun krisis yang muncul, itu harus kita syukuri sebagai pembelajaran agar kita mawas diri. Kita diuji oleh pikiran sendiri agar kita menjadi pribadi yang rendah hati dan hidup berkenan bagi Allah. (MR)