Begitu ironinya kah seorang Tina Turner?
Oleh AYU SULISTYOWATI
Seide.id – Di atas panggung tawanya lepas seolah tanpa beban. Ia begitu energik, garang, liar, seksi, sensual. Seolah tak ada yang bisa menghentikannya. Tapi di balik panggung, lihatlah sorot matanya yang kadang mengandung nestapa.
Begitu ironinya kah seorang Tina Turner?
“Masa lalu saya sama sekali tak membanggakan,” ujarnya hampir sekali kali diwawancara. Bahkan bertahun-tahun setelah cerai dari Ike Turner, suaminya yang temperamental itu, ia masih mengatakan hal yang sama.
Anna Mae Bullock, lahir di Nutbush, sebuah kota kecil dan miskin di Tennessee, nyaris 82 tahun silam. Putri bungsu dari tiga saudari. Keluarganya tergolong pas-pasan, salah satu masa kecilnya adalah membantu memetik kapas di ladang. Demi memenuhi kebutuhan ekonomi, keluarganya pindah ke Knoxville di mana ada pekerjaan yang lebih baik. Anna Mae pun lantas dititipkan ke kakek neneknya, yang sangat religius. Bernyanyi di gereja adalah awal segalanya bagi Anna Mae. Ia merasa menyanyi membuatnya benar-benar hidup.
Di usianya yang ke-16, panggilannya untuk bernyanyi seolah terjawab. Kala itu ia diajak Alline kakaknya ke Manhattan Club di St Louis Timur untuk menonton band The Kings of Rhythm milik Ike Turner. Alline bisa masuk ke klab tersebut lantaran ia memacari Eugene Washington, drummer band tadi.
Melihat panggung musik, darah Anna Mae bergejolak. Ia memberanikan diri meminta Ike agar memperbolehkannya menyanyi. Tapi Ike mengacuhkannya, maka ketika jeda Anna Mae yang tak sabar mengambil mike dari tangan Eugene dan menyanyikan You Know I Love You milik B.B. King.
Seketika, Ike terpesona dan mengajaknya menjadi vokalis bandnya. Lalu selanjutnya adalah sejarah. Sejarah bagi Ike lantaran menemukan bintang yang kelak akan menimbuninya dengan uang dan popularitas. Sejarah bagi dunia musik Amerika, lantaran hadirnya seorang diva berbakat alami yang susah ditandingi. Sejarah bagi Anna Mae, karena impiannya menjadi penyanyi tercapai, meski sejarah miliknya ini juga membawa ironi.
Ike lantas mengganti namanya dengan ‘Tina’, dan menikahinya di tahun 1962. Kala itu usianya baru 23.
Sebagai musisi, di atas panggung Ike dan Tina tampak kompak, bak raja dan ratu. Tapi di balik panggung, Tina hanyalah boneka, dikekang, jadi sapi perahan dan korban KDRT suaminya. Ike yang playboy juga tak jarang bermain perempuan di depan istrinya. Selama bertahun-tahun, kebahagiaan Tina hanyalah mengasuh anak-anaknya, termasuk dua anak tiri bawaan Ike dari pasangan sebelumnya.
Mereka bercerai 16 tahun tahun kemudian, saat Tina tak lagi punya kesabaran menghadapi kekasaran suaminya. Saat itu ia merasa sadar kalau dirinya punya arti, setelah belajar Buddhism yang dikenalkan oleh salah satu temannya, Valerie Bishop.
Tina pun harus melewati sidang yang menguras emosi, ia merelakan semuanya diambil selain namanya ‘Tina Turner’ serta hak asuh anaknya. Hidupnya tenang, tapi ia tak punya apa-apa lagi. Ia pun lantas mulai ngamen di panggung-panggung kecil demi terus hidup.
Sampai akhirnya ia bertemu Roger Davies, yang kelak jadi managernya yang saat itu memanageri Olivia Newton-John. Awalnya Davies ragu, kebingungan apa yang bisa ia lakukan untuk Tina. Davies baru percaya kalau Tina punya potensi besar setelah melihatnya manggung di Vegas.
Davies setuju memberinya kesempatan ‘kedua’ di usia yang dianggap mustahil untuk mejadi superstar. “Jadikan aku rocker,” begitu pintanya.
Dan Tina pun masuk ke babak kedua hidupnya. Karir sebenarnya Tina sebagai Tina Turner baru bermula di usia 42. “Aku tahu orang-orang mencibirku, mereka menganggap aku kelewat tua jadi bintang rock. Tapi aku percaya usia hanyalah angka.”
Namun sebelum ia benar-benar comeback dan membuktikan diri masih bisa menggoyang panggung, ia harus menghadapi setiap wawancara yang selalu menanyakan hubungannya dengan Ike. Tina nyaris frustasi dengan pertanyaan berulang yang sebenarnya tak lagi relevan itu.
Lalu di tahun 1981, ia membuka diri ke majalah People. Ini pertama kalinya Tina menceritakan hidupnya (bersama Ike) kepada jurnalis. Carl Arlington, jurnalis yang beruntung itu menuangkan hasil wawancaranya di People edisi 7 Desember 1981. Kala itu pembaca People tak kurang dari 30,000! Kisah KDRT Tina menjadi ‘terobosan’ mengingat zaman itu masih langka ada yang membuka diri sebagai korban kekerasan oleh pasangan.
Perjalanan karirnya beranjak ke album Private Dancer yang direkam di London membuahkan hit single What’s Love Gotta Do with It yang meledak di mana-mana. Tina pun tak terbendung. Tour ke seluruh dunia, merilis album-album berikutnya.
Lalu hal yang tak terduga pun datang: cinta. “Kami pertama kali bertemu di Düsseldorf Airport Jerman, Saya diminta Roger Davies untuk menjemput Tina,” kenang Erwin Bach, suami kedua Tina, yang saat itu merupakan pegawai EMI Records Jerman. Begitu melihat Erwin yang 16 tahun lebih muda darinya, Tina langsung jatuh cinta. “Jantung saya berdetak kencang, tangan saya gemetar.”
Perkenalan tak sengaja itu berlanjut. Meski Tina lantas disibukkan dengan buku biografi I, Tina yang dirilis 1 September 1986. Sebenarnya ia merilis buku itu agar tak lagi diganggu wartawan. Tapi tak mempan, malah buku laris itu lantas difilmkan tujuh tahun kemudian. Selain laku, What’s Love Gotta to Do with It memberi dua nominasi Oscar untuk pemeran utamanya, Angela Bassett dan Laurence Fishburn.
Tina baru berhenti setelah tour terakhirnya di Sheffield Arena 5 Mei 2009 silam, menghasilkan sekitar 130 juta dollar!
Bayangkan, saat itu Tina sudah 70 tahun, tapi ia masih menggoncang panggung. Dan faktanya, hingga kini belum ada rocker/ solois perempuan dengan bakat natural yang bisa menyaingi dirinya. Satu hal lain barangkali jarang ditemui penyanyi jaman sekarang: menyanyi dari hati dan sepenuh jiwa.
Tina bukan hanya sebuah biopic menarik. Tapi dokumenter yang diedit degan sangat bagus ini juga inspiratif. Bagaimana seorang perempuan rapuh dan tertekan bisa keluar dari pernikahan penuh kekerasan begitu pas dengan gerakan #MeTooMovement yang belakangan digaungkan Hollywood dan para feminis. Bagaimana seorang perempuan melahirkan dirinya sendiri agar bakatnya berkembang adalah sebuah empowerment yang luar biasa bagi perempuan lain.
Dokumenter ini juga tampak kalau dibuat rapi dan teliti. Duo sutradara Dan Lindsay dan T.J. Martin dengan fasih menggabungkan footage lawas dengan wawancara yang dilakukan 2019 silam dengan sangat pas. Begitu pula saat musik masuk ke dalam adegan atau sekedar sebagai backsound. Orang-orang terdekat Tina, seperti asisten pribadinya, managernya, mantan penari latarnya hingga Oprah Winfrey hadir memberi kesaksian tentang titik -titik penting kehidupan sang Diva.
Sebelum film berakhir, Erwin Bach mengatakan kalau film dokumenter ini, bersama drama (panggung) musikal ‘Tina’ akan menjadi kisah penutup perjalanan karir panjangnya. Sang ratu telah menutup tirai panggungnya. Kini Tina hanya ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan tenang di Swizz yang damai dan dingin bersama Erwin Bach, yang baru ia nikahi 27 tahun setelah pertemuan pertama mereka itu.
Lewat Tina, kita akan mengenangnya sebagai ratu rock n’ roll yang tak mau disebut Diva, seorang ibu, seorang pejuang, seorang kekasih, juga seorang perempuan biasa. Kita tahu hidupnya telah komplet, bukan hanya untuk dirinya tapi juga untuk seluruh penggemarnya.
Rating: B++
Genre: Dokumenter, Biografi
Sutradara: Dan Lindsay, T.J. Martin
Pemain: Tina Turner, Angela Bassett, Terry Britten, Ann Behringer, Roger Davies, Oprah Winfrey
Produksi: HBO Documentary Films, Lightbox
Tayang di: HBOMax/ HBO