TINDAKAN BIJAK YANG TERCERMIN MELALUI PEPATAH JAWA (Bagian 12)

Foto : Ylanit Koppens/Pixabay

Pengantar Singkat: Kata-kata mutiara dan nasihat bijak Jawa kuno dari para leluhur Jawa adalah juga salah satu dari falsafah hidup bangsa Indonesia yang indah dan sarat makna kehidupan. Dalam bagian 12 ini disampaikan secara singkat dan padat 1 falsafah Jawa “Asma Kinarya Japa”. Semoga menginspirasi Anda menuju ke arah hidup yang lebih baik

(49) ASMA KINARYA JAPA (Nama Selaksa bagi Mantra)

Pepatah Jawa ini sebagai tanda atau pengingat, bahwa sebuah nama yang diberikan kepada anak cucu keturunannya bagi orang Jawa memiliki maksud atau tertentu.

Seorang bayi yang baru lahir laki-laki diberi nama Slamet, maksudnya agar selamat. Diberi nama Raharja, Widodo, Basuki agar kelak hidupnya juga selamat damai dan sejahtera. Anak perempuan yang baru lahir diberi nama Rahayu agar hidupnya selamat pula.

Kesederhanaan orang Jawa juga memberi nama anaknya sesuai dengan nama keadaan atau benda tertentu. Misalnya: Banjir, Bandang, Patok,  Sangkrah, Tomblok, dan sebagainya.

Pada zaman kerajaan dulu, sebelum Indonesia merdeka orang Jawa juga menggunakan nama hewan untuk anak mereka, seperti Gajah Mada, Gajah Para, Kebo Ijo, Lembu Peteng, Lembu Tak, Singo Midin, Singodimejo dan sebagainya. Dengan harapan agar anak mereka memiliki kekuatan yang hebat. Tapi ada pula yang menggunakan nama benda ruang angkasa, seperti Awang, Mega, Guruh, Guntur, Bayu (angin), Bintang, Wulan, Sundari dan sebagainya. Ada pula yang memberi nama sesuai urutan angka dalam bahasa Kawi misalnya Eko, Dwi, Tri, Catur, Panca, Sat, Sapta, Hasta Nawa Dasa.

Juga ada orang Jawa yang memberi nama anaknya berdasarkan hari pasaran (5 hari), berdasarkan hari lahirnya. Orang Jawa memiliki 5 nama hari yang disebut hari pasaran yaitu Pon, Wage, Kliwon, Legi dan Pahing.

Biasanya untuk mengingat anak mereka akan hari kelahirannya, mereka memberi nama anak dengan nama hari pasaran, ketika anak mereka lahir. Misalnya anak lahir di hari pasaran Pon maka diberi nama Ponidi, Poniman, Ponimin, Poniyah, Poniyem, Ponijo, dan sebagainya. Anak lahir dalam hari pasaran Wage diberi nama Wage, Wagiyem, Waginem, Wagini, Wagiman dan sebagainya. Maka tidak aneh, jika kita pernah mendengar nama seperti Pak Kliwon, Kartolegi, Pak Pahing dan banyak lagi.

Ada pula nama Jawa yang menandai sepekan hari (7 hari). Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat Sabtu, dan Minggu atau Ahad. Maka kita pernah mendengar dan mengenal nama-nama seperti Pak Senen, Mas Loso, Pak Reban, Pak Rebo, Kang Kemis, Kang Jumadi, Kang Setu, Mas Ahad, dan lainnya.  Sehingga dapat ditebak dengan mudah, bahwa mereka lahir dalam hari yang ditandai dengan namanya. Ada pula nama-nama orang Jawa yang menandai hari lahirnya berdasarkan bulan Jawa dalam kelahirannya, misalnya Pak Suro, Pak Suradi, Pak Sapar, Pak Mulud, Syawal, Jumadi, Kang Poso, Kang Ruwah, Kang Selo. Semua itu menunjukkan hari lahir mereka pada bulan Jawa yang disebut 12 bulan dalam satu tahun, yaitu bulan Suro, Sapar, Mulud, Bakdo Mulut, Jumadilawal, Jumadi lakir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Bada, Sela, dan Besar. Orang Jawa bernama Bakdi lahir di bulan Bada, Bakda, Muharram atau bulan Lebaran.

Ada pula yang memberi nama berdasarkan waktu tertentu. Misalnya anak perempuan yang lahir bersamaan dengan musim mengolah tanah atau musim penghujan, ia dinamakan Siti. Siti artinya tanah. Jiyah artinya jawah atau hujan dan sebagainya. Anak laki-laki yang lahir diberi nama Tukul, Tuwuh, Semi karena lahirnya pada musim tanam ketika tanaman baru tumbuh atau berkembang.
Orang Jawa juga memberi nama anaknya dengan nama tokoh wayang yang memiliki watak, karakter,  atau budi baik seperti Yudhistira, Seno, Arjuna, Srikandi, Krisna, Setyoko, Karno dan sebagainya. Mereka tidak menamakan anaknya seperti nama wayang yang memiliki sifat atau karakter jahat seperti Sengkuni, Durga, Duryudana, Dasamuka, Dursasana, Duryudana, dan sebagainya.

Demikianlah sekelumit harapan orang Jawa dalam memberikan nama pada anaknya. Mereka selalu berharap agar kelak anaknya berkembang jadi manusia yang baik dan berguna bagi keluarga,  sesama, nusa, bangsa, dan agama.

Asma kinarya japa, nama selaksa bagi mantra yang elok diberikan kepada generasi penerusnya. Khusus untuk kaum bangsawan yang keturunan darah biru atau bangsawan, mereka mengenal yang disebut ‘trah’ : ‘wangsa’ atau keturunan dari kerabat tertentu. Yang jadi raja memiliki gelar tertentu dan penerusnya biasanya ditandai dengan nama-nama yang sama dengan mencantumkan angka Romawi. Misalnya Sri Sultan Hamengkubuwono I, II, III dan seterusnya. Paku Buwono I, Ini, III dan seterusnya. Sedangkan untuk trah keturunan bangsawan tertentu biasanya menambahkan akhiran ‘an’ di belakang nama leluhurnya. Misalnya, keturunan dari Raden Wiro bojo, ‘trah’-nya disebut Wirobrajan. Keturunan Pangeran Dipowinoto disebut trah Dipowinatan. Dan untuk ‘trah’ yang namanya berakhiran dengan huruf ‘i’ ditambah dengan ‘en’ di bagian akhirnya dan huruf ‘i’ lebur. Misalnya Trah Mangkubumi disebut Mangkubumen, dan sebagainya.

Bagaimana dengan masa sekarang? Mereka sudah banyak berubah menamakan anak-anak mereka, ada yang  mengikuti nama-nama artis, orang terkenal dan sebagainya. Nama-nama mereka banyak kita jumpai seperti nama-nama orang Barat, Timur Tengah dan yang lainnya.

(Bersambung)

Kopen, 11 September 2022

Tindakan Bijak Yang Tercermin Melalui Pepatah Jawa (Bagian 11)

Avatar photo

About Y.P.B. Wiratmoko

Lahir di Ngawi, 5 April 1962. Purna PNS ( Guru< Dalang wayang Kulit, Seniman, Penyair, Komponis, penulis serta penulis cerita rakyat, artikel dan buku. Telah menulis 200 judul buku lintas bidang, termasuk sastra dan filsafat. Sekarang tinggal di dusun kecil pinggir hutan jati, RT 021, RW 03, Dusun Jatirejo, Desa Patalan, Kecamatan Kendal, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur