Toleransi dalam Sepiring Pecel

Oleh IVY SUDJANA

Pernahkah diet dengan sayur rebus tanpa seasoning apapun? Saya pernah dan sungguh tak menikmati, bila saja tak membayangkan tumpukan lemak saat dulu hamil akan berkurang atau timbangan tak bergerak lagi ke kanan.

Bagaimana tidak? Sejatinya saya penikmat gado-gado, lotek, pecel, urap, karedok dan teman- temannya yang sungguh khas Indonesia. Penganan sayuran yang murah, mudah ditemukan, sehat karena direbus, creamy dan tasty. Isi sayur, bumbu siram, taburan kelapa tergantung selera. Harga mulai dua ribu sampai duapuluh ribu tergantung siapa penjualnya.

Gado-gado Jakarta ada yang pakai bumbu kacang mete sementara gado-gado Jawa Timur tidak diulek tapi disiram. Kalau lotek di Yogyakarta, biasa beraroma kencur dan disertai mi goreng atau gorengan bakwan. Sementara pecel, kemanisan siraman bumbu ulegnya bekisar dari manis ke pedas tergantung asal daerah pembuatnya.

Eh…jadi berliur saya membayangkannya. Namun, akankah saya tetiba menjadi food blogger membahas makanan itu? Tidak juga. Saat menulis ini, saya baru usai makan pecel buatan sendiri. Seusai juga membaca sliweran berita di lini masa media sosial saya.

Sejak hari Toleransi Internasional 16 November lalu, kita kembali disadarkan bahwa isu intoleransi di sekitar kita masih begitu rapuhnya. Serapuh pernyataan netizen berikut yang muncul di komen teman saya saat menuliskan pengalaman sebagai etnis Tionghoa di Indonesia:

“Menurut saya, sebagai minoritas seharusnya kalian tak usah protes, tak usah banyak bicara. Karena ya sebagai minoritas seharusnya memang begitu. Yang namanya minoritas harusnya mengalah, diam, tak banyak protes. Karena memang bukan nenek moyang kalian yang punya wilayah ini. Seharusnya sudah bersyukur bisa hidup aman dan mencari uang di wilayah ini dengan bebas. Walaupun dengan gangguan sedikit di sana sini. Itulah risikonya sebagai minoritas. Kalo misalnya tidak suka, ya tahu dirilah.”

Lalu rekan-rekan yang sangat toleran menjadi panas menanggapi ujaran yang bisa menyulut kebencian itu. Saya sendiri jujur tidak langsung bisa berkata apa-apa. Terlalu sering saya mendapatkan komen semacam yang intinya, “ga usah banyak ngomong”, karena kamu minoritas.

Membungkam dengan kata-kata kamu minoritas memang terasa pedas bagai adonan bumbu pecel dengan lima cabe di piring saya. Komen netizen tersebut seolah membenarkan teori hukum alam untuk diberlakukan pada interaksi sosial manusia. Yang kuat, yang banyak itu yang berkuasa. Yang bernenek moyang di tempat tersebut, adalah yang boleh bicara.

Narasi semacam ini tak satu dua saja bisa kita temui. Merasa berkuasa terhadap

sebuah daerah atau teritorial bahkan banyak diungkapkan sejak kecil. Coba lihat     percakapan, “Anak mana lo? Anak baru ya? Jangan macem-macem lo!” Sikap yang tentu melibatkan agresi yang awalnya verbal lalu mengarah pada fisik.

Sebuah artikel di New York Times tahun 1999 yang ditulis oleh Steven Levingston, International Herald Tribune mengangkat tentang hal ini sebagai tanggapan apa yang terjadi di Kosovo saat itu. Steven mengungkapkan teori antropolog Robert Ardrey yang kontroversial, “the territorial instincts of animals apply equally to man.”

Dalam tulisan Steven, teori Ardrey itu secara sederhana ingin mengungkapkan bahwa manusia, seperti halnya hewan didorong naluri memiliki dan mempertahankan wilayah yang mereka yakini sebagai milik mereka secara eksklusif.

Jadi tak heran kemudian muncul istilah pribumi, penduduk asli dan pendatang. Yang pribumi seolah memiliki hak lebih dibanding kaum pendatang. Padahal bila mau mencari tahu, adakah yang benar-benar pribumi, asli Indonesia sejak puluhan ribu tahun lalu?

Dalam liputan Antaranews tentang diskusi Jejak Manusia Nusantara dan Peninggalannya yang diadakan oleh Historia.id di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Selasa 5 November 2019, arkeolog Harry Widianto mengemukakan nenek moyang Indonesia berdasarkan genetis sendiri, berasal dari beberapa gelombang migrasi yang dimulai ketika manusia modern atau Homo sapiens keluar dari benua Afrika sekitar 150.000 tahun lalu.

Tidak ada yang bisa disebut sebagai pribumi asli di Nusantara, karena berdasarkan genetika sendiri ras di Indonesia sudah bercampur meski berasal dari pohon evolusi yang sama dan berasal dari Afrika,” kata Harry lagi. Yang bermigrasi dari Afrika lalu menetap di Papua dan Halmahera disebut ras Melanesia. Yang bermigrasi dari Taiwan; yang lalu ditelusuri ternyata dari Cina untuk menetap di Indonesia Barat kebanyakan tampak seperti subras Mongoloid. Sementara di area Nusa Tenggara Barat dan Timur, terjadi pencampuran ras keduanya. Jadi sebenarnya tidak ada yang disebut penduduk asli atau bernenek moyang di wilayah Indonesia.

Lalu mengapa ujaran yang memprovokasi hal tersebut terus ada? Apalagi terkait dengan keturunan Tionghoa di Indonesia, yang terus dianggap pendatang. Mereka tak mau peduli bila saya angkat bicara bahwa  kakek saya sudah duapuluh generasi tinggal beranak pinak di Indonesia.

Tirto.id pernah memuat beberapa liputan tentang hal ini. Salah satunya mengungkapkan penelitian Amy Freedman dari Franklin and Marshall College, Amerika Serikat. Kebencian terhadap etnis Tionghoa merupakan hasil dari politik pecah belah Soeharto. Saat Orde Baru, Soeharto memaksa masyarakat Tionghoa melakukan asimilasi sembari mengidentifikasi mereka sebagai bukan pribumi, termasuk dengan adanya pemberlakuan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) untuk mengurus pembuatan KTP dan paspor, nama tiga huruf yang di-Indonesiakan agar tak menimbulkan sentimen termasuk pemberian tanda atau nomor khusus keturunan Tionghoa pada KTP.

Saya dan kakak sendiri, mau tidak mau suka tidak suka tercantum selamanya sebagai anak luar nikah pada akte kelahiran, demi kemudahan segala administrasi di kemudian hari. Seorang sahabat saya mengalami kesulitan mendaftar  kuliah di universitas negeri karena namanya masih tiga huruf Cina.

Masa-masa tersebut sungguh merupakan fase tidak percaya diri dan keraguan identitas. Saya etnis Tionghoa, yang teridentifikasi sebagai bukan pribumi. Tapi juga tidak ‘termasuk’ etnis Tionghoa yang katanya menikmati berbagai fasilitas investasi hingga menjadi kaya. Sehingga saat terjadi kerusuhan, ada generalisasi bahwa wajar saja  menargetkan semua etnis Tionghoa sebagai sasaran kebencian.

Sentimen rasial ini ternyata sudah begitu tuanya. Merunut ke masa penjajahan Belanda, saya teringat cerita almarhumah tante saya tentang Geger Pecinan di Jakarta yang menyebabkan lebih dari sepuluh ribu orang Tionghoa dieksekusi di tempat umum sehingga sungai berwarna merah. Relasi antara masyarakat Tionghoa dan penduduk setempat yang tadinya setara sebagai pedagang, ketika VOC masuk menjadi bergeser; dengan posisi Tionghoa sebagai rekan bisnis dan mendapatkan perlakuan istimewa ketimbang kebanyakan masyarakat setempat.

Hal ini menyulut kebencian beratus tahun kemudian. Dan itu tidak saja di Jakarta, sejarah mencatat begitu banyak etnis Tionghoa menjadi sasaran sentimen rasial yang dimanfaatkan kelompok tertentu, seperti Perang Jawa, kerusuhan di Solo, Kudus, Tangerang, Palembang, Makassar, Medan, Kalimantan dan puncaknya adalah kerusuhan Mei 1998. (seperti dalam liputan Tirto.id : Sejarah Kebencian Terhadap Etnis Tionghoa oleh Arman Dhani tanggal 1 September 2016). Membaca referensi sejarah kelam itu dan mengingat lagi komen netizen di postingan teman membuat saya berpikir panjang.

Apa saya perlu menunggu negara turun tangan mengupayakan berkurangnya ujaran provokatif dan sentimen rasial ini? Paling dengan UU ITE yang masih meragukan saya dengan pasal karetnya. Sementara netizen di luar sana maupun pembenci di dunia nyata tak bisa serta merta dibungkam. Yang mungkin dilakukan adalah ‘menyerang balik’. Dalam arti, berani bicara, berani bersuara, berani bersikap, berani berpendapat, berani menuliskannya, dan terus berkarya dengan semangat meredam kebencian itu dengan hal-hal yang lebih bernilai.

Bukan hanya diam saja, seperti bungkamnya banyak keturunan Tionghoa bila sudah terpojok dengan katakata minoritas. Mudah? Tentu tidak. Bahkan ketika saya mengajak untuk bersama-sama melanjutkan semangat toleransi, ada yang bicara, “Ya … pokoknya tetap berjalan pada koridor, situ jangan mencampuri ajaran kepercayaan saya; saya juga ga ikut campur urusan situ. Itu baru bisa toleransi.” Mendengarnya membuat saya hendak menyodorkan sepiring pecel yang hanya berisi kenikir dan mentimun saja, bahkan tanpa bumbu dan rempeyek. Agar ia bisa merasa betapa hambarnya berjalan sendiri, tanpa keinginan menjalin interaksi dan kerjasama dengan orang lain.

Sepiring pecel dengan isi sayur berbagai rupa dalam takaran yang pas, lalu disiram bumbu uleg dan ditaburi peyek, bak mensinergikan kelebihan kekurangan setiap manusia, tanpa mempermasalahkan siapa mayoritas minoritas di antaranya.

“Tidak ada yang bisa disebut sebagai pribumi asli di Nusantara, karena berdasarkan genetika sendiri ras di Indonesia sudah bercampur meski berasal dari pohon evolusi yang sama dan berasal dari Afrika,” kata Harry lagi. Yang bermigrasi dari Afrika lalu menetap di Papua dan Halmahera disebut ras Melanesia. Yang bermigrasi dari Taiwan; yang lalu ditelusuri ternyata dari Cina untuk menetap di Indonesia Barat kebanyakan tampak seperti subras Mongoloid. Sementara di area Nusa Tenggara Barat dan Timur, terjadi pencampuran ras keduanya.

Jadi sebenarnya tidak ada yang disebut penduduk asli atau bernenek moyang di wilayah Indonesia. Lalu mengapa ujaran yang memprovokasi hal tersebut terus ada? Apalagi terkait dengan keturunan Tionghoa di Indonesia, yang terus dianggap pendatang. Mereka tak mau peduli bila saya angkat bicara kakek saya sudah duapuluh generasi tinggal beranak pinak di Indonesia.

Tirto.id pernah memuat beberapa liputan tentang hal ini. Salah satunya mengungkapkan penelitian Amy Freedman dari Franklin and Marshall College, Amerika Serikat. Kebencian terhadap etnis Tionghoa merupakan hasil dari politik pecah belah Soeharto.

Saat Orde Baru, Soeharto memaksa masyarakat Tionghoa melakukan asimilasi sembari mengidentifikasi mereka sebagai bukan pribumi, termasuk dengan adanya pemberlakuan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) untuk mengurus pembuatan KTP dan paspor, nama tiga huruf yang di-Indonesiakan agar tak menimbulkan sentimen termasuk pemberian tanda atau nomor khusus keturunan Tionghoa pada KTP. Saya dan kakak sendiri, mau tidak mau suka tidak suka tercantum selamanya sebagai anak luar nikah pada akte kelahiran, demi kemudahan segala administrasi di kemudian hari.

Masa-masa tersebut sungguh merupakan fase tidak percaya diri dan keraguan identitas. Saya etnis Tionghoa, yang teridentifikasi sebagai bukan pribumi. Tapi juga tidak ‘termasuk’ etnis Tionghoa yang katanya menikmati berbagai fasilitas investasi hingga menjadi kaya. Sehingga saat terjadi kerusuhan, ada generalisasi bahwa sebuah kewajaran bila menargetkan semua

etnis Tionghoa sebagai sasaran kebencian. Bahkan sahabat saya kesulitan mendaftarkan kuliah di universitas negeri karena namanya masih tiga huruf Cina.

Sentimen rasial ini ternyata sudah begitu tuanya. Merunut ke masa penjajahan Belanda, saya teringat cerita almh tante saya tentang Geger Pecinan di Jakarta yang menyebabkan lebih dari

sepuluh ribu orang Tionghoa dieksekusi di tempat umum sehingga sungai berwarna merah. Relasi antara masyarakat Tionghoa dan penduduk setempat yang tadinya setara sebagai pedagang, ketika VOC masuk menjadi bergeser; dengan posisi Tionghoa sebagai rekan bisnis dan mendapatkan perlakuan istimewa ketimbang kebanyakan masyarakat setempat. Hal ini menyulut kebencian beratus tahun kemudian.

Dan itu tidak saja di Jakarta, sejarah mencatat begitu banyak etnis Tionghoa menjadi sasaran sentimen rasial yang dimanfaatkan kelompok tertentu, seperti Perang Jawa, kerusuhan di Solo, Kudus, Tangerang, Palembang, Makassar, Medan, Kalimantan dan pamungkasnya kerusuhan Mei 1998. (seperti dalam liputan Tirto.id : Sejarah Kebencian Terhadap Etnis Tionghoa oleh Arman Dhani tanggal 1 September 2016)

Membaca referensi sejarah kelam itu dan mengingat lagi komen netizen di postingan teman membuat saya berpikir panjang. Apa saya perlu menunggu negara turun tangan mengupayakan berkurangnya ujaran provokatif dan sentimen rasial ini? Paling dengan UU ITE yang masih meragukan saya dengan pasal karetnya. Sementara netizen di luar sana maupun pembenci di dunia nyata tak bisa serta merta dibungkam.

Yang mungkin dilakukan adalah ‘menyerang balik’. Dalam arti, berani bicara, berani bersuara, berani bersikap, berani berpendapat, berani menuliskannya, dan terus berkarya dengan semangat meredam kebencian itu dengan hal-hal yang lebih bernilai. Bukan hanya diam saja, seperti bungkamnya banyak keturunan Tionghoa bila sudah terpojok dengan kata- kata minoritas.

Mudah? Tentu tidak. Bahkan ketika saya mengajak untuk bersama-sama melanjutkan semangat toleransi, ada yang bicara, “Ya.. pokoknya tetap berjalan pada koridor, situ jangan mencampuri ajaran kepercayaan saya; saya juga ga ikut campur urusan situ. Itu baru bisa toleransi.”

Mendengarnya membuat saya hendak menyodorkan sepiring pecel. Dengan hanya isian kenikir dan mentimun saja, bahkan tanpa bumbu dan rempeyek. Agar ia bisa merasa betapa hambarnya berjalan sendiri, tanpa keinginan menjalin interaksi dan kerjasama dengan orang lain.

Sepiring pecel dengan isian sayur berbagai rupa dalam takaran yang pas, lalu disiram bumbu uleg dan ditaburi peyek, bak mensinergikan kelebihan kekurangan setiap manusia, tanpa mempermasalahkan siapa mayoritas minoritas di antaranya.

https://www.google.com/amp/s/m.antaranews.com/amp/berita/1148200/arkeolog-sebut-tidak-

ada-pribumi-asli-indonesia

https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/sejarah-kebencian-terhadap-etnis-tionghoa-bFLp

https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/hilangnya-identitas-orang-tionghoa-akibat- asimilasi-paksa-el92

Avatar photo

About Ivy Sudjana

Blogger, Penulis, Pedagog, mantan Guru BK dan fasilitator Kesehatan dan Reproduksi, Lulusan IKIP Jakarta Program Bimbingan Konseling, Penerima Penghargaan acara Depdikbud Cerdas Berkarakter, tinggal di Yogyakarta