Tragedi dan Kemenangan Dalam Diri Sutan Sjahrir (1)

Oleh DIMAS SUPRIYANTO

Artikel pertama dari dua tulisan

 “Hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan, “ demikian tulis Sutan Sjahrir (1909 – 1966)  dalam suratnya yang ditulis dari tempat pembuangannya di Boven Digul, Papua. Dia mengutip penyair Jerman, Friedrich von Schiller(1723-96), yang berbunyi Und setzet ihr nicht das Leben ein, Nie wird euch das Leben gewonnen sein.

Ignas Kleden, cendekiawan, sosiolog,  yang fasih berbahasa Jerman yang meneliti surat surat Sjahrir menyatakan, kalimat kalimat yang indah itu dikutipnya dari luar kepala oleh tokoh pejuang kemerdekaan asal Padang Panjang  itu, karena sangat disukainya dan besar artinya baginya.

Menurut Ignas Kleden, kegiatan politik sebenarnya bukan hal yang digandrungi Sutan Sjahrir. Namun sebagaimana diakui tokoh yang dijuluki Bung Kecil itu,  panggung politik menjadi “perkara yang tak terelekkan dalam hidupnya”.

Sutan Sjahrir menyebut politik adalah hal pragmatis, yang hanya menyangkut suatu tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut, yang dapat ditangani dengan memakai rasionalistas instrumental – sebagaimana diajarkan Max Weber: “Zweckrationalitat” .

Politik lebih mirip suatu etika yang menuntut agar suatu tujuan yang dipilih harus dapat dibenarkan oleh akal sehat – dapat diuji – dan untuk mencapainya harus bisa dites secara moral, tambahnya.

Sikap mempertaruhkan hidup untuk memenangkan hidup dalam berpolitik, memberi kesan bahwa Sutan Sjahrir merupakan “politisi yang romantis dan tidak memahami cara kerja mesin kekuasaan dalam politik praktis, “ kata Ignas Kleden.

“Konsepsi politik seperti itu kedengarannya terlalu halus, “ kesan cendekiawan asal NTT itu dalam esai sekaligus dibacakan sebagai Orasi Mengenang Sutan Sharir di Taman Ismail Marzuki, 8 April 2006 lalu. (Sutan Sjahrir: Etos Politik dan jiwa Klasik.pen).

Jangan bandingkan dengan politik ala Politisi Senayan atau politisi Kebon Sirih, yaitu terjun ke politik sebagai investasi untuk kemakmuran dan memumpuk kekayaan diri serta pengamanan dan pengembangan bisnisnya.

Meski demikian, Sutan Shahrir menegaskan, dalam politik hidup harus dimenangkan. Bukan untuk disia siakan atau dihilangkan dengan cara gampangan.

Di masa perjuangan menuju kemerdekaan, kata Sutan Shahrir, tujuan politik adalah membebaskan rakyat segala jenis totalitarianisme, agar memberi jalan kepada rakyat mencapai pendirian dan kebebasannya. Karena itu, bersama Bung Hatta dia harus menjalani pengasingan dan pembuangan di Boven Digul (1934), dan selanjutnya ke Banda Neira (1936) dan baru dibebaskan pemerintah Hindia Belanda pada Januari 1942.

SUTAN SJAHRIR, putra seorang penasehat sultan Deli dan Kepala Jaksa (landraad) di Medan, memiliki peran strategis dalam merintis berdirinya negeri ini. Sjahrir memimpin perundingan dengan Belanda untuk mendapatkan pengakuan atas kemerdekaan Indonesia serta menggalang dukungan dari dunia internasional.

Sukses memimpin delegasi dalam Perjanjian Linggarjati, Sutan Sjahrir menunjukkan kepada dunia internasional bahwa revolusi Republik Indonesia adalah perjuangan suatu bangsa yang beradab dan demokratis di tengah suasana kebangkitan bangsa-bangsa melepaskan diri dari cengkeraman kolonialisme pasca-Perang Dunia II. Bung Kecil itu mematahkan propaganda pihak Belanda masa itu, yang menggembar gemborkan kepada dunia bahwa orang-orang di Indonesia merupakan gerombolan yang brutal, suka membunuh, merampok, menculik, dll.

Bung Sjahrir yang pernah bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan juga aktor – saat masih sekolah menengah (AMS) di Bandung, bahkan menginisiasi penyelenggaraan pameran kesenian yang kemudian diliput dan dipublikasikan oleh para wartawan luar negeri.

Bersama sama Tan Malaka, Sutan Sjahrir merupakan dua orang dengan pemikirannya yang populer kemudian dianut banyak kalangan pejuang republik. Dua tokoh pergerakan kemerdekaan yang dinilai steril dari noda kolaborasi dengan Pemerintahan Fasis Jepang, meski kemudian bertentangan jalan dalam memperjuangan kedaulatan republik. Dan kehidupan keduanya berakhir tragis. (Bersambung)

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.