HarTjah & Heryus dalam acara budaya di Synthesis Resident Kemang Jakarta Selatan 09 Maret 2020 – Foto: RESTIAWATI NISKALA
Oleh Heryus Saputro Samhudi
Ibarat musim atau cuaca, di kiprah sastra di Indonesia Harry Tjahjono atau HarTjah itu sebuah anomali atau ketidaklaziman. Betapa tidak? Sebab, yang namanya penulis atau pengarang (boleh simak kisah Margaret Mitchell penulis novel legendaris Gone with The Wind, atau J.K Rowling yang 10 tahun menulis 6 seri novel Harry Potter) umumnya memulai kiprahnya dengan menulis hal sederhana. Puisi, misalnya.
Tapi tak demikian dengan HarTjah. Di tahun 1977, bartenders sebuah night club terkenal di Jakarta ini ujug-ujug atau mendadak berkeinginan menulis novel. Tentu saja banyak temannya di (waktu itu) Gelanggang Remaja Jakarta Selatan atau Gelanggang Bulungan tertawa, nggak pada percaya. Bahkan ada beberapa teman mencibir, sinis, menyebut HarTjah cuma “omdo” alias (cuma) “omong doang”, hi…hi…hi…!
“Sebentar, Bang, sebentar…! Maksud Abang…ini Harry Tjahjono penulis legendaris skenario (sampe 102 episode) serial Si Doel Anak Sekolahan yang diperankan dan diproduseri Rano Karno? HarTjah yang nulis skenario film “Langitku Rumahku yang disutradarai Slamet Rahardjo? Penulis skenario dan theme song serial Keluarga Cemara karya Arswendo Atmowiloto almarhum?” celetuk Mak Wejang.
Ya, iya ‘lah…! Siapa lagi kalo bukan do’i…? HarTjah yang malang-melintang di dunia jurnalistik Indonesia, banyak menulis dongeng anak, wartawam di berbagai majalah, Pemimpin Redaksi berbagai tabloid hiburan seperti PRO-TV dan X-File, bahkan tahun 2009 – 2010 pernah jadi anggota Dewan Kreatif FTV-SCTV bersama Deddy Mizwar, Arswendo Atmowiloto, Jujur Prananto, John de Rantau dan Imam Tantowi.
HarTjah yang sama pernah tidur bareng saya di atas k’loso, tikar anyaman daun pandan, di rumah kontrakan berlantai tanah, dinding bilik (bisa diintip orang dari luar), di kampung Betawi di Cilandak Timur dekat TPU Jeruk Purut. Sepetak kamar yang dikontrak Mas Djatmiko – pelukis Sanggar Garajas, dan Mas Harry Suwandito almarhum yang kakak kandungnya Bens Leo, sekaligus abang sepupu HarTjah.
Saya dan HarTjah numpang tinggal di kontrakan Mas Djatmiko dan Mas Harry Suwandito itu, seperti juga almarhum Ags Arya Dipayana (masih pelajar SMAN 6 Jakarta, sekelas bareng Rano Karno), serta beberapa teman seniman lain semisal karikaturis Sudi Purnomo alias Non-O. Adik kami Neno Warisman (saat itu masih di SMA Tarakanita) dan senior kami Teguh Esha juga kerap mampir bawa camilan.
Di petak kontrakan itu HarTjah mewujudkan mimpi sekaligus membuktikan tekadnya menulis novel, dengan kredo umum para pegiat seni di Jakarta saat itu, yakni “berangkat dari yang ada”. Artinya, HarTjah memulai menulis berdasar rasa dan kemampuan serta apa yang ia miliki. Mesin ketik misalnya, saat itu belum lumrah dimiliki calon penulis. Bahkan rasanya, HarTjah belum bisa ngetik, ha…ha…ha…!
HarTjah dengan Si Bungsu Harry Krisna – Foto dukumentasi Harry Tjahjono
Tapi itu bukan alasan untuk tidak memulai. Sekali lagi, dengan kredo “berangkat dari yang ada” HarTjah pergi ke toko buku di Pasar Melawai Blok M, membeli sekotak ballpoint tinta hitam, sebuah penggaris berbahan plastik, plus buku tulis lebar panjang. Pada lembar-lembar buku itu tiap malam, diterangi sinar lampu sentir minyak tanah, berselonjor di atas tikar, HarTjah menulis apa-apa yang ada di kepalanya.
Hasilnya? Mencengangkan. Untuk kawan-kawan yang sempat mencibir dan sinis, HarTjah membuktikan bahwa dia tidak “omdo”. Sebuah kisah panjang, novel, atau apalah namanya…tergelar dalam buku tulisan tangan yang penuh coretan-coretan dan tanda penambahan kalimat. Kisah bertajuk asli LESTARI – Nama Gadis Itu (HarTjah juga membuatnya jadi lagu) yang bikin Bang Teguh Esha mengangguk-angguk.
Seingat saya, Bang Teguh Esha ‘lah yang usul mengirim naskah tersebut ke majalah Gadis. Ada banyak teman komunitas seniman Bulungan di Majalah Gadis. Ada redaktur musik Bens Leo. Ada kartunis dan illustrator Si Jon yang beken dan digandrungi para remaja Indonesia saat itu. Ada penata grafis Dimas Praz (pendiri Garajas) di femina. Juga ada penulis cerita anak Soekanto SA yang masih terbilang Oom-nya Hartjah.
Tapi lolos tidaknya sebentuk naskah di lingkungan Majalah femina-gadis–ayahbunda, sama sekali tak ada kaitannya dengan nama-nama beken di atas. Untuk majalah gadis misalnya, tiap naskah cerpen/cerber/novelet/novel bahkan sketsa/percikan, kudu melewati melewati tim redaksi fiksi dibawah komando Mbak Belinda Gunawan. Naskah tulisan tangan HarTjah lolos, terbit sebagai cerbung Selamat Tinggal Duka.
“Terusnya, Bang, terusnya…?” sela Mak Wejang. Saya tersenyum sambil balik bilang, “Cerita utuh ihwal Harry Tjahjono sih nggak akan kering ditulis cuma dengan sepuluh bagian tulisan. Jadi buku biografi tebal juga saya sanggup menulisnya…”
08/07/2021 Pk 09:58 WI