Oleh DIMAS SUPRIYANTO
PADA Mei 2011 dia menjadi target pengeboman lewat paket yang dikirim ke Komunitas Utan Kayu, Jakarta, setelah difatwa hukuman mati oleh FUUI. Seorang perwira polisi menjadi korbannya karena membuka paket itu.
Di satu kafe, di kawasan Jatibening Bekasi – beberapa hari lalu, atas jasa baik Lilik Sugianto Lie, aktifis GusDurian, kami dipertemukan. Basa basi sejenak, dua laki laki berblangkon di kafe itu pun langsung terlibat pembicaraan serius. Dengan gaya santai.
Ulil yang saya jumpai langsung, masih seperti yang saya kenal di foto foto. Dia ramah dan mudah akrab dengan siapa saja.
Saya katakan, dulu saya membaca artikel yang ditulisnya, kagum dengan pemikiran dan pernyatan pernyataannya bahkan mengoleksi buku-buku diskusinya. Kini pun masih.
“Dalam pandangan keagamaan saya tidak berubah, ” katanya menegaskan. Artinya dia masih tetap liberal.
Dari channel Youtube, saya melihat kini dia rajin menggelar pengajian. Tasawuf. Ngaji Ihya Ulumuddin membedah kitab kitab klasik, khususnya mengkaji kitab karya al-Ghazali.
“Saya suka mengaji, saya suka ide ide dan berbagai pemikiran. Pagi dan malam, kalau ada waktu saya mengaji, ” kata tokoh JIL, 54 tahun ini.
Dengan teknogi informasi mutakhir, dia mengaku bisa mengaji dengan ulama di seantero Jawa maupun Timur Tengah – secara online. Ada teks kitab yang bisa diakses dan dibaca dan ada audio pembahasannya untuk didengar. Komplit.
Ulil dibesarkan di lingkungan keluarga Nahdatul Ulama. Ayahnya, Abdullah Rifa’i adalah pengelola pesantren Mansajul Ulum di Pati. Dia menyelesaikan pendidikan menengahnya di Madrasah Mathali’ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah yang diasuh oleh KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz. Mendapat gelar Sarjananya di Fakultas Syari’ah LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta, dan pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan memperoleh gelar Doktoral di Boston University, Massachussetts, AS.
Ulil Abshar Abdalla kok masih ngaji? Saya pun bertanya dengan heran.
“Saya ini bawaannya senang ngelmu, senang belajar, saya orang yang kepo, ” jawabnyak setengah berseloroh.
“Kebetulan era digital sekarang, memudahkan ngaji dengan siapa saja. Tentu saja kita harus pintar pintar memilih. Saya bisa memilih. Tiap hari saya ngaji. Rutin pagi dan sore. Menjelang tidur, dengar rekamannya, ” jelas cendekiawan kelahiran Pati, Jawa Tengah, 11 Januari 1967 ini.
“Saya ikut ngaji dengan kyai di Jawa atau dengan ulama di Timur Tengah. Habib Umar di kota Tarim Hatratumaut, contohnya. Banyak orang ngaji di sana. Disiarkan online. Saya ikut sebagian yang punya waktu. Pengajian di Maroko dan Iran, ada rekamannya. Kalau live-nya ada perbedaan waktu ” paparnya.
“Saya suka ngaji karena ajaran Islam klasik itu keren banget, asal bisa mengolah. Banyak kalangan di pesantren sendiri kurang bisa mengolah – jadi tidak menarik, ” tambahnya.
Kitab kitab yang ditulis abad 10 – 11 Masehi dianggap ketinggalan. Tapi kalau bisa mengolah keren banget, kata menantu Gus Mus, ulama kharismatis Rembang ini.
Ngaji Ihya, tentang dosa dosa mulut, terkait dengan perilaku, misalnya. Persis dan relevan dengan kejadian sekarang.
Ada 20 dosa mulut (sekarang penyakit jari!), yakni membully orang, menghujat, adu domba dan hoax itu kan pas banget dengan keadaan sekarang.
Orang yang tidak punya ilmu ikut berdebat. Tidak punya kompetensi, sehingga memperburuk keadaan. Ilmunya belum seberapa sudah menghakimi orang seperti (Prof. DR) Quraish Shihab. Nuding Syiah, liberal, dll.
“Saya kuat berjam jam di monitor komputer. Sudah jarang pegang buku cetak. Sudah mendekati native. Relative. Alhamdulillah, karena nggak semua tahan. Saya bisa berjam jam baca di buku online ini – papar Ulil lagi.
Pada umur 50an tahun ini, saya tak tertarik pada tempat. Gunung, pantai, dan tempat rekreasi lainnya. Saya tertarik pada manusia, baik yang hidup atau yang sudah mati. Saya suka ziarah.
Tujuan saya ziarah ke orang, dan saya menikmati sekali, ketika duduk dengan tokoh. Ulama. Gak ternilai.
“Ada orang yang kalau kita ketemu dia duduk di sampingnya, melihat wajahnya, kita dapat ilmu. Kita dapat curahan ilmu. Nyeroom. Pengalaman yang bagi saya menakjubkan. Saya duduk di sampingnya, melihat wajahnya dapat ilmu. Bagi saya itu seperti melihat pantai dan gunung ” kata Ulil.
Selanjutnya, rindukan tokoh pemersatu