Umuk ke Amuk Massa Benarkah Budaya Solo?

Peristiwa urungnya perubahan perilaku umuk menjadi amuk masa dalam kasus ini penting untuk dicatat dalam perjalanan sejarah siklus 15 tahunan amuk massa obong-obongan. Menurut catatan sejarawan Sudarmono (alm), siklus bakar-bakaran bakal kembali terulang secara periodik dalam siklus limolasan tahun. Meski klise, sebagai seorang resi pencatat sejarah, kekawatiran Sudarmono pantas kita renungkan dan waspadai. Siapa tahu, budaya umuk dapat sewaktu-waktu berubah menjadi amuk masa yang tidak produktif dan sangat merugikan kita semua.

Bila kita cermati secara sekasama, perilaku umuk masa komunal di Solo saat ini, boleh jadi telah bermetamorfosis ke dalam bentuk pelbagai carnival jalanan. Barangkali, masyarakat tidak akan pernah menyadari bahwa pamer, apapun bentuknya, merupakan salah satu elemen dasar umuk. Meminjam istilah Betawi dalam jargon bahasa gaul, gue punya dan gue juga bisa – sebenarnya merupakan gaya penyombongan diri berlebihan. Celetukan anak muda peserta carnival yang memamerkan, “Costum batik gue seharga 3.5 juta” menjadi salah satu cerminan budaya umuk. Celakanya budaya umuk generasi muda itu digelar, saat ribuan warga miskin lain ngantri beras dan makan nasi aking. Sungguh satu pemandangan yang kontras dan sangat ironis.

Alasan pelebelan Solo sebagai kota budaya tidak diharus disertai pagelaran dan seremonial jalan. Solo bukan Rio de Jenario yang mengetengahkan ajang pamer tahunan, dalam kemasan kurang lebih, pamer sensualitas tubuh dan pakaian minim. Meski ajang pamer batik, dijadikan daya tarik sebagai branding agar wisatawan mengalir deras ke kota Bengawan, tampaknya perlu dikaji ulang agar umuk massa dapat terbendung.

Toh selama ini tak banyak “wong Londo” ngendon di kota kelahiran sang maestro keroncong almarhum Gesang berleha-leha ngabisin dollar. Justru yang semakin nyaring terdengar suara umuk anak-anak muda pamer. Ajang umuk yang diembel-embeli pelebelan dhodolan citra Solo sebagai kota budaya, disalah tafsirkan sebagai ajang pamer sugih-sugihan. Kalau sudah seperti itu, dikawatirkan jurang kesenjangan kaya-miskin semakin menganga lebar. Bisa jadi umuk masa bisa memantik amuk masa, kalau tidak diwaspadai dari sekarang. Mudah-mudahan tidak terjadi. ***

Avatar photo

About Eddy J Soetopo

Peneliti Media Massa, Anggota AJI Solo, Direktur Eksekutif Institute for Media and Social Studies ( IMSS), Pemimpin Redaksi sarklewer.com. Penggemar kuliner. Tinggal di Kota Solo.