Seide.id – “Mama dulu mutusin punya anak itu, dasar alasannya apa?”
“……….” Aku berusaha menyusun jawaban yang diplomatis, tapi anak itu keburu membombardir
“Karena semua orang punya anak? Jadi mama cuma ikut-ikutan masyarakat doang gitu?”
“Kalau itu, jelas nggak. Mama jenis orang yang bangga menjadi diri mama sendiri, hidup berdasarkan prinsip mama sendiri, meskipun dianggap aneh. Jadi, ikut-ikutan jalannya orang banyak, itu jelas bukan mama banget.”
“Jadi apa, dong?”
“You’re not going to like hearing this.”
“Try me.”
“Mama itu adalah orang yang longing mencari diri sendiri…. I need to know who I am. Mama banyak eksplore diri untuk mencari tahu dan membangun diri…. Ketika itu, semua pengalaman hidup sudah mama alami… Eksplore dunia, sudah. Menapaki karir, sudah. Menikmati kemerdekaan hidup, sudah. Jadi, mempunyai anak akan membuat mama mengenali aspek diri yang belum terselami, yaitu facet keibuan dan keperempuanan mama….”
“Hehe… kedengerannya selfish banget….”
“Betul. Sejujurnya, alasannya memang selfish banget.”
“Banyak perempuan lain memutuskan punya anak, demi punya-punyaan. Sekedar punya darah daging. Supaya nggak dinyinyirin masyarakat. Untuk membuktikan dia nggak mandul. Untuk mengikat suaminya. Malah ada yang punya anak sebagai investasi hari tua, untuk dituntut membalas budi. Semua alasan itu juga selfish. Bullshitlah kalau punya anak demi menyalurkan cinta. Kalau orang-orang ingin punya anak untuk menyalurkan cinta mereka yang banyak sampai luber-luber, kenapa harus bikin anak sendiri? Kenapa nggak mengadopsi anak panti asuhan saja? Minimal satu. Kan sama seperti orang yang napsu makannya besar. Nggak harus masak sendiri kan? Kan bisa beli makanan di restoran, untuk menyalurkan selera makan yang besar itu kan?”
“Semua anak panti asuhan toh haus cinta dan kasih sayang. Kenapa nggak menyalurkan cinta ke mereka juga?”
Foto-foto: dokumentasi Nana Padmosaputro
“Nah…!”
“Jadi, apa kabar unconditional love?”
“Kabarnya ke laut…”
“Jadi unconditional love itu nggak ada?”
“Nggak banyak orang yang mampu melakukannya…. maka otomatis cuma sedikit manusia di bumi ini yang menemukan orang yang bisa mencintainya unconditionally….”
“Mama sendiri gimana?”
“Mama nggak bisa mengclaim bahwa cinta mama ke kamu itu unconditional. Tapi mama memutuskan berhenti kerja untuk berada sepenuhnya bagimu… lalu ketika mama kerja lagi, mama memilih freelance. Sambil berharap kamu bisa merasakan dan mengalami bahwa mama sungguh komit, dan tidak meminta apapun dari kamu. Pernah kah mama minta sesuatu?”
“Belum. Mama bahkan nggak pernah memintaku untuk patuh… Mama cuma minta aku mengembangkan karakterku sebagus mungkin, setegar mungkin.”
“Itu, sudah.”
“Kenapa mama cuma minta itu? Kenapa nggak minta yang lainnya? Misalnya minta dihormati… minta disayang? Atau dipatuhi…?”
Aku cuma tersenyum. Ada sebuah rahasia. Dan aku tidak tahu apakah dia perlu tahu….
“Kenapa mama cuma berisik memintaku mampu mandiri dan mampu menghadapi hidup?”
“Karena, meskipun alasan awalnya mama punya anak adalah untuk membuat mama mengalami jadi ibu, dan mama akui, itu alasan yang egois…. tapi…”
“Tapi…?”
“Tapi mama mengalami, ketika melahirkan kamu… mama nggak cuma ngeluarin bayi dari perut mama. Tapi seluruh jantung dan separuh jiwa mama juga ikut keluar, nempel di kamu.”
“Maksudnya?”
“Maksudnya, kamu itu membawa separuh daya hidupnya mama…. Jadi kalau kamu sedih, tak mampu mengurus diri, takut menghadapi dunia…. maka separuh jiwa mama akan ikut menderita bahkan mati bersamamu…”
“Oooow maaa…”
Anak itu lantas memeluk dan menciumku…
“I promise, I will take care of my self, ma. Don’t worry…”
Dan aku, ibu yang mbuh ini, merasa yakin… bahwa seluruh jantungku dan separuh jiwaku akan aman ada di tangannya.
Aku akan baik-baik saja, karena dia akan mampu baik-baik saja menjalani hidup.
Dan seluruh misi parenting ini, adalah untuk itu. Untuk sebuah alasan yang egosentrik yang seringkali dibungkus denial ‘Cinta seorang ibu sepanjang jalan’. Lalu melakukan self glorification kemana-mana sambil bilang ‘surga di telapak kaki ibu’. Halah telek….
Kebanyakan, kaki ibu jaman sekarang bau kepentingan pribadi, bukan bau surga.
Aku berani jujur, bahwa semua yang kulakukan baginya ini, demi agar aku bisa mati tenang, kelak…. karena aku tahu, bahwa aku telah melakukan yang terbaik semampuku…
Semua perjuangan ini, agar aku tidak dihakimi oleh diriku-sendiri dengan cambukan rasa bersalah karena telah melahirkannya di dunia, semata agar aku menjadi ibu….
Cintamu pada anakmu itu unconditional..?
Renungkan lagi deh.
Nana Padmosaputro