Seide.id -Lega. Itu yang saya rasakan ketika Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan kemarin, Selasa (11/7/2023), resmi disahkan dalam Rapat Paripurna ke-29 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masa sidang 2022-2023.
Tapi dalam rapat itu, ada 2 fraksi yang menolak pengesahan yakni Fraksi Demokrat dan Fraksi Keadilan Sejahtera. Biasalah dua partai ini ya.
Sebelumnya, persoalan yang menjadi sorotan para tenaga kesehatan di dalam UU Kesehatan yang direvisi adalah soal kemudahan pemberian izin untuk dokter asing maupun dokter WNI yang diaspora dan mau kembali ke dalam negeri buat membuka praktik.
Persyaratan yang harus dikantongi mereka biar bisa buka praktik di dalam negeri harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sementara, Surat Izin Praktek (SIP), dan Syarat Minimal Praktek.
Akan tetapi, kalau dokter diaspora dan dokter asing itu sudah lulus pendidikan spesialis maka mereka bisa dikecualikan dari persyaratan.
Aturan inilah yang dari awal ditentang dan dinilai berbahaya, karena katanya dokter spesialis bisa semena-mena beroperasi tanpa rekomendasi dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Padahal selama ini kan dokter wajib mendapatkan rekomendasi IDI berupa STR sebelum mengajukan permohonan SIP ke Kementerian Kesehatan.
Nah, aturan baru yang sudah jadi UU itu oleh IDI dianggap sama saja dengan mencabut peran IDI sebagai organisasi profesi terkait persyaratan praktik tenaga kesehatan.
Padahal bukan rumor lagi kalau IDI selama ini dianggap ormas yang terlalu berkuasa dan bikin ribet dunia kesehatan Indonesia, yang sekarang bisa diselesaikan lewat Undang Undang kesehatan, termasuk penciptaan dokter spesialis.
Menurut pemerintah, dominasi organisasi kesehatan ini telah menghambat pertumbuhan dokter spesialis karena mahalnya biaya pengurusan izin praktik. Padahal, rasio dokter spesialis di Indonesia masih jauh di bawah standar.
Mau menjadi dokter spesialis pun tidak murah alias mahal banget. Jangan heran pendidikan dokter spesialis kebanyakan hanya bisa diakses orang-orang yang mampu atau punya koneksi. Orang tua seperti saya yang berlatar dunia jurnalis terhitung kerelah.
Sementara calon dokter spesialis di luar negeri, selain dibiayai oleh negara, karena mereka terhitung sebagai pekerja dan melayani masyarakat, jadi mereka juga digaji.
Makanya anak saya nekad memilih melanjutkan mengambil spesialis di luar negeri, dengan tekad kalau masih dibikin ribet oleh aturan di sini, tidak terpakai di negeri sendiri, ya sudah tidak usah pulang. Mengabdi saja di negeri orang lain. Di mana aja. Sama-sama buat kemanusiaan kok. Tidak masalah.
Nah, dengan disahkannya RUU Kesehatan menjadi Undang Undang, saya sih sebagai orangtua berharap suatu saat anak saya pulang dan mau mengabdi buat bangsa dan negaranya. Bukan buat gagah-gagahan. Tapi karena negeri ini memang amat sangat kurang sekali dokter spesialis. Lebay ya bahasa saya. Faktanya memang demikian.
Tapi ya terserah anak saya juga sih.
Salut buat perjuangan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Ramadhan Syukur