Seide.id – “Jika kau melihat sebatang pohon. Lalu kau melukisnya seperti pohon pada umumnya: batang berwarna abu-abu, atau coklat kehitaman dan daun-daunnya berwarna hijau. Maka kau bukan pelukis. Kau adalah seorang juru foto. Bahkan fotografer pun, memerlukan imajinasi”…(Anonim).
Di tengah-tengah corat-coret sketsa dan mencari-cari ide untuk pameran bersama beberapa teman yang menantangku (mengajak sebetulnya, menantang itu supaya terdengar gagah saja – seperti sepotong syair lagu pop: menunggu pacar untuk diantar pulang aja bilangnya:…berjuang!).
Ya, teman-teman mengajak untuk berpameran lagi. Setelah beberapa minggu lalu pameran, juga bersama teman-teman.
Di Facebook ada seorang teman memposting sebuah lukisan Van Gogh. Aku tentu saja terpesona dan terpana kepada lukisan itu. Baru saja aku berguman dan ingin berkomentar sesuatu tentang lukisan itu. Eh, seorang teman lain yang juga terpesona, berkomentar kurang lebih sama dengan yang akan aku komentari, bernada tanya:
“Mengapa dengan lukisan sedahsyat itu (juga lukisan-lukisan lain yang juga dahsyat) Van Gogh, konon hanya ‘mampu’ menjual 2 buah lukisan selama kariernya melukis dan juga hidupnya yang singkat (37 tahun). Itu pun dengan harga yang hanya setara dengan beberapa potong roti untuk sekadar pengganjal perut untuk bertahan hidup?”
Pertanyaan (tepatnya rasa penasaran) seperti yang dilontarkan temanku itu, sesungguhnya juga rasa penasaran banyak orang.
Aku ingin,…wah apa istilahnya ya? Bukan ingin menjawab, tapi sekadar blanyongan dan mereka-reka atau menguthak-athik-gathuk saja, begini.
Rasa penasaran tentang Van Gogh itu, menjadi beberapa pertanyaan dalam benakku. Betulkah, dia se-‘kere’ itu? Betulkah untuk sekadar membeli roti penggajal perut saja Van Gogh menjual lukisannya (dengan harga beberapa potong roti)?.
Mari ikut dengan blanyonganku. Sesungguhnya, Van Gogh, bolehjadi, jangan-jangan, tak terlalu blangsak. Tak sebkangsak itu. Atau keblangsakannya bukan tak mungkin, karena kisah hidupnya terlalu didramatisir oleh manajemen modern tentang lukisan-lukisannya di kemudian hari. Sebab jika dia sungguh-sungguh ‘hanya mampu’ menjual lukisan dengan harga beberapa potong roti, bukankah harga kanvas, kuas, cat dan perlengkapan melukis lainnya malah lebih mahal daripada harga roti?. Atau Van Gogh adalah type khas seperti pelukis pada umumnya yang di sini populer dengan ungkapan “Mending beli cat dan kanvas, daripada beli beras?”.
Van Gogh adalah type pelukis jenius, pendiam, cenderung tertutup dan penyendiri (Tipikal khas pelukis pada umumnya? Tidak juga, aku punya banyak teman ilustrator dan pelukis malah cengengesan, bahkan cewawakan, up-date dan gaul pula).
Perbincangan dengan adiknya Theo, melalui surat-menyurat, yang konon dalam, tajam liris, puitis dan indah, menunjukkan bahwa dia adalah jenius yang sangat kesepian dan depresi. Ada yang menyimpulkan, gaya melukis dan goresan-goresannya, sepertinya dia melihat dunia di sekitarnya sangat berbeda dengan cara orang lain melihat dunia (ah, bukanka pelukis memang begitu?). Dan dia nampaknya hanya sanggup berkomunikasi dengan adiknya itu. Apa yang membuatnya depresi? Hubungannya dengan Gauguinkah? Naah..ini.
Kita juga mengetahui, bahwa Van Gogh memotong telinganya sendiri, karena kesedihan yang sangat mendalam terhadap temannya Paul Gauguin yang juga pelukis terkenal. Paul Gauguin yqng bertualang di Kepulauan Pasifik jatuh sakit, merana, sekarat, lalu mati karena suatu penyakit kotor. Kita tak tahu, sedekat apa hubungan mereka sehingga Van Gogh begitu berduka dan memotong telinganya sendiri. Lalu (dasar pelukis) dilukisnya pula wajahnya dalam balutan perban!
Yang kita ketahui, bahwa Van Gogh ‘hanya mampu’ menjual 2 buah lukisan dengan harga sekadar beberapa potong roti’ itu pun masih misteri. Mungkin sama misterinya dengan: kimestri antara kolektor dengan lukisan yang dibelinya. Mengapa seorang kolektor membeli lukisan pelukis B, padahal menurut ukuran umum, lukisan si A lebih baik, misalnya.
Kita kerap mendengar, pengusaha, saudagar, politisi, pejabat publik, atlet atau selebriti terkenal karena kaya secara materi. Jika pengusaha dan saudagar kaya-raya, pasti karena usahanya. Terserah bagaimana caranya ‘berusaha’. Jika politisi dan pejabat publik terkenal, biasanya juga karena jaya raya. Kita bisa menduga kenapa oejabat oublik dan oolitisi bisa kaya. Tajir-mlinthir, kata anak sekarang. Jika atlet dan selebriti kaya? Biasanya karena karya, ciri khas dan keunikan atau kemujuran nasibnya. Tapi, seniman dalam hal ini pelukis, hampir tak pernah kita dengar terkenal karena kaya raya, karena harga mahal lukisan-lukisannya. Hampir semua pelukis terkenal karena ciri khas, kualitas, otisinalitas dan keunikan karyanya, bukan karena ‘dampak’ dari karyanya.
Yang juga menjadi dugaan dan uthak-athik-gathukku, adalah bahwa, motivasi pelukis, membuat karya itu banyak sekali ragamnya.
Ingin berekspresi secara jujur, ingin terkenal, ingin menjadi pelukis besar, ingin menyatu dan menghirup aroma kehidupan, hanya ingin berkarya sekadar melanjutkan hidup, hanya ingin menjadi pelukis sekadar penghias dinding. Atau pelukis yang justru mencurahkan seluruh kemampuannya, seluruh bakatnya secara jujur, sehingga menumpahkan (seperti kata salah-seorang maestro Indonesia, Soedjoyono): seluruh jiwanya (ungkapan Soedjoyono terkenal adalah: “Lukisan seharusnya adalah jiwa kethok pelukisnya”). Sehingga susah dan berat bagi pelukis untuk ‘menyerahkan’ lukisan itu kepada orang lain.
Itukah, yang dialami oleh Van Gogh?…
(Aries Tanjung)