Seide.id – Saya pernah bicara di Sekolah Abdi Siswa Bintaro dengan topik “Menciptakan Anak Bahagia” di hadapan para orangtua. Tak kurang 2 jam nonstop saya mengungkap bagaimana membangun tumbuh-kembang anak kalau paradigmanya bukan lagi berorientasi agar jadi orang kaya, melainkan supaya menjadi orang bahagia.
Saya mengupas dari fondasi kesehatan yang diawali dari upaya membangun tumbuh-kembang.
Tujuannya sehat pertumbuhan fisiknya, sehat pula perkembangan jiwanya. Dari fondasi sehat jiwa-raga itu kemudian baru bisa menemukan minat anak setelah mengenal dari 8 jenis kecerdasan, melacak berapa banyak yang anak miliki.
Setelah mengenal kecerdasan dan mengarakan minatnya, ke situ pintu menuju jalan suksesnya. Mengawinkan, sintesakan antara kemampuan anak dengan kesukaannya (passion).
Mampu saja namun tidak suka, tidak mungkin membuahkan sukses.
Bahwa kecerdasan emosi EQ (emotional quotient) lima kali lebih besar perannya dibanding kecerdasan inteligensia (IQ).
Tak cukup mengisi kepala anak penuh namun mengabaikan kecerdasan emosinya. Pintar saja tidak cukup.
Melihat kisah sukses orang dunia, diperlukan karakter, integritas, dan EQ tinggi. Cum laude tapi kurang cerdas bergaul, kaku, dan egois, belum tentu berbuah sukses.
Anak pintar saja banyak. Tapi anak pintar plus yang tidak banyak. Untuk bisa pintar plus perlu masukan “tacit” knowledge, sesuatu wujud pelajaran dalam kehidupan yang tidak diperoleh di sekolah. Kecerdasan bergaul, berempati, hubungan antar manusia, dan banyak lagi ibarat bagaimana orang belajar naik sepeda, seperti itulah tacit knowledge.
Tentu saja dalam nilai plus anak juga perlu masuk pendidikan kesenian. Kesenian, apakah hanya sebatas apresiator, atau berkarya, menajamkan otak kanan. Hanya bila otak kanan sama tajam dengan otak kiri yang diasah oleh sekolah, anak menjadi orang dewasa yang bijak.
Kalau baik dan bijak, di bidang apa pun berkarya berkat akan datang menyertai. Kalau menyukai bidang pekerjaan yang digeluti, hasilnya berbuah ranum tanpa terasa sebagai beban.
Jadi kalau harus memilih mending memilih orang pintar tapi tidak baik, ataukah memilih orang baik tapi kurang pintar — jawabannya tentu memilih orang kurang pintar tapi baik.
Kurang pintar bisa diasah menjadi lebih pintar. Namun kalau sudah tidak baik, sukar mengubahnya untuk berintegritas tinggi, apalagi bisa bersikap bijak dalam hidup.
Kita melihat kisah orang sukses, genius saja ternyata bukan jaminan.
Einstein saja bilang, peran kecerdasan dalam sukses seseorang itu hanya sebagian kecil.
Selebihnya keringat atau perspiration. Dalam perangai dan karakter kebaikan tertampung pula niat bekerja keras, dan tidak memilih potong kompas menuju sukses yang hendak diraihnya…
Salam sehat,
Dr Handrawan Nadesul