Vaksin, Waktu dan (Self) Love

Oleh IVY SUDJANA

Ketika satu persatu orang-orang di sekitar saya bisa mendapat giliran atau bahkan terdaftar dengan mudahnya untuk melakukan vaksinasi beberapa bulan yang lalu, saya seperti individu tak beridentitas meski sudah memiliki E-KTP.

Beberapa kriteria untuk bisa mendaftar atau mengajukan diri mendapatkan vaksinasi, tak saya miliki. Usia saya belum termasuk lansia maupun pra lansia. Ditilik dari kriteria pekerjaan, saya tidak termasuk ke dalam tenaga kesehatan, tenaga pendidikan, pegawai negeri atau pelayan publik, pemilik UMKM, maupun para frontliners.  Saya hanyalah ibu rumah tangga yang pekerjaan sehari-harinya mengasuh didik anak-anak, mengurus rumah tangga dan menulis.

Untuk dua kriteria di atas, saya berusaha memahami bahwa tentu prioritas orang-orang yang memerlukan kekebalan tubuh. Tentang kondisi kesehatan para Embah, Eyang, Opa, Oma yang perlu didahulukan. Tentang profesi tertentu yang memerlukan perlindungan terlebih dahulu, daripada saya yang kebanyakan di rumah. Sungguh mengupayakan diri saya tidak baper dalam hal ini, masih terasa lebih mudah.

Sayangnya, kriteria ketiga tentang pemberian vaksin hanya untuk yang memiliki KTP sesuai daerah tempat tinggal mereka, membuat saya menjadi sedikit ‘tersinggung’ dan patah hati. Saya berusaha memahami bahwa distribusi vaksin ini mungkin sudah dihitung betul jumlahnya, sesuai dengan jumlah masyarakat yang memerlukannya di daerah tersebut. Saya berusaha tidak mau menyinggung soal politik atau alasan otonomi daerah dalam hal ini. Walau demikian, ketidakmampuan saya mengajukan diri untuk mendapatkan hak vaksinasi karena alasan bukan ber-KTP setempat, menyinggung rasa saya sebagai orang Indonesia.

Tetiba saya merasa sia-sia memiliki E-KTP yang seharusnya diakui di seluruh Indonesia. Mengingat ketika mengurus perpanjangan SIM pada lokasi SIM Keliling pada domisili saya sekarang, sudah dipermudah dengan perbaikan sistem ke arah yang lebih baik. Bila kewajiban bisa diurus dengan mudah, mengapa ketika saya mengajukan sesuatu yang menjadi hak, sedikit lebih sulit.

Sejujurnya saya menjadi marah pada proses pengajuan hal tersebut. Setiap kali saya bertanya kepada berbagai komunitas tentang jalur mendapatkan vaksinasi, pasti di antaranya terselip curhat atau omelan saya tentang ganjalan KTP ini.

Sampai akhirnya suatu hari, saya diberikan link untuk pendaftaran vaksinasi, dengan sedikit memo. Coba saya mengisi profesinya dengan pelayan publik, serta diikuti nama komunitas yang nyaris setahun ini saya terlibat di dalamnya. Ternyata pengisian dengan model seperti itu, data saya bisa terekam dengan baik. Semesta membolehkan saya mengakali data, meski data yang saya lengkapi itu benar bahwa saya adalah anggota organisasi tertentu, meski masih membantu secara online, belum langsung turun ke lapangan.

Saya pun berharap-harap cemas menunggu nama saya muncul dan mendapat giliran divaksin. Tak lama setelah itu, akhir Juni kemarin, berbagai tawaran tentang vaksinasi massal terus dibagikan ke saya baik melalui chat pribadi maupun dari WhatsApp Grup yang saya ikuti. Informasi yang dibgikan termasuk tentang tak ada lagi aturan KTP tertentu, karena program percepatan dan pemerataan vaksin dilangsungkan untuk membentuk herd immunity dalam situasi pandemi yang kurvanya belum turun juga.

Seorang teman juga turut membesarkan hati dengan mengatakan satu box vaksin itu kalau sudah dibuka, harus dipergunakan. Jadi kalau dikatakan kuotanya terpenuhi, mungkin sudah dihitung dengan jumlah yang tersedia,

Akhirnya, di awal Juli saya nekad datang ke sebuah gerai vaksin massal, lalu dengan percaya diri mengajukan untuk menerima vaksin. Proses administrasi berlangsung mulus, akan tetapi ketika berlanjut kepada screening kesehatan, terutama pemeriksaan tensi darah, saya terhalang oleh kondisi tubuh sendiri. Saya terindikasi memiliki tensi yang tinggi, yang bila dipaksakan untuk vaksinasi saat itu membuka peluang terkena serangan stroke setelahnya.

Saya pulang ke rumah dengan kecewa dan bersedih. Tak menyangka bahwa saya berada dalam kondisi kesehatan yang kurang baik, padahal penampakan saya sehari-hari baik-baik saja kecuali saat kurang fit dalam hari-hari menstruasi.

Ada keengganan untuk mulai mengonsumsi obat hipertensi, mengingat kisah mendiang teman yang akhirnya berpulang karena komplikasi efek meminum obat hipertensi. Pola makan saya, mulai diatur sedemikian rupa. Saya mengurangi konsumsi garam dalam makanan, tidak meminum kopi instan, mengurangi keinginan meminum teh, serta stop mengonsumsi sambal olahan dalam bentuk sachet yang tinggi kadar Natriumnya. Saya pun meminum obat herbal dari kemangi hutan yang ditenggarai bisa menurunkan tekanan darah.

Setelah berlangsung dua minggu, ternyata saya berkesempatan diajak suami untuk mendaftar pada vaksinasi massal di sekolah, tempatnya bekerja. Dengan penuh harap, berangkatlah kami ke sana. Seperti biasa persyaratan administrasi tidak menjadi masalah, apalagi Nomor Induk Kependudukan saya sudah terdaftar ketika saya memasukkan data sebagai pelayan publik seperti yang pernah saya ungkapkan sebelumnya. Namun, sekali lagi, ketika melakukan screening kesehatan di bagian pengukuran tensi, saya diminta untuk menunggu beberapa saat untuk mengukur tensi kedua dan ketiga kali karena saya terindikasi hipertensi.

Sebenarnya saya sudah mengonsumsi daun kemangi hutan yang saya tanam pohonnya di halaman saya. Saya pun sudah mengonsumsi kapsulnya agar proses vaksinasi ini berlangsung dengan baik. Sayangnya sampai pengukuran ketiga kali, tekanan darah saya tidak memenuhi persyaratan vaksin.

Dokter yang memeriksa menatap saya dengan cemas dan bersungguh-sungguh memberitahu, pentingnya saya mengonsumsi obat hipertensi secara rutin. Diet dan pola makan saya sudah benar. Namun, mengingat kondisi penampakan saya yang tampak baik-baik saja, Pak Dokter menekankan bahwa hal itu serupa silent killer. Ketika tiba-tiba tensi saya melonjak tinggi, sangat mungkin saya terkena serangan stroke maupun serangan jantung. Saya syok mendengarnya. Ternyata kondisi ini bukanlah hal yang main-main. Saya perlu lebih serius memperhatikan kondisi kesehatan, salah satunya untuk memenuhi permohonan si kecil saya agar saya panjang umur sampai seratus tahun.

Sekembalinya dari sana, saya merasa amat terpukul. Ibu saya yang usianya menjelang 80 tahun sudah mengomel dengan kondisi kesehatan tersebut. Ketika saya sharing kepada teman-teman terdekat, mereka membagikan tips untuk mengelola kondisi hipertensi ini. Ada yang bilang saya stress, mengingat sedang dalam proses melahirkan tiga buku solo pada tahun ini. Pressure untuk mewujudkan buku itu pasti banyak dan mungkin tanpa sadar membuat tegang dan tekanan darah saya menjadi meningkat.  

Saya mencoba bertanya kepada beberapa rekan dokter yang saya kenal, mengingat situasi pandemi menyebabkan saya tak punya keberanian untuk datang ke klinik atau rumah sakit. Beberapa saran diajukan, termasuk obat hipertensi yang bisa saya konsumsi sementara waktu.

Sepanjang hari itu perasaan saya sungguh kurang baik, apalagi ketika kabar satu per satu teman dan saudara harus melakukan isolasi mandiri di rumah mereka karena terindikasi positif covid-19. Sebagai orang yang terbiasa berempati (berlebihan) kepada sekitar, kondisi kesehatan dan kejiwaan yang kurang baik ini betul-betul menguras energi diri saya. Beberapa sahabat langsung mengingatkan untuk healing dan self care dulu, agar kondisi saya bisa pulih.

Ketika itu, ada momen bahwa saya tidak sendirian mengalami situasi itu. Selain suami membelikan obat-obatan yang saya perlukan, ternyata ia membelikan saya tensimeter digital, untuk memantau tekanan darah saya setiap hari agar tidak mengalami kenaikan dan penurunan secara mendadak, karena hal itu akan membahayakan nyawa saya. Tetiba saya tersadar, bahwa kalau orang lain saja, dokter, teman, anak, Ibu bahkan suami merasa cemas, mengapa saya sendiri tidak mencintai diri saya sendiri. Tidak mencintai tubuh yang diberikan kesempatan hidup, untuk dijaga kondisinya dengan lebih baik lagi.

Ternyata semesta pun tak mau saya berlama-lama dalam kondisi terpuruk semacam itu.  Dua hari setelahnya, tanpa disangka-sangka nama saya tercantum dalam daftar penerima vaksin pada sebuah rumah sakit, yang saya sendiri pun sudah lupa kapan mengisi formnya. Antara merasa senang karena saya tahu-tahunya terdaftar juga, ada perasaan cemas kalau-kalau tekanan darah akan menghalangi saya menerima vaksinasi lagi.

Saya mempersiapkan tubuh dan pikiran saya dengan lebih baik. Berusaha rileks ketika diperiksa tensi darahnya, sampai akhirnya saya lolos dan diperbolehkan vaksin pada kesempatan ketiga ini. Ketika jarum suntik mulai ditusukkan dan memberikan kekebalan, di saat kartu vaksin sudah ditandai, sungguh tak terkira rasa syukur dan bahagia itu.

Proses saya sebagai pejuang vaksin menjadi ladang belajar dan mensyukuri hidup. Saya jadi mendapat kesempatan mengetahui bahwa kondisi fisik saya tidak sebaik penampakannya. Bahwa saya perlu menjaganya sebaik mungkin, andai saya mau hidup sampai seratus tahun. Saya mensyukuri perhatian orang-orang di sekitar saya, teman, keluarga, suami, karenanya saya pun perlu mencintai diri dan tubuh saya sendiri.

Saya belajar banyak bahwa bersikap baper dan emosional dalam hal menunggu giliran vaksinasi tiada gunanya. Saya harus belajar percaya bahwa bila semesta telah mengatur waktu, tahu-tahunya proses tersebut akan lancar adanya. Tanpa perlu saya rekayasa, berbohong atau membohongi diri. Bahkan semestinya saya banyak bersyukur bahwa di situasi pandemi seperti ini saya, suami, anak-anak, ibu dan keluarga saya tetap dianugerahi kesehatan, meski di rumah saja.  

Masalah vaksin ini menjadikan saya belajar pepatah orang Jawa tentang sabar, sareh, sumeh dan semeleh. Belajar tidak emosional, sabar dan tenang sehingga tak membuat segalanya menjadi berantakan.

Avatar photo

About Ivy Sudjana

Blogger, Penulis, Pedagog, mantan Guru BK dan fasilitator Kesehatan dan Reproduksi, Lulusan IKIP Jakarta Program Bimbingan Konseling, Penerima Penghargaan acara Depdikbud Cerdas Berkarakter, tinggal di Yogyakarta