Keluyuran ke Viet-Nam ,”My Father Has His Own Wheelchair!”

Siang menjelang sore, sampailah kami di TIA, Tan Son Nhat International (orang jadul menyebut Saigon, anak millenial bilang: Ho Chi Minh City) Airport.

Di pesawat dari Kuala Lunpur tadi, kursi rodaku didorong oleh seorang pramugara tampan, ramah dan sangat grapyak. Ketampanannya mengarah ke cantik. Keramahannya dan keceriaannya (bagiku) keterlaluan untuk seorang lelaki.

Penerbangan menawarkan dagangan. Mulai dari makanan, minumam sampai pakain, parfum bahkan perhiasan.
Seperti biasa, ketika take off crew penerbangan memperagakan cara-cara penyelamatan jika pesawat mengalami keadaan atau melakukan pendaratan darurat (amit-amiiit, untungnya tidak dan semoga tak akan pernah, amiiin).

Seperti biasa pula, penumpang tak memperhatikan, sibuk dgn gadget masing-masing, sebelum ada ‘perintah’ untuk mematikan. Sebagian lagi tengak-tenguk terkantuk-kantuk. Rasanya cuma aku yang memperhatikan sang pramugari memperagakan cara-cara penyelamatan itu. Karena rutin, bahkan sang pramugari sampai bilang: “Kami HARUS memperagakan…bla-bla-bla…”

Alhamdulillah pesawat mengudara dengan mulus. Penerbangan dari KL ke Ho Chi Minh akan ditempuh sekitar 1 jam dan 35 menit.

Menjelang landing, pilot seperti biasa meminta izin kepada bandara setempat. Setelah itu,…eeh…si tampan gemulai nyanyi boo. Lagunya “Love” yang liriknya singkatan dari love itu. ‘L’ itu apa,…’O’ itu apaa,…’V’ dan ‘E’ itu apa dst,…aku gak terlalu hafal.

Hehe,…pengalaman baru nih ada crew nyanyi menjelang pesawat landing. Suaranya lumayan. Sambutan penumpang luarbiasa,…malah ada yang minta tambah, more, …more,…cu-ran-more…cu-ran-more…eh,…we want more

Di bandara Tan Son Nhat, semua penumpang turun bergegas, “seperti takut pesawat terbang lagi dan mereka tak jadi turun”, bisikku kepada istri.

Kami memang sengaja selalu orang terakhir turun. Pramugari mengucapkan kalimat standar yang sama berulang-ulang, mungkin untuk kesekian ratus atau sekian ribu kali diucapkannya:

“Terimakasih telah terbang bersama kami. Semoga kita berjumpa lagi. Dan semoga perjalanan anda menyenangkan”.

Di pintu pesawat, aku menanyakan kepada crew, di mana kursi rodaku?. Crew mengatakan-tetap dengan ramah dan senyum-bahwa nanti ada kursi roda di dekat kepengurusan imigrasi.

My wheelchair!” kataku
“Iya,…bapak silakan turun dulu”, kelihatannya pramugari dan crew gak mudeng maksudku atau terburu-buru karena pesawat akan di bersihkan dan siap terbang lagi. Gadis bungsuku memotong:

My father has his own wheelchair!”. Barulah crew nampak kebingungan. Dia lalu berbicara berbisik-bisik kepada temannya. Aku cemas. Apakah kursi rodaku tak terangkut. Karena dari Jakarta ke KL, kursi rodaku langsung disodorkan di depan pintu pesawat, karena jalan menuju pengambilan bagasi dan imigrasi cukup jauh. Yaah, jika harus jalan, apa boleh buat tapi,…di mana gerangan kursi rodaku?.

Akhirnya seorang pramugari tergopoh-gopoh menjelaskan bahwa kursi rodaku mungkin terangkut di bagasi. Aku lalu didorong di kursi fasilitas bandara yang memang banyak tersedia di Tan Son Nhat International Airport ini. Mungkin kursi rodaku ada di bagasi. Mungkin?!…

Di kursi roda fasilitas bandara itu, aku mereka-reka dalam benak atau berbisik kepada istri dan anak-anak, bagaimana seandainya kursiku tak terangkut? Bagaimana jika begini, bagaimana jika begitu? Mereka tak bereaksi,…bete!

Sesampai di pengambilan bagasi, gadis bungsuku berteriak senang,…ternyata kursi rodaku memang di bagasi. Gadis bungsuku berlari-lari, seperti mendapat hadiah, mengambil kursi itu…

Di bandara KL tadi kami sempat berkenalan dan ngobrol dengan seorang bapak dari Jawa Barat. Sang bapak sepertinya bepergian dengan anak buahnya, beberapa orang gadis muda seusia sedikit lebih tua dari anak-anakku.

Dia sudah beberapa kali ke Ho Chi Minh. Kami ceritakan bahwa kami akan menginap di hotel anu, di jalan anu. Sekalian saja aku bertanya, apakah jauh dari bandara? Ternyata tak terlalu jauh.

Sang bapak menyarankan untuk menggunakan taxi yang baik, jujur dan gak suku ‘ngerjain’ penumpang. Dia lalu menyebut dua merk taxi. Jarak dari bandara ke hotel, dia tak tau pasti. Tapi waktu tempuhnya sekitar 30-40 menit. Biayanya tak lebih dari 150 ribu VND(Viet Nam Dong) atau sekitar 120 ribu rupiah.

Di taxi yang merknya disebut ‘bapak Jawa Barat’ tadi Aku menyebut hotel tujuan kami. Dia tak tau. Waduuh, apakah hotel ini jauh. Lalu kesebut di daerah pasar Ben Than-tempat orang biasa membeli souvenir.

“Aaa,…Pasar Ben Than,… yak, yak saya tau. Kira-kira 40-45 menit dari sini. “Oke, siiip” kataku. Kalau begitu, langsung menuju hotel, jangan mengajak kami muter-muter ya?!”
“Beresss,…you are the boss!” kata sopir taxi berpakaian rapi lengkap dengan dasi itu.

Ketika turun, jarum argo menunjuk anka 16O ribu Dong. Dia bilang: “Pas 200rb Dong!”
“Hloo,…di argo tertulis 160 ribu Dong!” “I know. Yang 40 ribu Dong untuk bayar bandara, karena taxi saya mangkal di sana!”

Semoga si sopir taxi tak bohong, sebab kami sudah terlalu lelah, terlalu kemringet dan terlalu klenyit untuk berdebat…

(Aries Tanjung)

Keluyuran ke Viet Nam, “Perahu Lucu”