Vincent

Seide.id- Dulu kerap ketika menjelang senja, sebelum malam benar-benar turun, ketika masih ada semburat sisa-sisa sinar matahari berwarna ajaib, kuning tua, merah ke ungu-unguan, kami aku dan mendiang JS -salah seorang pewarta foto terbaik yang dimiliki negri ini- kerap berbincang santai ngalor-ngidul-ngetan-ngulon- sambil mengawasi anak-anak kami yang berlarian di sebuah taman kecil di depan rumah.

Sesekali, jika awan berarak berbentuk elok, kami mendongak ke atas. Kadang JS berlari ke dalam rumahnya, mengambil kamera, memotret awan. Ya, awan selalu saja membuat kami terpesona. Karena bentuknya yang selalu berubah-ubah dan menawan.

Dia bilang: “Ries, sebagai pelukis…”
“Ilustrator” Jul, potongku
“Whatever. Elo kalah sama gw” “Maksudnya?”
“Gw pernah menengok museum Van Gogh di Belanda. Elo belom”.

Hehe, kami lalu tertawa-tawa. Tentu saja, karena dia adalah pewarta foto sangat berbakat dari harian terkenal dan sering ditugasi ke luar Indonesia. Sebagai pewarta foto, dia bilang sungguh beruntung karena sudah menyambangi banyak sekali negara-negara yang ada di bumi. Aku paling-paling.. 7-8 negara saja..

Vincent Van Gogh, mungkin bisa dibilang orang yang paling tepat untuk disebut mewakili ‘sisi sengsara’-nya dunia senilukis, eh pelukisnya. Maksudku persyaratan sebagai pelukis begitu ‘lengkap dan nyaris sempurna’. Sempurna di sini bukan berarti dia sukses secara materi. Justru sebaliknya. Vincent selama kariernya sebagai pelukis, justru hanya ‘berhasil’ menjual 2 buah lukisan. Itu pun kepada kerabatnya. Itu pun dengan harga yang hanya habis untuk membeli roti pengganjal perut.

Van Gogh pendiam dan penyendiri. Selalu nampak murung. Jika ada sedikit uang, dia cenderung membeli peralatan melukis ketimbang membeli sesuatu untuk mengisi perutnya. Dia hampir tak punya teman berbincang. Curthatnya hanya kepada adiknya. Itu pun hanya melalui surat-menyurat.

Konon surat-menyurat-curhat kepada adiknya itu:…getir tapi -dengan bahasa yang- indah’. Puncak frustrasinya konon adalah ketika salah-satu sohibnya yang juga pelukis bernama Paul Gauguin, meninggal karena penyakit yang agak… gimanaa ‘gitu jika diucapkan. Van Gogh sampai memotong daun telinganya sendiri. Setelah dibebat perban sampai menutupi bagian atas kepalanya. Dasar pelukis, wajah yang kepalanya sedang dibalut perban pun dilukisnya. Wajah Van Gogh yang kepalanya sedang diperban terlihat dalam salah-satu lukisan potret dirinya.

Setelah lebih dari satu abad kemudian, harga lukisannya.., wuiiih ..angka nol-nya banyak sekali.

BBJ pernah memamerkan karya-karya pelukis Nasar. Ketika aku berkesempatan hadir di acara pameran itu, seorang teman berbisik:.. “Mungkin pameran tentang sikap, totalitas berkesenian dan pemikiran-pemikiran seorang Nasar yang tertuang dalam Surat-surat malam, dibayangkan oleh penggagas pameran ini.., mirip kisah hidup Van Gogh”.

Foto-foto dokumentasi: Aries Tanjung

Memang, agak mirip. Nasar adalah pelukis yang semasa hidupnya bisa dibilang bohemian dan sangat berat, perih dan berliku karena tak beruntung secara materi. Lukisan-lukisannya tak bisa menutupi kebutuhan hidupnya bahkan yang paling mendasar.

Hidupnya menggelandang. Jika malam tiba, dia menumpang tidur di TIM. Gedung kesenian yang dibuat atas prakarsa salah-satu gubernur terhebat yang dimiliki negri ini.

Tulisan-tulisan curhatnya yang terangkum dalam “Surat-surat malam”, juga mirip seperti curhat Van Gogh kepada adiknya. Mirip dalam arti kegetiran dan keterbatasan sarana. Van Gogh lebih kepada kejiwaan. Getir -tapi dengan bahasa yang- indah. Tulisan Nasar dalam Surat-surat malam memang indah. Berisi tentang bagaimana dengan segala keterbatasan material (karena tak sanggup membeli) dia tetap mengutamakan kesenian. Terutama seni lukis.

Beberapa tahun lalu, ‘harta karun’ Van Gogh ditemukan lagi. Sebetulnya lucu juga jika memakai istilah ‘harta karun’ karena Karun itu nama orang Timur Tengah yang kaya raya dan konon sebelum mati, dia menyembunyikan hartanya di suatu tempat. Harta itu berupa setumpuk lukisan-lukisan Van Gogh dengan media cat air di atas kertas. Mungkin karena iklim dan kebetulan tak ‘terendus’ oleh rayap.., karya-karya itu masih relatif utuh!

Gadis bungsuku yang keluyuran di beberapa negara Eropa, dengan basecamp di Rotterdam di apartemen temannya yang sedang sekolah dan bekerja di sana, harus sabar menunggu ketika hendak menengok museum Van Gogh. Karena Belanda waktu itu memberlakukan lockdown. Tapi beberapa tempat hiburan, beberapa mol, museum dan tempat-tempat hiburan yang memungkinkan orang berkerumun saja ditutup. Tempat-tempat kebutuhan sehari-hari, bank dan rumahsakit tetap buka.

Eeh, dia mengirim foto-foto Amsterdam dan… museum Van Gogh yang dia kunjungi.
Eh iya Jul.. gw teteup kalah. Karena yang nengok museum Van Gogh di Belanda anak gw, bukan gw..

(Aries Tanjung)

The Piano Man