Foto : Nadine Redlich / Unsplash
Penulis : Jlitheng.
Ranting kering adalah contoh sederhana, bagaimana membuat diri kita berdaya guna. Filosofi sederhananya adalah jangan pernah takut tidak lagi dianggap penting, karena sebenarnya kita sendiri yang menentukan.
Tak dapat dihindari ataupun ditolak. Ranting kering pada akhirnya patah dan jatuh ke bumi. Entah karena tiupan angin atau usia tuanya. Bergabung dengan dedaunan kering yg lebih dulu gugur. ‘Kodratnya memang begitu’.
Kalaupun harus terabaikan, bukan berarti tak bermakna lagi. Sebab suatu hal yang punya arti tak perlu terucap pada semua. Ranting kering tetap penting dari gunanya bagi semesta ini.
“Umur boleh tua, tapi hidup ini jangan berhenti untuk terus bermakna bagi sesama”
Semoga Kisah pendek berikut ini jadi penguat, bahwa ranting kering tak pasti mati, dia tetap dicari, karena nilainya.
Kemarin saya menjenguk guru SMA (math), yang kini telah berusia 84 tahun. Sudah lama ingin sowan. Sejak lulus SMA tahun 1991, saya belum pernah sowan, padahal setiap kali ada teman angkatan yang berjumpa, beliau selalu bertanya keberadaan saya. “Sungguh terharu nama kita diingat oleh guru yang hebat itu.“ Kemarin, ketika kami sowan, ternyata beliau dirawat di RS. Sungguh kaget, segera kami menuju ke RS untuk menjenguk… Pak guru dan ibu nampak bahagia, ketika kami jumpa. Rasanya legaaa sekali, dan istrinya memeluk saya sangat erat, karena rindu yang lama terbendung, sejak kami masih berseragam putih abu-abu dulu.
Ibarat ranting, guruku sudah kering, namun energi hati beliau yang suci, mampu menembus ruang dan waktu. Beliau dihormati, karena mengabdi. Dicintai, karena bakti sucinya.
Salam sehat dan tetap berkobar berbagi cahaya.
Inilah Tanda Patuhku Pada-Mu – Catatan halaman 150