Seorang teman berkata dgn nada bergurau, tapi menurutku ada benarnya. Perhatikanlah, katanya: Jika orang keluar sehabis menonton di bioskop. Jika film yg ditonton adalah film koboi (cowboy, western), maka para penonton (yg sebagian besar lelaki) berjalan ke luar bioskop dgn (di)gagah(-gagahkan), mata nyalang, lengan jatuh di pinggang seperti jago tembak yg siap mencabut pistol. Jika menonton film drama sedih, maka penonton ke luar dgn wajah murung. Jika selesai menonton film romantik komedi, maka wajah akan sumringah sambil tersenyum-senyum.
Dgn agak ngawur, aku simpulkan: Tanpa disadari,…itulah sikap wannabe.
Sebetulnya wannabe (dari kata: want to be) secara harafiah artinya: Tanpa sadar orang suka mengidentikkan atau sekadar meniru atau menggathuk-gathukkan diri dgn tokoh idolanya.
Dulu, ketika remaja, ketika begadang nongkrong di ujung gang, aku kerap diiringi, digitari oleh teman menyanyikan lagu-lagu Chrisye. Sebelum diguyur air oleh pemilik rumah dekat gang yg terganggu oleh keberisikan kami. Mungkin, tanpa sadar: itulah…yg disebut Chrisye wannabe (seperti banyak remaja di era itu). Lalu setelah agak dewasa, aku suka dgn lagu-lagu balada. Aku suka dgn lagu yg syairnya kuat, tajam dan indah. Seperti Simon & Garfunkel, Don McClean, Cat Stevens dll. Maka di era itu, aku (mungkin seperti banyak orang) menjadi Paul Simon atau Art Garfunkel wannabe, Cat Stevens wannabe atau Don McClean wannabe. Sedangkan lagu-lagu rock, band atau penyanyinya, aku suka juga. Tapi cukup mengagumi saja. Aku ‘tak berani’ bahkan untuk sekadar menjadi Robert Plant wannabe, Roger Datrey wannabe, atau Freddie Mercury wannabe, misalnya. Karena scara tampang, sosok dan apalgi suara, untuk sekadar wannabe pun aku tak berani.
Temanku ada yg ketika remaja, bahasa tubuhnya adalah Tom Cruise wannabe jetika si Tom main di film Top Gun. Gagah, atletis, playboy, pilot pesawat tempur, pulang kerja, ngebut dgn motor ber-CC besar. Semua persyaratan lelaki muda nan sempurna. Padahal dia ke mana-mana naik angkot, dan hampir tak pernah aku lihat dia ‘menunggangi’ motor. Jangan-jangan gak bisa.
Ketika ‘hampir tua’ seperti sekarang ini, yg menurut Ian Anderson usiaku ini adalah “Too old to rock’n roll, too young to die”, aku malah menggandrungi Peter Gabriel, ‘motor’ Genesis di awal-awal. Sebetulnya aku boleh dibilang agak terlambat ‘mengenal’ Gabriel. Lucunya, aku seperti remaja di era itu pada umumnya, lebih dulu ‘mengenal’ Phil Collins drpd Peter Gabriel, padahal Collins adalah vocalis ke dua setelah Gabriel. Tapi, kami di era itu (karena mengenal musik impor itu dari radio) pasrah dgn apa yg diputar di radio. Genesis dgn vocal Phil Collins itu, justru menampilkan musik rock yg lebih ‘renyah’ dan menjadi hit di sini.
Setelah semua menjadi lebih mudah, barulah aku ‘menjelajah’. Ternyata Peter Gabriel, memang yahuuud. Konsep musik Genesis lebih teatrikal, musik ya lebih ‘kusut’ ketimbang era Collins. Dan…para kritikus mempunyai julukan unik untuk warna vocal Gabriel, yaitu apa yg disebut: “Natural Darkness” (colek kang Iman). Bagaimana pula kita akan menerjemahkan istilah itu? “Kepekatan, kegelapan atau kedalaman yg alamiah” (?)…
Setelah pergi dari Genesis, Peter Gabriel seperti ‘memberi kesepatan’ kpd Collins untuk menjadi vocalis utama, Collins memang membawa Genesis menjadi lebih pop. Untungnya warna-warna seperti itu justru disukai dan banyak sekali lagu Genesis dan dikenal ‘di luar’ penggemar musik rock, karena warna musik Phil Collins. Para musisi di Genesis ternyata memang yahuud. Mike Rutherford membuat album sendiri, menggandeng Paul Carack. Bbrp lagunya menjadi hit. Begiru juga Tony Bank dgn ‘Bank Statement. Dan jungan lupa ada Steve Hacket.
Ketika bersolo karier, Gabriel lebih bebas mengekplorasi warna musik dan kisah-kisahnya dalam album yg selalu bernuansa teatrikal. Apalagi konser-konsernya. Musisi yg bisa ‘menerjemahkan’ imajinasinya pun, tentu dgn kwalitas yg ‘tak main-main’. Ada Tony Lavin (pemain bas yahud yg kerap ‘dibooking banyak musisi), Manu Katche (pemain drum dan perkusi yg juga kerap ‘dibooking’ oleh banyak musisi) dan bbrp musisi yahud lainnya.
Yg aku ingat, Peter Gabriel membuat musik untuk film ‘berat dan cenderung serius’. Yaitu: “The last temptation of Christ”, disuradarai oleh Martin Scorsese dan “Birdy”, disuradarai oleh Alan Parker. Eh,…dan satu lagi yg aku ingat, yaitu film animasi terkenal: “Wall-E.
Aku sangat menggandrungi Peter Gabriel. Tentu ketika muda dan mungkin sampai sekarang aku ‘tanpa sadar’ adalah Peter Gabriel wannabe. Meski kata teman-teman, seharusnya kau yg ‘secara sesama yg dianugrahi kepala plontos’ mustinya :…Phil Collins wannabe, hahaha…