Oleh EDDY J SOETOPO
Menelusuri korban kekerasan ibarat mencari jarum tertumpuk gundukan bekas jerami terbakar,. Apalagi korbannya jurnalis; sulitnya setengah mati ditemui. Meski ada kalanya warga masyarakat menilai wartawan tanpa mengenal takut ketika mengejar berita, toh ketika disamperin untuk wawancara pengalaman menjadi korban, tak banyak yang mau.
Entah takut atau lantaran apa, kami menghargainya. Lebih dari 15 tahun lalu, kami Institute for Media and Social Studies (IMSS) melakukan penelitian mendalam melacak wartan korban kekerasan selama rezim diktator orde baru berkuasa, baru rampung 5 tahun lalu laporan penelitiannya. Mendengar suara rekaman ulang dan meneliti naskah tulisan pengakuan rekan-rekan, juga jurnalis yang terlibat, sungguh membuat bulu kuduk merinding. Berikut pengantar laporan singkat, mau buku aslinya, ingin membaca komplit bukunya? Tunggu terbit dalam waktu dekat.
Pengantar Laporan
Pers Indonesia, tampaknya belum memiliki tradisi mencatat. Apalagi mendokumentasikan secara rinci tindak kekerasan yang pernah dialami wartawan/wartawati dari awal kebangkitan pers nasional. Kalau pun toh ada, catatan dan studi mengenai pembredelan pers di Indonesia, itu pun dilakukan oleh bangsa lain. Edward C. Smith menggali informasi di tengah kelangkaan data mengenai kasus pembredelan pers dan kemudian diterjemahkan Atmakusumah, 26 tahun lalu.
Dalam desertasinya A History of Newspaper Suppression in Indonesia, Smith mengkaji pembredelan pers dengan perspektif sejarah terhadap tekanan pers, penyebaran gagasan-gagasan politik dan perubahan kondisi politik dari tahun 1949-1965.
Meskipun Smith telah banyak berjasa dalam membukukan sejarah pembungkaman pers melalui kekerasan, namun kehadiran pemikiran historiografisnya masih belum lengkap benar. Kenapa? Karena, penelitian yang telah dilakukannya, tampak belum menyentuh dimensi kekerasan secara mendetail yang pernah dialami oleh para wartawan dalam menjalankan misi jurnalistiknya.
Dan yang paling penting, saya kira, bahwa kita telah kehilangan sebuah mata rantai tradisi catat-mencatat dan membuat dokumentasi ilmiah mengenai: tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik, terhadap pers yang dilakukan penguasa. Sejarah mencatat setiap tindak kekerasan yang dilakukan untuk membungkam hak kebebasan bersuara dan menyebarluaskan suatu peristiwa berdasarkan fakta, akan membuahkan perlawanan yang berujung pada pelecehan, penistaan, pelanggaran hak dan martabat azasi manusia.
Dan kita telah membuat kesalahan dengan tidak mencatat pergulatan sejarah dalam melawan upaya kesewenangan penguasa, yang acap bertindak antagonis, membungkam pers di Indonesia.