Tulisan ini sebagai tribute to CW. Jenasahnya akan dikremasi Sabtu, 24 Juli 2021 pukul 12 WIB di Krematorium Taman Kenangan Lestari (Kerawang)
Setelah menerima khabar berpulangnya Pak Chris (demikian aku memangggilnya) sore kemarin (22 Juli 2021), dalam keterkejutan aku membuka history percakapan WA antara kami. Terakhir kiriman pesan Pak Christ kepadaku adalah pada 7 Juli 2021, meresponi kiriman salah satu tulisanku. Dia saat itu mengirim ketikan pendek, kutulis sesuai aslinya, “done p bye tq” pada pukul 16.46 WIB.
Aku kembali terhenyak ketika membaca berita lain, bahwa Christianto Wibisono (CW) saat berpulang sedang berbaring dan memegang buku karya monumentalnya. Wawancara Imajiner dengan Bung Karno (WIdBK).
Mau tidak mau aku menghampiri rak buku, membongkar dan mencari buku tersebut.
Ketemu.
Kubuka lagi.
Kubaca lagi.
***
Buku yang terlampir di tulisan ini adalah buku terbitan Gramedia, 2012.
Beruntunglah Pembaca yang memiliki buku ini, karena di sana juga dilampiri (bonus) Buku WIdBK terbitan tahun 1977. Buku ini sangat bersejarah, karena pada Maret 1978 dibredel oleh Soeharto. Dan gara-gara itu pula CW diperiksa di Kejaksaan Agung.
Membaca buku WIdBK (368 halaman), kita bagaikan dihadapkan pada makanan lezat bergisi yang disajikan prasmanan dalam satu meja besar. Beraneka ada di sana. Demikian juga dengan buku ini. Nilai sastranya terasa sekali (CW beberapa kali menerima penghargaan sebagai juara mengarang.
Salah satunya pada tahun 1975. Presiden Soeharto saat itu yang langsung menyerahkan penghargaan tersebut. Di sisi lain gaya penuturan seorang jurnalis pun tak bisa disembunyikan dalam buku ini (CW adalah salah satu pendiri majalah Tempo).
Isinya? Sejarah, ekonomi, politik (dalam maupun luar negeri), wayang, filsafat, psikologi, teologia juga humor bisa kita jumpai di sana. CW bisa menuturkan dengan detail, teknis.
Meski melalui gaya penuturan yang (seakan) diucapkan oleh Bung Karno (BK). Judulnya memang WIdBK, tapi senyatanya dalam buku tersebut ada ‘scene’ juga wawancara imajiner dengan tokoh-tokoh negeri ini yang telah berpulang. Di antaranya Soejatmoko, Amir Sjarifudin, Bung Hatta, Natsir, Soeharto juga Gus Dur.
CW dalam pengantarnya langsung menyentak pembaca, “Saya menulis buku ini untuk generasi muda dan masyarakat dengan mencermati dan memahami apa yang sebetulnya terjadi dalam sejarah kepemimpinan nasional selama 67 tahun usia Republik (ingat buku ini terbit tahun 2012, SB).
Benang merah yang saya temukan adalah bangsa ini telah berubah dalam pembangunan fisik prasarana material namun stagnan dalam pembinaan etika, moral, mental dan spiritual.
Tapi dalam perebutan suksesi kepemimpinan, pola Brutus, Ken Arok dan Machiavellian tampaknya masih mencengkeram elite kita meskipun telah beberapa kali mengubah sistem konstitusi dengan ayunan pendulum dan sistem presidensial ke parlementer dan sebaliknya.” (Halaman vii –viii).
Dari buku WIdBK nyata menunjukkan bahwa CW adalah pengagum BK.
Dia bisa tahu eksposisi personal seorang BK.
Bagaimana sejarah hidup BK, kehebatannya, hobinya, bahkan termasuk gaya berpikir dan menyampaikan pendapatnya, CW bisa menuangkan dengan luwes dan lugas.
Lihatlah ketika BK menyampaikan penyesalannya ketika dia tidak berdaya mencegah pembantaian pascakudeta 1 Okober 1965. Tapi seandainya BK memimpin perlawanan dari Yogya (dengan AU dan AL, yang disebut terkuat di belahan bumi selatan), dia kuatir Indonesia akan terpecah seperti Vietnam, Korea dan Jerman (hal. 12).
Tentang sejarah kelam suksesi kekuasaan di Indonesia, BK di buku tersebut menyampaikan bagaimana kisah Keris Empu Gandring yang membawa korban sampai 4 orang (Empu Gandring sendiri, Tunggul Ametung, Ken Arok dan Anusapati.
CW menimpali jawaban wawancara imajiner BK tersebut dengan candaan, “Wah Bapak hafal sejarah ya. Anak zaman sekarang lebih kenal selebriti Korea ketimbang sadar akan sejarah bangsanya.”
Dari buku ini, Pembaca bisa mengenali pribadi CW. CW yang sangat mencintai Indonesia. Indonesia bersama masa depannya.
***
Di halaman lain (151), CW bertanya kepada Soeharto, “Bisa Bapak jelaskan tragedi Mei itu tanggung jawab siapa? Karena putri saya menjadi korban langsung, rumahnya di Pantai Indah Kapuk dibakar bersama 80 rumah lainnya, sedangkan 500 rumah dijarah massa yang nyata-nyata digerakkan atau dibiarkan menjarah, sementara militer di bawah komando menantu Bapak seolah lenyap dari muka bumi atau sebagian malah berpakaian sipil memelopori perusakan dan penjarahan milik masyarakat keturunan Tionghoa.”
Terhadap pertanyaan ini Soeharto menanggapinya (imajiner) dengan panjang lebar yang tak mungkin kumuat di tulisan pendek ini.
Yang aku sangat berkesan dalam buku ini adalah bagaimana CW sangat empati dengan keluarganya (saat itu mereka berada di AS), ketika dia ditawari Gus Dur untuk menjadi Menko pada 10 Juni 2001.
Dia mendengarkan suara (tepatnya teriakan) Jasmine (anak sulung CW yang rumahnya dibakar saat tragedi Mei.), “Papa mesti bilang ke Gus Dur, sabar tunggu Astrid (adiknya Jasmine, SB) ulang tahun. Kalau mengangkat Papi, dari awal kabinet dong; jangan masa darurat, umur kabinet sudah tinggal enam minggu baru mengangkat Papi.
“Apa Papi hanya mau satu kalimat biodata, bahwa pernah menjadi menteri kabinet tapi hanya enam minggu?”(hal. 113).
Melalui buku ini CW nyata terlihat cinta Indonesia. Tetapi juga cinta keluarga.
Sungguh Indonesia kehilangan putra terbaiknya, seorang CW!
Setio Boedi