Di tengah obrolan serius tapi santai, dengan jurnalis pensiunan dari Seide.id dan tim Kandang Ayam, di rumahnya di Pangandaran, Jawa Barat, Susi Pudjiastuti, 56, mengambil keputusan penting, pekan lalu. Boss Susi Air itu melepaskan kontrak penerbangan perintis dengan pemerintah.
“Sekarang (mereka) mau tekan tekan harga. Ya, udah lepas aja! Suruh cari operator lain yang bisa menggantikan ‘100 flight a day’, ” katanya, kesal .
“Kita (Susi Air) dari dulu tidak pernah menang (kontrak untuk penerbangan) Perintis. Karena Merpati bangkrut, yang lain lain bangkrut, baru saya dapat. Saya tidak suka ‘kick back, kick back’ (nyuap, nyogok, kasi komisi) gitu, ” kata mantan Menteri KKP (2014-2019) ini.
Jurnalis seide.id, dipimpin Dimas Supriyanto Martosuwito dan aktifis serta jurnalis dari Markas Kandang Ayam di bawah komando Joseph Erwiyantoro alias Mbah Cocomeo terlibat perbincangan yang panjang. Berikut sebagiannya.
Seide.id – Apa penyebab kebangkrutan maskapai perintis?
SUSI : Corrupt! (Korupsi).
Dulu ‘kan realisasi (penerbangan) Perintis cuma 25%. Setelah Susi Air disuruh ganti’in Merpati, jadi 100 %. Seperti Sulawesi dari anggaran Rp.11 naik jadi 30 miliar.
Sampai hari ini saya tidak dibayar oleh Aviastar. Karena orang saya tolol. Harusnya ganti kontrak, pindahkan ke rekening saya. Ini nggak! Sekarang masih di pengadilan. Kita somasi pailit. (tagihan ke) Aviasta Rp.8,4 miliar, belum dibayar. Dari negara bayar ke dia, yang terbangnya kita.
Persoalan terbesar kita sekarang, mereka buka bandara banyak tapi tidak ada dana operasional untuk menerbangkan.
Bandara Kalijati dan Kertajati, contohnya. Saya sudah bilang, airline itu berat biaya operasinya. Karena kita tidak punya banyak airline.
Lion maupun Garuda tidak punya (pilot) Captain yang berlebih. So, kalau dia harus terbang dari bandara Kalijati, dia kehilangan empat jam berangkat dan empat jam balik (jalan darat). ‘Eight hours’ itu empat kali terbang ke Surabaya. Tidak mungkin ada airline mau!
Saya suruh Budikarya. “Bud, kau lelang untuk saya rute Halim – Kalijati. Minimalnya crew-nya bisa pakai pesawat. 20 menit ‘kan? Terus bisa terbangin pesawatnya, Bandung – Kalijati, Halim – Kalijati. Paling setahun Rp. 30 Miliar. Bisa empat lima rute di situ, ke Kalijati. Supaya ‘crew’-nya tidak usah naik mobil empat jam, pp.
Pilot itu cuma boleh terbang sehari sembilan jam. Sebulan 125 jam, setahun 1.050 jam. ‘Thats it. That the rule of pilot’. Kalau pilot itu ikut aturan internasional. Tidak ada aturan satu negara. Standard , semua sama.
Ya, lucu ‘kan. Bikin bandara (dengan anggaran) tiga triliun, (tapi) tidak mau siapin Rp.35 miliar buat subsidi operasionalnya.
Tapi ini very delicate (sangat halus), karena orang yang nggak ngerti penerbangan nggak tahu itu.
Seide.id – Apa dampak pandemi Covid 19, bagi Susi Air?
SUSI P . P : Waktu berhenti lima bulan, ya Rp. 150 miliar habis. Kan berhenti total lima bulan itu. Cost kita (Susi Air) per bulan Rp. 31-37 (miliar). Tapi sekarang sudah okelah. Can survive
Seide.id – Sudah Pulih? Recovery?
SUSI P. : Penumpang sudah 50%. Tapi penerbangan 85%. Tapi kita harus ‘restruct’. Penundaan penundaan. Tapi tidak mati kayak Garuda. Sustain (masih lanjut) lah. ‘But not provit right now. Its oke. Otherwise is’t oke’.
Seide.id – Rata rata Susi Air berapa terbangkan pesawatnya?
SUSI P. : Antara 30 sampai 35 pesawat.
Seide.id : Perbandingan pilot bule Indonesia di Susi Air?
SUSI P. : Sekarang bule 40%. Indonesia 60%.
Seide.id : Mengapa transisi ke pilot lokal susah?
SUSI P. : Mereka lari! Kalau sudah dapat 500 jam (terbang) lari ke airline. Tidak mau terbang sama saya. Ya, kita tidak terlalu … karena ‘its hardwork’, Pak. Kalau terbang Pilatus dia terbang sendiri, tidak ada co.pilot. Tidak ada ‘ground crew’.
Sekarang ini, operasi KKB, polisi tidak bisa naik ke atas, kalau tidak ada pesawat saya. Siapa yang berani bawa? BPK kerjain, minyak 219 liter, harus jadi 190 liter. Tidak bisa! Kalau di Papua minyak yang dalam drum itu tidak habis semua. Di bagian bawah (drum) kotor, tidak bisa dipakai.
Ya, memang tulisan di pabriknya, kayak mobil Kijang, 10 km per liter misalnya. Tapi kalau muatan berat, tanjakan ‘kan jadi lebih?
Kadang kadang mereka tolol, bikin saya marah. Jadi, ya, udah. Nggak usah aja tahun depan.
Bapak nonton channel 4 BBC. Tulis ‘The Worst Place to be Pilot. Itu operasi Susi Air’. Its joke. Fun.
HP berdering. (Nadine, putrinya, telepon). “Nadine itu kalau ada panggilan selalu tanya Mami. Ya, masih belajar, ” gumannya.
Seide.id : Nadine di sudah ikut di operasional sekarang?
SUSI P. : Yang Indonesia. Tunangannya menangani pilot pilotnya. It a good things of Covid-19.
Meski income turun, anak anak saya tampil, jadi saya agak sedikit…(lega)
Dia suka deg-degan, saya juga takut dia salah omong. Dia kan anak muda.
Seide.id – Anak anak Ibu Susi ada yang belajar menerbangkan pesawat?
SUSI P. : Alvy belajar terbang. Nadine juga pilot. Saya haruskan mereka ambil licence. Kalau ada apa apa dengan Mommy ‘kan bisa cari makan sebagai pilot.
Seide.id. : Siapa competitor Susi Air?
SUSI P. : Ada. Sekarang ada pengusaha baru dari Pontianak.
Seide.id. : Kenapa ‘small company’ lebih bertahan dibanding ‘big company’ ?
SUSI P. : Tapi kalau tidak seperti saya yang jalanin, tidak mungkin. ‘Its almost imposible. This country doesnt give any rule good and have no power’.
Saya pikir, ini negara sangat kejem. For any businessman who good, honest. Kalau tidak keras seperti saya, hampir tidak mungkin bertahan.
Seide.id. : Kondisi ini apakah pernah terjadi sebelum ini?
SUSI P. : Saya pikir sekarang ini so, so strong oligarchy. Pengalaman saya, the worst right now. Karena kita tidak bisa komunikasi dengan people in charge (PIC).
Dulu saya bisa ngobrol dengan pak Hatta (Rajasa), Freddy Numbery, explaining this, like that. Dengan Mas Budi (Karya) saya baik (tapi) dia hanya menyelesaikan (kalau saya lagi ada masalah). “Saya tilpon, ‘saya ada problem dengan orang kamu di sana’, lalu dia tilpon.. ”.
Tapi – design, whole strategy-nya, kita tidak bisa involve. Yang involve, ya itu, tiba tiba bikin bandara di mana – yang Pak Jokowi keluhkan itu, lho. Kenapa dibangun Miangas Bandara, kalau tidak ada penerbangan? Jadi, kita mau bantunya dari mana?
Dulu, pak Hatta mau bikin rencana apa, talk to me.
Penerbangan Perintis, 77% itu penerbangan commuter. ‘Our share’ itu 78%.
Saya tidak pernah tahu ada rencana bandara di sana, di sini. Tiba tiba diresmikan. Terus hilang. Pelabuhan juga nggak ada jalan.
Seide.id : Jadi Bandara Kalijati dan Kertajati gagal?
SUSI P. : Tidak gagal. Katanya, mau dipakai buat penerbangan haji.
‘Its sad’. (Anggaran pembangunan bandara) tiga triliun kan? Kenapa gak sisain anggaannya Rp 30 miliar buat operating. Rp300 miliar, sisakan Rp 15 miliar, untuk meramaikan penerbangannya.
The point to make airport is point is to save flight in out.
Susi Pudjiastuti dulu punya cita cita, setiap 30 Km di pantai selatan Jawa dan bagian barat pulau Sumatera ada bandara kecil. Bukan proyek mercusuar – melainkan buat berjaga jaga. Kalau ada tsunami, pada saat bandara resminya ‘kena’, ini bisa jadi solusi, katanya.
Dia pengalaman, baik semasa tsunami melanda Aceh (2004) maupun di Pangandaran (2018), kampung halamannya.
Seide.id : Mengapa tidak terealisasi?
SUSI PUDJIASTUTI : Anggaran untuk itu ‘cheap’ (murah). Cuma Rp.5 miliar. “Tapi karena ‘cheap’, bupati tidak suka. Berapa ‘kick back’ dari Rp. 5 miliar? Cuma Rp. 500 juta! Bikin yang (landasannya) 1 Km, nanti Garuda masuk.
Padahal, yang pesawat 12 penumpang saja tidak penuh.
Dulu bandara sedikit, anggaran Rp. 1 triliun lebih. Sekarang bandara lebih banyak, anggaran malah seperempatnya. Makanya banyak bandara tidak terbang. Harusnya untuk tiap bandara baru, ada lima penerbangan perintis, untuk bawahnya. Feeding. Kayak Takengon. Silangit. Di sana ada ‘Opung’, tiap tahun perpanjang (landasannya, pen).
Saya bilang tidak usah. Susi Air tiga kali take off – landing sudah bisa itu (tertawa). Saya bilang, “mas, aku take off- landing ping telu iso iku he..he..”. (saking panjangnya.pen)
Terus Garuda dipaksa terbang ke sana. (Akhirnya) rugi.
Ini (bandara) Nusawiru (milik Pemda) mau diperpanjang. Supaya Boeing masuk. Dia tidak pelajari ‘habit’ orang. Turis yang ke sini (Pangandaran) kebanyakan naik mobil. ‘Sight seeing’. Pangandaran not Bali. Jadi, nanti ya sama saja, bandara buka Boeingnya tidak terbang.
Lampunya saja, sampai sekarang belum dilengkapi, sudah mau bikin (landasan) dua kilometer.
Sedih saya lihatnya. Miangas, Tahuna, itu tidak ada penerbangan.
Seide.id : Postingan Komisaris Garuda, Peter F. Gontha di Facebook, memberi sinyal di Garuda masih ribet, apa yang terjadi sebenarnya?
SUSI P. : ‘Everything its about kick back’ (nyogok) buat manajemen. Dari zaman dulu sampai hari ini.
Garuda bayar asuransi termahal di dunia – Garuda bayar leasing termahal di dunia for the same aircraft. Insurance-nya juga termahal di dunia.
Indonesia purchase anything for the most expensive price – belanja apa saya dengan harga yang paling mahal. Thats the fact!
People can get three for only the one. Beli aqua saja, kalau pemerintah yang lima ribu jadi 15 ribu. Nobody want to repay. Everybody comfort with that.
Leasing termahal, maintenance termahal. Insurence termahal. Everything termahal. Can not survive!
Saya yang pelit apa saja, setengah mati. Udah gitu kalau kita kerja diisek isek sama negara, karena kita tidak mau kompromi.
Yang parah itu, kita nyekolahin anak, ‘to know the world, to be world class, to have the world quality, (but) coming back to’ Indonesia, mereka kerja dengan ‘goverment’ yang ‘corrupts’, harus belajar mengerti ‘kick back’ (suap, nyogok, bagi komisi), belajar mengerti mark up. Than what we invest itu seperti wasting. Apa yang kita investasikan sia-sia. But we will protest, we make a changes.
Seide.id : Ada apa di balik itu semua?
SUSI P. : Kita ini ada genetic malas. Ras kita sedikit agak ….. ya… Saya tidak tahu apa karena ‘geneticaly from before atau just do from evolution’. Genetic kita pun mengalami ‘mutating’ (mutasi) kayak virus mutate. Its getting lazy.
Seide.id : Bagaimana Anda melihat Garuda?
SUSI P. : Saya kadang lihat Garuda ‘mesakne’ (kasihan). Terbang ke London, Amsterdam. Banyak orang Indonesia terbang ke sana, katanya. Tapi kan nggak bisa airline terbang just for Indonesia only. Kalau mau ya Frankfurt sama Roma – yang benar itu. Frankfur banyak pesawat dari mana mana.
Sama juga Takengon di Aceh, sekarang penerbangan komersil yang ke Takengon cuma Garuda dan Lion. Itu pun setengah mati. Kalau penuh. Kalau nggak ya nggak ada. Harusnya Takengon itu kan di tengah. Dari Banda Aceh mestinya tiga kali seminggu. Dari Simeulue, Kutacane, mana ada lima rute? Kalau ada lima rute, kan minimal 12 kali lima 60. Yang 30 pasti conecting. Passanger naik Lion.
Kalau kalau dia mau Garuda terbang, pastikan ada lima (penerbangan) perintisnya. Atau enam. Ini nggak. Padahal, lima atau enam itu subsidinya paling Rp.10 -15 miliar per tahun, tapi menghidupi bandara yang (dibangun dengan anggaran) triliunan atau ratusan miliar.
Kadang kadang aneh juga. Bandara ‘in the midle of nowwhere’. Bandaranya jauh dari kota. Lampu bandaranya saja nggak ada, tapi lampu jalan dari bandara ke kota ada.
Saya suka tanya sama bupatinya, “Pak, yang mau terbang malam malam itu siapa?”
Jawabnya, “Itu lampu jalan, Bu Susi!” Hiasan hiasan banyak lampunya itu.
Iya – but whos goes to? Hantu? Hantu tidak perlu lampu buat jalan. Dia pasti akan ketemu bandara itu, tanpa lampu.
Seide.id : Untuk perbaikan maskapai Garuda dari mana dulu?
SUSI P. : The easiest is pailitkan!
Seide.id : Tapi itu kan simbol negara?
SUSI P. : (Susi spontan mencibir dan melengos). Its a company ! Bisa ganti nanti, burung lain, kek? (orang orang tertawa)
Kalau pemerintah tetap seperti ini memperlakukan Garuda, komisarisnya, direksinya, ya ‘any money can be a poor for do nothing again’. Kalau secara korporasi ya (Garuda) bangkrut, sih. Cuma, persoalannya, ya, tidak tahu. Kalau pemegang sahamnya, istilahnya nyogok pembuat kebijakan ya akan terus dipertahankan. Jangan sampai pailit. – Dimas Supriyanto Martosuwito /seide.id.