Di akhir dekade 1960 dan awal 1970an para pendaki gunung berkhayal dari puncak, seandainya dari ats bisa langsung melompat ke bawah sana, dengan cepat. Tak lama kemudian muncul Gantolle.
Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
Seide.id 12/01/2023 – Di akhir dekade 1960-an dan awal dekade 1970-an, di Indonesia – khususnya di kota-kota besar di Jawa – terjadi semacam gerakan l oleh kaum muda, dimana sebagian dari mereka mulai coba meninggalkan dituasi sosial-ekonomi dan politik di kota yang menghimpit dan bikin jiwa san pikiran frustrasi antara lain dengan ‘lari’ dan nyepi ke tempat-tempat yang jauh dari peradaban kota. Satu dari bentuk aktivitas mereka adalah mendaki gunung.
Berbagai lembah dan hutan dijelajah dengan jalan kaki, berbagai puncak dan titik-titik ketinggian gunung ataupun bukit didaki sebagai sebuah bentuk prestasi non-medali bagi pribadi ataupun kelompok, untuk kemudian balik turun menapaki jalur semula (atau mencari jalan lain) hingga tiba kembali di kaki gunung atau bukit. Begitulah paramuda pedaki gunung dan pecinta alam menghabiskan sebagian waktu senggang mereka (selepas/diluar jam sekolah/kuliah atau saat libur kerka) lewat aktivitas positif dan memacu keringat.
Tapi mendaki bukit ataupun titik ketinggian di sebuah gunung, bukanlah perkara mudah. Paling tidak, seorang pedaki perlu sehat mental dan fisik serta tenaga (selain cukup bekal minum dan makan selama perjalanan) untuk mencapai titik sasaran yang direncanakan. Tak jarang setiba di ketinggian yang dimaksud tenaga sudah terkuras dan dengkul terasa teklok. Sementara masih ada aktivitas yang harus dilakukan yakni balik berjalan turun beberapa jam (atau beberapa hari) untuk tiba kembali di bawah, di titik start untuk lantas pulang ke rumah.
Di saat berada di pucuk-pucuk ketinggian itu, saat lelah dan kali seakan ogah di ajak.melangkah turun maka muncul fantasi artistik pedaki yang lantas berucap: “Enak kali, ye…, kalau kita bisa terjun gunung. Cepet sampe ke bawah.” Atau pada celoteh antarteman lainnya: “Kalo elo mau cepet turun, ya…terjun gunung aja…!”
Siapa mengira bila angan-angan atau khayalan buat “terjun gunung” tersebut nyatanya kemudian benar-benar terwujud, benar-benar terbukti bisa dilakukan. Seseorang yang mendaki dan tiba di satu titik ketinggian sebuah bukit atau gunung, dengan sebentuk alat/wahana terbang, bisa langsung meluncur ke bawah bukit, kembali ke titik daki semula hanya dalam hitungan menit, tanpa harus susah-payah jalan turun kembali beberapa jam, hahaha…
Aktivitas terjun gunung atau hiking and jumping ini lantas populer sebagai olahraga layang gantung atau hang-gliding atau gantolle (konon kata lain dari capung), karena si peterjun (resminya disebut pilot) melompat sambil bergantung dibawah semacam sepasang sayap (yang bisa dilipat saat dibawa mendaki), sepintas mirip sayap kelalawar atau kupu-kupu.
Dengan bergantung di bawah sayap itu sang pilot terjun dan melayang di udara, mengendalikan sayap terbangnya diantara dorongan termal dan angin, meluncur turun ke titik pendaratan di bawah bukit atau gunung.
Hang-glider atau gantolle lahir di Austria tahun 1950, dan sebenarnya ini.merupakan proses panjang keinginan manusia untuk bisa terbang seperti burung. Kita sama tahu nahwa jauh sebelum pesawat terbang (bahkan pesawat luar angkasa) hadir, peradanan dunia sudah punya dongeng ihwal Icarus yang sayap terbangnya hangus terbakar matahari. Bahkan budaya hindu di Nusantara punya kisah Gatotkaca yang bisa terbang dan ngumpet di balik awan. Di dunia modern, kita juga punya perupa Leonardo da Vinci yang antara lain membuat karya grafis fenomenal bertajuk “Flying Machine” yang menginspirasi … dua pemuda bersaudara di Amerika sana membuat pesawat terbang
Wright Bersaudara, dua pemuda bersaudara di…
Dari konsep Flying Machine yang digambar Leonardo da Vinci itu rasanya, diakhir abad ke-19 Otto Liliathal, Octave Chanute, dan John Montgomery di tempat yang berbeda-befa lantas mengembangkan wahana bersayap yang dibawa lari di lapangan untuk bisa terbang melayang. Inilah rasanya prototype layang gantung pertama, yang lantas menginspirasi Wright Bersaudara di Amerika, mencipta layang-layang beroda dan bermesin yang kemudian menghasilkan pesawat terbang.
Betapapun pesawat terbang sudah hadir, dan jadi angkutan udara bahkan mesin perang, tapi upaya terjung gunung, melayang terbang dengan bergantung dibawah semacam sayap, tanpa bantuan mesin pendorong laju, terus ditekuni para pegiat olahraga dirgantara. Para pegiat pemulanya antara lain tercatat di Austria di tahun 1950. Tapi baru satu dekade kemudian hadir prototype gantolle modern (sayapnya dari lembar kanvas berlateks, diberi rangka baja ringan yang bisa dilipat-lipat) portable yang relatif mudah disandang pilotnya ke turik ketinggian gunung, dirakit ulang dan terjun meluncur ke bawah.
Olahraga terjun gunung dengan gantolle lantas populer, di Eropa fan Amerika khususnya. Bahkan di tahun 1985, di Kossen – Austria, digelar Lomba Layang Gantung Dunia untuk pertama kalinya. Di tahun-tahun itu juga olahraga layang gantung mendunia, bahkan juga dilakukan oleh beberapa pilot di bukit-bukit di kawasan wisata di Indonesia semisal Gunung Mas Cisarua Bogor Jawa Barat dan gumuk-gumuk pasir di Parangtritis Jogyakarta. Gantolle hadir dimana-mana, sampai kemudian popularitas gantolle (relatif) tenggelam oleh wahana terjun gunung baru yang dikensl sebagai paralayang. Lho, kok bisa? ** (Bersambung)
18/01/2023 PK.18:00 WIB.