Ternyata, tak semua honor pemandu diterima Lody dalam bentuk dolar. Melainkan sebagian juga diterimanya dalam bentuk paket kiriman (dalam boks masih tersegel) bertuliskan Parapente Drakkar Everest, yang ternyata sebuah parasut buatan Prancis lengkap dengan buku panduan penggunaannya.
Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
Seide.id 05/02/2023 – Bulan lalu, Lody Korua (65th) posting foto diri di laman FBnya, sedang mendaki puncak bukit di kawasan Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri, Jawa Tengah. Di titik ketinggian itu dia membongkar isi ransel di punggungnya. Bukan makanan dan minuman ataupun tenda buat bermalan, melainkan seperangkat parasut dengan kanopi memanjang yang pangkal tali-temalinya lantas dikenakan di bagian pungging jumpsuit-nya, dan dengan bantuan kesiur angin di pucuk bukit… kain parasut dia kembangkan hingga membentuk payung di udara. Pada titik tertentu, Lody berlari ke gigir bukit dan… terjun gunung (mewujudkan mimpinya saat remaja), melayang-layang ke titik pendaratan di bawah bukit Waduk Gajah Mungkur.
Kita sama tahu bahwa aktivitas terjun gunung (untuk bisa cepat sampai ke bawah tanpa harus berjam-jam turun berjalan kaki) bukan lagi khayalan kaun remaja, pendaki gunung tahun 1970-an. Terjun gunung dengan ‘sayap terbang’ sudah menjadi aktivitas olahraga yang nyata di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Diawali dengan gantole, hang gliding atau layang gantung, dan kemudian dengan dengan.patasut khusus yang kini populer sebagai payung paralayang.
Saya tidak ngeh, kapan olaraga gantolle masuk ke Indonesia dan siapa perintisnya? Yang pasti, saya pertama kali melihat wahana terbang itu melayang di udara kebun teh Gunung Mas – Bogor akhir periode 1980-an, diterbangkan pilot-pilot layang gantung yang berada di bawah organisasi FASI atau Federasi Aero Sport Indonesia. Baru di awal periode dekade 1990 hadir wahana terjun gunung baru yang kini kita kenal sebagai paralayang, dan pervaya nggak percaya…semua ini berawal dari dari aktivitas Lody Korua di ranah pecinta alam Indonesia.
Tak sekadar hobi naik gunung, tahun 1987 – sepulang ikut Ekspedisi Internasional Operation Raliegh (yang didirikan Pangeran Charles, kini Raja Inggris) di Taman Nasional Manusela di Pulau Seram, Indonesia — Lody juga dikenal sebagai pemandu wisata minat khusus, menjelajah hutan rimba di Indonesia. Tahun 1989, Lody antara lain dapat job mengantar tim kru TV3 Tolouse Prancis yang hendak syuting ihwal kehidupan Kupu-Kupu Raja (Rajah Brooke) di hutan-gunung Binaiya, di TN Manusela, Seram, Maluku.
Ternyata, tak semua honor pemandu diterima Lody dalam bentuk dolar. Melainkan sebagian juga diterimanya dalam bentuk paket kiriman (dalam boks masih tersegel) bertuliskan Parapente Drakkar Everest, yang ternyata sebuah parasut buatan Prancis lengkap dengan buku panduan penggunaannya.
Lody bergaul cukup luas di kalangan pencinta alam dan outdoor avtivity serta lembaga terkait. Tapi sungguh belum terdengar olehnya pembicaraan (bahkan sekadar celetukan) berkait parasut parapente. Dari katalog yang menyertainya, dia agak faham bahwa itu adalah payung untuk aktivitas terbang. Tapi bagaimana mengoperasikannya dan di mana dioperasikan? Sungguh belum ada contohnya di Indonesia, belum dia dengar ada kegiatan terbang dengan alat serupa di langit Indonesia.
Maka hingga sekian lama pasca dia terima paket kiriman dari Prancis itu, benda itu tetsp tersimpan rapi dakam kardusnya di rak barang-barang outdoor activity yang dimiliki Lody di gudang rumah Mamanya di bilangan Menteng, Jakarta Pusat.
Dalam pada itu, sepulang dari pemandu Kru TV3 Tolouse France ke TN Manusela, Lody sudah punya rencana besar dalam dirinya. Dari kumpulan honornya sebagai pemandu rombongan wisata petualangan, Lody menjadi orang Indonesia pertama yang berhasil.membeli dan memiliki sebuah perahu karet (rubber boat) merk Avon buatan Inggris.
Dengan perahu karet milik pribadinya itu, Lody berniat mendalami ternik mendayung (secara otodidak, karena belum ada guru mendayung perahu karet daat itu) di berbagai danau dan sungai deras Indonesia. Karena itu, untuk sementara waktu dia lupakan bahwa dirinya juga merupakan orang Infonesia pertama yang memiliki payung parapente yang belakangan dikenal sebagai payung paralayang.
Lody tak salah pilih. Belakangan semua orang tahu bahwa Lody Korua tampil sebagai tokoh tangguh di dunia white water rafting atau arung jeram sungai di Indonesia. Dia juga dikenal sebagai seorang dari pendiri FAJI (Federasi Arung Jeram Indonesia), yang tahun 1996 juga sukses membangun Arus Liar – operator wisata arung jeram pertama di Indonesia (beroperasi di Sungai Citarik, Suksbumi) yang modal seutuhnya dimiliki oleh orang Indonesia.
Suatu pagi, Lody kedatangan Dudy Arief Wahyudi yang sepanjang malam berkereta api dari Yogyakarta, turun di Gambir dan langsung naik buskota ke rumah Lody di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Dudy sahabat Lody, sesama pecinta alam yang dikenal sejak sama ikut ekspedisi Operation Raleigh 1987 di TN Manusela, Seram, Maluku. Dudy sengaja datang dari jauh, karena mendengar bahwa Lody punya payung parapente yang dianggurkan begitu saja di rak gudang rumahnya.”Biar aku pelajari dan coba menerbangkannya di Parangtritis…,” begitu antara lain ungkap Lody.
Lody, yang sedang enjoy menekuni arung jeram dan bahkah mulai mengembangkannya menjadi model bisnis pariwisata alam Indonesia, terharu melihat sahabatnya itu punya minat yang besar untuk berlatih terjun gunung dengan payung parapente. Maka spontan Lody mengizinkan parapente miliknya itu dipinjam Dudy, yang segera membawanya balik pulang ke Yogyakarta, dengan pesan: “Setelah elo bisa terbang, jangan lupa lu ajarin juga gue terbang, sebelon lu ajarin Norman,” ucap Lody.
Norman yang dimaksud tak lain adalah Norman Edwin, anggota Mapala-UI (sahabat Lody dan Dudy) yang saat itu namanya juga sedang populer sebagai penjelajah dan wartawan penulis aktivitas petualangan. Tapi janji tinggal janji. Belakangan, lewat komunikasi telepon, Lody justru diinfokan Dudy bahwa Norman sedang ikut berlatih terbang (dengan parapente milik Lody) di gumuk-gumuk pasir Parangtritis di pantai selayan Yogyakarta, bersama beberapa teman Dudy lainnya hi…hi…hi…!
Pusat Patalayang Indonesia (PPI), organisasi dibawah FASI yang menaungi aktivitas “terjun gunung” dengan parasut khusus, mencatat bahwa payung parapente merk Drakkar Everest milik Lody Korua yang dipinjamkan ke Dudy Arief Wahyudi, merupakan payung paralayang pertama yang terbang di langit Indonesia. Dan 3 (tiga) orang pilot yang biasa berlatih menerbangkan payung parapente tersebut resmi dicatat sebagai Perintis Olahraga Paralayang Indonesia, yakni: Dudy Arief Wahyudi, Gendon Subandono, dan David Teak.
Gendon Subandono adalah wartawan Majalah Mode di Jakarta, yang bersama Dudy (bermodal payung parapente pinjaman dari Lody) mendirikan Klub Terjun Gunung “Merapi” di Yogyakarta. Keduanya berlatih terbang secara otodidak (dengan membaca buku panduan.
Eelco Koudijs, sarjana hukum asal Belanda yang sejak remaja kepincut budaya Indonesia dan sekaligus seorang dari pendiri operator arung jeram Caldera Rafting di Sungai Citarik, Sukabumi, menyebut bahwa kitaran tahun 1995 dia juga membeli sebuah payung paralayang di Inggris, dan ikut berlatih ‘terjun gunung di Patangtritis.
“Saat itu payung baru ada sekitar 5 buah. Dan yang pertama terbang di situ memang payung Drakkar Everest yang biasa digunakan Dudy serta Gendon. Baru belakangan saya tahu bahwa itu payung punya Lody,” ungkap Eelco yang ibu kandungnya (berdarah Belanda) lahir dan besar di Tanah Jawa.
Akan halnya Lody, si pemilik Drakkar Everest ini asyik mengukir namanya di ajang arung jeram. “Ada sih keinginan belajar terbang. Apalagi gue punya payung sendiri ysng ada di tangan Dudy,” ungkap Lody sekali waktu…
Tapi minat Lody untuk terbang terjun gunung surut ketika Dudy mengabarkan bahwa kakinya patah saat latihan terbang di Parangtritis. Bahkan di perairan Pantai Parangtritis yang pemuh karang pula suatu siang Dudy gugur saat berlatih terbang dengan parapente Drakkar Everest miliknya, payung pertama olahraga paralayang yang terbang di langit Indonesia.
Mimat Lody kian surut ketika Norman Edwin, sahabatnya, gugur (bersama Didik Syamsu) dalam pendakian Tim Mapala-UI di pegunungan es di Peru, Amerika Latin.
Sekian lama hati Lody beku untuk urusan terjun gunung yang sekali lagi, secara resmi dicatat Perhimpunan Paralayang Indonesia (PPI) sebagai dirintis oleh almarhum Dudy Arief Wahyudi, Gedon Subandono, dan David Teak. Diawali parapente Drakkar Everest milik Lody iru, olahraga dirgantara ini berkembang luas di Indonesia. Payung-payung baru bermunculan baik milik pribadi pilot ataupun milik klub.
Launching Ramp (titik ketinggian bukit yang jadi tempat awal melompat dan terjun paralayang) bermunculan di banyak lokasi wisata di banyak pulau di Indonesia. Sementara Lody, pribadi pertama yang punya payung paralayang di Indonesia, asyik berarung jeram.
Lody baru tergerak untuk belajar terbang paralayan saat usianya masuk kepala enam, hingga para pelatih (banyak diantaranya adalah yunior Lody di aktivitas pencinta alam) menjulukinya sebagai Siswa Gaek. Lody baru tertarik main paralayang saat Franky Kowaas, atlet paralayang Indonesia (sekaligus yuniornya saat aktif di operator arung jeram ArusLiar di Sukabumi) gugur bersama beberapa atlet paralayang internasional lainnya (gugur dalam musibah hotel yang ambruk di Kota Palu) saat terjadi musibah tsunami dan liquifaksi (tanah bergerak) yang melanda Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah tahun 2018.
“Almarhum Franky Kowaas yang semasa hidupnya ngotot mengapresiasi gue buat latihan terbang paralayang,” ucap Lody. Di usia gaek, Lody pun kesana-kemari mencari guru terbang paralayang, hingga kini masuk katagori tingkat mahir.
“Tak ada kata tua untuk jadi pilot (atau sekadar terbang tandem) dan belajar terbang paralayang. Yang penting sehat jasmani dan rohani,” ucap Lody sederhana.
Yuuuk…! Terjun gunung dan terbang paralayang…! *
07/02/2023 PK 21: 34 WIB.