Setelah itu saya memutuskan berhenti lagi naik gunung Nah kenapa bisa memulai lagi?
Tahun 2013 bulan Mei sahabatnya Suryo Prawiroatmodjo founder atau pendiri Pusat Pendidikan Lingkungan hidup. Kami kenal mulai tahun 1996. Memang sakit. Saat meninggal sudah mengatakan bahwa ingin dibawa ke Candi Kendalisodo di Gunung Penanggungan dengan ketinggian 1100 m. Awalnya saya tidak tahu kalau Penanggungan itu ternyata menyimpan banyak sekali candi maupun situs.
Kebetulan saat meninggal saya menjadi koordinator lapangan untuk membawa abu jenazah itu ke Candi Kendalisodo. Dia meninggal di Jakarta, diperabukan di Jakarta, abunya dibawa ke Jawa Timur. Memang itu keinginan dia dan memang sudah diwasiatkan.
Mau tidak mau akhirnya saya mencari Candi Kendalisodo itu ada di mana. Tanpa disengaja karena sahabat beliau ini luar biasa, bukan hanya dari Indonesia, tapi juga dari luar negeri. Kalau teman-teman yang ingin nyekar atau ingin berdoa dan perlu menuju ke Kendalisodo akhirnya semua diarahkan ke saya. Kalau mau Kendalisodo hubungi Yani. Akhirnya apa? saat upacara 40 hari sahabat-sahabatnya melakukan bersama keluarga almarhum. Jadi upacara 100 hari, 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun, 1000 harinya kami rutin berdoa di makamnya.
Sebetulnya saat itu lutut Saya masih sangat masalah. Saya bingung ini harus diapakan? Tapi pada kesempatan lain saat saya mengantar teman dari Jakarta, sahabat Pak Surya juga. Karena jalannya lambat dari saya punya waktu untuk memikirkan apa yang harus saya lakukan dengan lutut ini .Akhirnya saya mencoba mencari irama untuk jalan. Karena selama ini begitu naik, salah langkah, sudah langsung sakit. Sehingga saya sering membawa bandana untuk mengikat.
Saya bersyukur pada saat menuju 2 tahun, saya sudah menemukan itu caranya itu. Jadi berjalan tidak boleh terlalu lebar langkahnya kecil-kecil saja, tidak perlu memaksakan, karena terbiasa membawa beban yang sangat berat.
Berapa kilo sih biasa kalau mendaki gunung beban yang dibawa?
Sebetulnya saya nggak pernah menghitung. Tapi carrier saya isinya harus lengkap.Sleeping bag ada, kompor ada, tenda ada, logistik ada termasuk obat-obatan. Itu yang paling penting. Tas saya bawa berat karena saya bawa yang sebetulnya saya berpikir untuk orang lain.
Begitu saya sudah untuk menjelang ke-3 tahun, kaki sudah tidak masalah. Dan saya mulai berpikir memutuskan untuk tidak naik gunung lagi, tapi kenapa saya dilibatkan dalam acara ini sehingga seperti disuruh kembali ke gunung.
Mulai dari situ saya mencoba untuk memperhatikan. Setiap kali naik gunung kejadian apa yang saya alami, saya tuliskan. Dan sejak itu tanpa sengaja akhirnya saya suka menulis. Ternyata banyak teman yang suka sehingga mereka mengatakan begitu mereka membaca tulisan saya seolah-olah ikut dalam petualangan naik gunung. Itu yang mereka rasakan
Pertama kali keluar setelah wira wiri, naik-turun Kendalisodo, pertama yang saya tuju adalah Rinjani di tahun 2017 tanggal 18 Agustus sampai tanggal 21 Agustus.
Jadi gunung apa saja yang sudah didaki di Indonesia?
Mulai 2017, tahun itu hanya satu kali, tapi tiba-tiba saya diajak teman untuk mengunjungi Wae Rebo ternyata juga harus naik gunung. Balik lagi saya berpikir mungkin memang saya harus Kembali. Ke Wae Rebo saya bersama teman-teman LSM. Mereka akan mengadakan pendampingan di sana, sudah bertahun-tahun. Ada Indekon, ada Bima teman saya dari Malang sebagainya.
Mulai dari pulang Way Rebo itulah, tahu 2018 saya mencoba naik ke Gunung Lawu seorang diri. Saya memilih hari Selasa yang bukan musim liburan, dan kemungkinan besar untuk ada orang di gunung sangat kecil. Kenapa begitu? Saya sebetulnya orangnya penakut? Saya ingin tahu apa sebetulnya saya takutin. Kalau selama ini saya percaya kepada Tuhan, kepada yang membuat hidup saya, kenapa hal itu bisa terjadi, berarti keyakinan saya, belum bulat.
Akhirnya saya betul-betul mengerti, pada saat orang sendiri, yang terjadi hanya dua: bisa putus asa atau pasrah saja. Saya memilih pasrah dan bercanda pada diri saya sendiri.
Yang aneh saat itu hari Selasa, tiba-tiba ada 3 anak laki-laki muda naik. Mereka aslinya dari Lombok, kuliah di Jogja, sedang bosan atau jenuh dengan kuliah mereka naik gunung. Itu yang tidak saya tidak kira. Ternyata meskipun niat saya sudah sendiri ada orang yang menamani. Itu yang saya bilang sebetulnya Tuhan ku sangat sayang pada diri saya.
Istilahnya saya menantang diri saya sendiri. Untuk mendaki seorang diri dengan menguji diri sendiri. Tapi ternyata Tuhan tidak membiarkan saya sendirian terlalu lama. Kira-kira mungkin 30 menit sendiri, tiba-tiba saya melihat ada sinar dari kejauhan. Mungkin halusinasi ini atau apa karena terlalu lelah, ternyata anak-anak itu.
Dan yang mengejutkan dan saya tidak tahu pesannya apa, waktu pagi kami melanjutkan perjalanan menuju summit salah satu anak itu mengatakan saya bawa toga. Saya bilang untuk apa? “Saya pengen foto diatas kadengan toga. Kalau nanti mau pinjem boleh!”
Kami mendaki jadi berempat naik Ke Puncak. Udah foto-foto bebas tiba-tiba dia sedang mengeluarkan baju toganya. Ada 2 anak di atas puncak itu. Mereka naik dari sisi lain. Kami naik dari Candi Ceto, anak Ngawi ini dari Cemoro Kandang.
Setelah anak ini — namanya Rendy yang bawa Toga — Anak Ngawi yang kami temui mendekati kami. Anak-anak itu juga membawa toga. Mereka bilang, “Tolong wisuda saya di atas puncak!”
Enggak tahu maksudnya apa, tidak ada setingan tidak ada rencana apapun, tapi saya menjadi Rektor dadakan di puncak gunung. Itu menjadi kenangan tersendiri yang mungkin sama-sama tidak bisa kami lupakan. Itu tanggal 27-28 Februari 2018. (hw)
(Bersambung).