Fisiknya tidak terlihat agak kurus. Bila melihatnya pertama kali, tidak ada yang bakal menyangka perempuan kelahiran Mojokerto, 21 Oktober 1970 ini adalah seorang pendaki gunung yang berani dan kerap bepergian jauh menggunakan sepeda motor. Terakhir ia menempuh perjalanan dari Surabaya ke Jakarta menggunakan sepeda motor.
Wariani Krishnayanni (Yanni), wanita asal Surabaya tersebut rencananya akan keliling Indonesia dengan sepeda motor menempuh perjalanan sepanjang 17.000 kilometer, sambil mendaki 7 gunung di Indonesia. Perjalanan alumnus Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Katolik Darma Candika Surabaya (1997) ini, didukung oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat. Dalam perjalanan nanti dia juga akan diiringi oleh beberapa orang wartawan anggota PWI.
Herman Wijaya dari Seide.id mewawancarai Yanni Rabu (30/6/2021) di Sekretariat PWI Pusat Jl.Kebon Sirih Jakarta, tentang aktivitas dan rencananya touring dengan sepeda motor sambal mendaki gunung, dalam kegiatan yang disebut “Touring Expedisi Jelajah Kebangsaan Wartawan” (JKW) PWI.
Boleh diceritakan asal mula ide ini muncul?
Ide keliling Indonesia ini adalah impian saya sejak usia 15 tahun. Ternyata kalau keliling Indonesia lebih mahal dibandingkan kita keliling luar negeri. Ide ini tercipta gara-gara saya khilaf, saya bilang khilaf karena saya motoran dari Surabaya ke Jakarta. Ketemulah dengan teman-teman wartawan di sini, jadilah ini sesuatu yang hampir menjadi kenyataan.
Mbak ini punya latar belakang wartawan ya?
Saya juga wartawan. Medianya Askara. Saya lebih banyak menulis tentang gunung yang berhubungan dengan kehidupan. Nyatanya segala cerita kehidupan itu bisa kita pelajari dari perjalanan di gunung.
Jadi bagaimana soal perjalanan dari Surabaya ke Jakarta itu?
Awalnya saya mau meeting di Yogya. Cari tiket tidak ada, akhirnya saya naik motor. Dari Yogya itu sebelumnya saya mau naik Gunung Gede – Pangarango. Sudah janjian dengan 3 teman. Jadi dari Yogya langsung naik motor lewat Bandung lalu naik Gede – Pangarango. Dari Gede – Pangrango saya juga ada meeting di Jakarta. Jadi saya lanjut aja, naik motor sampai ke Jakarta. Tapi di Jakarta juga saya tidak mau rugi, lalu naik ke Gn. Salak dengan beberapa teman.
Memang saya kalau naik gunung itu selalu dengan teman, tapi enggak pernah terlalu banyak. Paling 3 – 4 orang.
Bagaimana bisa bergabung dengan PWI?
Di Jakarta saya mendatangi teman saya yang juga pendaki. Saya punya kelompok pendaki perempuan yang usianya di atas 45 tahun waktu itu. Mulai 2019 kemarin kami bentuk, Namanya SIABI. Itu kepanjangan dari Suara Ibu Asah Bangsa Indonesia. Direncanakan kegiatan-kegiatannya itu sembari kita naik gunung, ada sesuatu yang harus kami lakukan pada masyarakat di seputaran lereng gunung edukasi untuk anak ataupun orang tua ataupun apapun yang bisa kita lakukan di anggota itu ada yang ada yang pandai tentang pangan, ada juga yang dokter, macam-macam kita bisa mengkolaborasikan itu untuk kegiatan di lereng gunung sebelum kami naik. Sayangnya Setelah itu pandemi datang sehingga tidak bisa dilakukan rame-rame. Biasanya saya sendirian. Ya berangkat masing-masing lah. Waktu meeting di Jakarta itulah saya akhirnya ketemu teman-teman PWI. Kami ngobrol, karena saya suka touring.
Siapa yang menawarkan diri dari dalam hal ini, awalnya saya ketemu dengan Pak Dar Edi Yoga yang sekarang jadi ketua untuk tim perjalanan ini ya nggak pernah terpikir. Bahwa saya ingin keliling Indonesia Itu impian saya pada saat usia 15 tahun. Kenapa begitu menurut saya Indonesia itu sangat indah? Jadi sebelum saya keluar negeri, saya pengen keliling di negara sendiri. Dari pembicaraan itu lalu dikatakan sangat bisa.
Ada juga yang menyarankan, sebetulnya kalau suka nomor naik motor akan lebih aman kalau saya bermotor di luar negeri. Tapi saya bilang saya tidak mau. Saya orang Indonesia dan saya ingin keliling di Indonesia lebih dulu kalau nanti saya punya kesempatan untuk keliling juga di luar di negara-negara lain itu urusan lain.
Mbak Yani boleh cerita Mbak hobi mendaki gunung dan bermotor ini sejak kapan nih?
Naik gunung sebetulnya tidak pernah terpikirkan. Tapi umur 9 tahun tidak sengaja saya itu suka ikut kakak saya naik gunung. Awalnya hanya sampai Jalatunda karena kami tinggal di Jawa Timur. Setelah itu berhenti. Lama sekali berhenti, tapi saya suka olahraga SMA saya baru ikut pecinta alam. Tapi setelah lulus SMA, kegiatan itu pun saya hentikan. Sebetulnya saya dilarang sama orang tua.
Waktu SMA itu pun tempat paling banyak yang bisa saya datangi adalah Penanggungan karena paling dekat gunung Penanggungan Di Jawa Timur. Itu tidak terlalu tinggi tapi cukup curam dari itu sangat bagus kalau dipakai untuk latihan bagi pemula.
Kebetulan instruktur saya waktu itu marinir dan mereka suka naik ke gunung? Jadi kalau dibilang berapa kali ke Penanggungan mungkin bisa puluhan. Hanya sekali ke Welirang dan tidak ada lagi gunung yang saya daki karena memang orang tua tidak memperbolehkan.
Selepas SMA tahun 1989 saya berhenti total. Saya kerja dan sudah melupakanlah itu pendakian. Tapi tahun 98 tiba-tiba saya ketemu teman seorang ibu yang anaknya suka naik gunung. Kebetulan waktu itu dia mau naik Gunung Arjuno, gunung yang menjadi impian pada saat SMA, yang belum kesampaian. Akhirnya ikutlah saya naik ke Gn. Arjuno. Setelah itu berhenti lagi karena saya mengalami cedera otot dalam.
Pelajaran yang bisa diambil ya karena keinginan yang begitu lama tersimpan, saya lupa kalau pendakian harus melakukan pemanasan, peregangan otot lebih dulu, latihan sehingga waktu saya sempat cedera tidak ada luka tapi sakitnya luar biasa. Luka dalam lutut. (hw)
(Bersambung).