Yu Surti bangkit, lanjutkan usaha suami. (Foto : Heryus SS).
Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
Wanita tangguh tak pernah mengeluh. Wanita tangguh tak pernah mengiba-iba akan nasib dan peruntungannya, melebihi apa yang dirasakan. Wanita tangguh tidak mengemis, atau meminta-minta. Pasang-surut kehidupan yang kadang membadai menghancurkan apa yang sudah atau sedang dirancang, dihadapi penuh tawakal dan semangat juang menapak bentang dunia di depan mata.
Begitulah Yu Surti. Kematian suami sekian belas tahun silam, tak membuatnya sedih berkepanjangan. “Urip iku kersane Gusti Allah. Wong urip iku kudu jujur kudu bersyukur, susah pun seneng, mung bade manungaling ingkang dumadi (Hidup itu kehendak Allah. Orang hidup itu harus jujur dan bersyukur, susah ataupun senang, bila ingin selamat dunia akhirat),” begitu ucap Yu Surti.
Tak banyak warisan dari suami, selain sebuah rumah sederhana type 21 dengan luas tanah 60 meter, tempat dimana selama ini dia dan almarhum suaminya tinggal, sembari mengasuh dua orang anak, laki-laki dan perempuan, yang masih kecil. Berangkat dari yang ada itu Yu Surti bangkit, meneruskan usaha yang selama ini dia lakoni, yakni membuat ragam kue basah dan kuliner pagi bagi yang ingin sarapan.
Tanpa banyak bicara, tiap dinihari kitaran pukul 03:00 Wib, Yu Surti (jika tak sedang meriang atau bepergian jauh dari rumah) bisa dipastikan sudah bangun dari tidur. Beberes di dapur, menyiapkan kompor, menyiapkan semua bahan untuk membuat kue yang sudah di-stock atau dibeli sehari sebelumnya. Sendiri dalam diam dan doa dia meracik bumbu, mengadon tepung atau memotong bahan kue yang ingin dibuatnya.
Kue-kue sederhana yang umum digemari orang-orang biasa. Tempe Tendoan, Martabak Tahu, Goreng Pisang atau Kue Pisang, Getuk Singkong, Thiwul, Ancemon atau Gesrak. Kue Sus, Sosis Solo, Kue Talam Ubi, Bergedel Jagung, Kue Unti dan Dadar Gulung. Pokoknya apa saja kuliner pagi yang disukai masyarakat bawah, berganti-ganti dibuatnya, empat atau lima macam kue tiap pagi.
Sebelum pukul 06: 00 Wib, biasanya kerja Yu Surti di dapur sudah beres. Termasuk juga menyiapkan menu sarapan pagi buat putra-putrinya saat mereka masih kecil, dan diantar sendiri oleh Yu Surti ke sekolah masing-masing. Yu Surti memang tak menjual sendiri ragam kue kampung olahannya, melainkan dia titipkan ke lapak-lapak atau penjual kue pagi yang banyak diusahakan orang di sekitar kampung,
Bersepeda (belakangan bersepedamotor) sekalian membonceng antar putra-putrinya ke sekolah, sekaligus pula Yu Surti berkeliling mengantar kue yang sudah diwadahi kotak plastik dan bergantung aman dalam kantong kresek ke lapak-lapak atau warung penjual kue, dengan potongan harga sekian persen dari harga umum satuan kue. “Biar sama-sama hidup, ya pembuat kue, ya penjual kue,” katanya sambil tertawa, renyah.
Siangnya dia datangi kembali lapak dan warung penjual kue tempat dimana dia menitip dagangan. Umumnya, kue-kue buatannya tidak bersisa, karena Yu Surti (entah belajar dari siapa) memperhatikan betul apa yang dalam teori pemasaran dikenal sebagai margin and demand dimana produk disediakan atau disiapkan berdasarkan permintaan atau daya serap dan daya beli masyarakat di wilayah tersebut.
Kalaupun ada tersisa kue, dan kualitasnya masih bagus, Yu Surti segera membagi-bagikannya kepada anak-anak yang ditemuinya di jalan atau kepada orang dan pihak yang membutuhkan. Prisip tak ada yang terbuang percuma ini juga diterapkan untuk bahan pangan lainnya sisa-sisa potongan sayur mayur segar misalnya, dimanfaatkan jadi pakan ikan atau kelinci. Kerak nasi dan umbi singkong tersisa, dijemur kering untuk kelak diolah menjadi kuliner khas desa yang ngangenin.
Demikianlah keseharian Yu Surti. Bekerja dan bekerja apa yang dia bisa, “Sepi ing pamrih, rame ing gawe” begitu kata orang Jawa, sambil terus membina komunikasi yang baik dengan tetangga. Tak pernah marah. Selalu bersedekah senyum pada siapa saja. Tak ada orang sekampung tak kenal Yu Surti, yang juga menerima pesanan kue atau kuliner sayur, bila ada yang mau pesta atau sekadar arisan bareng teman sekelas.
Apa yang dihasilkan Yu Surti? “Apa, ya?” dia balas bertanya sambil tertawa. “Hasil’e…? Ya…hidup ayem, tentrem bareng tetangga…,” lanjutnya, bahagia. Amat sangat pantas bila Yu Surti disebut bahagia, karena hanya dengan bikin kue seadanya, alhamdulillah kedua putra dan putrinya bisa sekolah sampai universitas. Bahkan si Sulung sudah S1, sudah bekerja, sudah menikah dan memberinya seorang cucu laki-laki.
Wanita Tangguh itu memang bukan cuma aktris Christine Hakim yang belajar akting dengan sungguh-sungguh, menjiwai tiap peran yang dipercaya sutradara, hingga ia tampil sebagai ‘aktor’ tangguh Indonesia. Wanita tangguh itu juga bernama Yu Surti, Ibu sekaligus nenek sederhana, yang melakoni hidup penuh semangat dan rasa syukur yang dalam, wanita kampung yang lugu, jauh dari sorot kamera televisi.
Eh, ngomong-ngomong, kemana Mak Wejang? Tumben ngga nyeletuk dan memoton? Atau, jangan-jangan dia ketiduran di depan televisi, Lelah mendengar berita ihwal covid, oksigen kesehatan yang masih langka, dan berita pasangan seleb-pengusaha yang dadakan minta maaf ke entah siapa, karena ketangkep polisi gegara menyimpan dan menggunakan narkoba… ***
11/07/2021