Foto : Bram Naus / Unsplash
Lho, apa ada yang salah dengan jual diri?! Jangan piktor, begitu ah! Pikiran kotor itu jangan dipelihara, karena bakal suloyo dan meracuni hati.
Pikiran kotor itu harus dibersihkan, diganti dengan hal-hal yang positif agar kita selalu berprasangka baik pada orang lain.
Begitu pula, jual diri yang ini mempunyai makna positif. Kita jual diri untuk memenuhi kebutuhan keluarga, termasuk sandang, papan, dan kebutuhan lainnya.
Kita sadar sesadarnya, bahwa kita juga bukan tukang sulap yang mampu melakukan sim salabim, lalu muncul yang kita pikirkan, baik itu makanan, minuman, pakaian, rumah idaman, bahkan pasangan pilihan.
Jual diri, ya, jual diri itu tidak harus membuat kita malu, diremehkan, atau jatuh martabat. Jual diri itu bukan berarti jual tubuh, melainkan kita menjual tenaga, ide, dan pikiran.
Begitu pula dengan yang dilakukan oleh para kreator seni untuk menjual karya-karya ciptaannya.
Sayangnya, sejak zaman digitalisasi, disambung pandemi panjang, bisnis media cetak jalan terseok-seok, mati suri, berganti dengan bisnis online yang gegap gempita dan perkasa.
Dulu, ketika karya tulis kita dimuat di media cetak, kita memperoleh honorarium.
Kini, berbeda. Media mana yang mau memuat karya-karya itu dan memberi honorarium yang pastas? Banyak penerbit terkenal berani menerbitkan buku, jika dibiayai oleh penulisnya. Bahkan tidak sedikit penerbit yang bangkrut, digantikan bisnis media online.
Lebih memprihatinkan lagi, banyak penulis yang patungan untuk menerbitkan karya bersama. Sedang untuk mencari sponsor penerbitan buku itu sulitnya luar biasa. Lalu, harus bagaimana kita menentukan sikap, jika menulis sebagai ladang mata pencarian?
Kita, mau tidak mau juga harus berubah untuk mengikuti perkembangan zaman. Tidak sebatas dalam hal teknologi, tapi, kita juga berani berubah dalam kebiasaan kerja.
Hal itu tidak mudah, apalagi bagi mereka yang telah menua. Merubah kebiasaan kerja itu ibarat mendorong mobil mogok di jalan tanjakan.
Begitu pula dalam proses kreatif. Menulis itu tidak sekadar menunggu mood, inspirasi atau ide, tapi harus jadi kebiasaan agar kita memiliki disiplin diri.
Rutinitas menulis itu juga harus menjadi rutinitas kita untuk menguploadnya secara online di medsos. Ibaratnya, kita membuka toko online yang tengah menunggu pembeli.
Toko online itu semakin efektif dan dikenal, jika kita berani membuat terobosan dengan mempromosikan karya-karya di media luar negeri, juga secara online. Kita tidak lagi sebagai penjaga toko, tapi sebagai hunter alias pemburu pembeli.
Pengalaman puluhan tahun dan perjuangan yang gigih pantang menyerah itu tidak bakal sia-sia. Paling tidak, kesabaran, ketekunan, disiplin yang tinggi, dan semangat juang itu mampu menginspirasi orang lain. Untuk memperoleh sukses itu berproses dan sebagai anugerah Allah yang harus disyukuri.
Wawancara Imajiner: Kuli Motivasi