Ziarah ke Gunung Baron Rudolf di Pulau Komodo

Safari trek TNK harus dengan pendampingan jagawana

Safari trek dengan pendampingan tim jagawana untuk tiap rombongan, ini digelar di dua lokasi, yakni trek Pulau Komodo dan trek Pulau Rinca. Safari dimulai dari pos jaga utama di kedua pulau, Pos Loh Buaya di Pulau Komodo dan Pos Loh Liang di Pulau Rinca.

Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI

Seide.id 08/06/2022 – Safari trek merupakan nomor wisata menarik yang perlu diikuti siapapun pengunjung Taman Nasional Komodo (TNK) dengan catatan peserta harus siap jalan kaki dalam tempo sekitar 120 menit dalam tiap putaran trekking. Naik turun bukit, menysup hutan savana, menyusuri rute yang sudah disiapkan, buat menyaksikan ragam kehidupan liar yang ada.

Safari trek dengan pendampingan tim jagawana untuk tiap rombongan, ini digelar di dua lokasi, yakni trek Pulau Komodo dan trek Pulau Rinca. Safari dimulai dari pos jaga utama di kedua pulau, Pos Loh Buaya di Pulau Komodo dan Pos Loh Liang di Pulau Rinca, dan berakhir di pos-pos tersebut juga. Demikian nomor wisata yang tak bosan saya ikut serta tiap kali berkunjung ke TNK.

Ada banyak bentang alam dan pemandangan, serta spot menarik yang akan kita temukan di kedua pulau utama TNK tersebut, Padang rawa Banu Ngulung, tak jauh dari Loh Liang dimana dulu biasa dijadikan ajang wisata salah kaprah (Komodo sengaja diberi makan karkas kambing untuk ditonton, karena itu lantas dilarang dan ditiadakan); Wae Waso tempat satwa minum dan berkubang, serta banyak lagi.

Satu spot yang nyaris selalu disinggahi peserta trekking adalah puncak Gunung Baron Rudolf, sekitar 60 menit jalan kaki dari Loh Buaya, Pulau Komodo. Baron Rudolf Reding von Biberegg adalah turis asing pertama yang dinyatakan hilang di Pulau Komodo TN pada Juli 1974, dan tak pernah kembali. Diduga, fotografer dan bangsawan asal Swiss ini hilang diserang Komodo.

Alkisah, sebuah kapal pesiar mewah lego jangkar di perairan TN Komodo. Dengan sekoci, para penumpangnya merapat turun untuk melihat orah, sang naga komodo. Konon, Baron Rudolf memisahkan diri dari rombongan, dan tak kembali. Pencarian dilakukan petugas dan banyak warga kampung. Tapi sang fotografer seperti lenyap ditelan tebing-tebing savana, hingga dengan terpaksa kapal pesiar berlayar pulang.

Baru pada 19 September 1974, seorang pencari kayu menemukan kamera dan kacamata sang turis tercecer di pucuk sebuat bukit. Jasadnya tak ditemukan. Diduga habis dimangsa komodo. Sanak keluarganya kemudian, membuat prasasti di lokasi tempat ditemukannya kamera dan kacamata itu. Beberapa kali sanak kerabatnya itu datang berziarah ke gunung, yang lantas dikenal sebagai Gunung Baron Rudolf.

Fosil kerbau di Wae Waso, peringatan yang sengaja ditinggalkan para Komodo – Foto Heryus Saputro Samhudi

Memang ada kalanya komodo menyerang manusia. Entah itu wisatawan yang belum memahami situasi dan kondisi serta spesifikasi alam TN Komodo; atau bahkan penduduk kampung-kampung di TN Komodo yang lengah, tak sadar berada di tempat yang salah saat komodo juga sama berada di tempat itu. Tercatat, setidaknya 10 orang pernah diserang komodo. Trauma kah warga?

Warga menggelengkan kepala saat ditanya. Warga juga tak dendam pada Komodo, yang ngadem di kolong rumah. “Tak ada yang mesti dibenci. Orah adalah orah, kita adalah kita. Kami hidup di tanah sama, sejak dulu. Ada bagian masing-masing. Biasa bila ada persinggungan. Manusia diberi akal sehat. Hati-hati, jangan lengah. Mesti lindungi sumber makannya, agar tak mengganggu.” ucap Haji Mahmud. ***


08/06/2022 PK 11:55 WIB.

Avatar photo

About Heryus Saputro

Penjelajah Indonesia, jurnalis anggota PWI Jakarta, penyair dan penulis buku dan masalah-masalah sosial budaya, pariwisata dan lingkungan hidup Wartawan Femina 1985 - 2010. Menerima 16 peeghargaan menulis, termasuk 4 hadiah jurnalistik PWI Jaya - ADINEGORO. Sudah menilis sendiri 9 buah buku.