Seide.id – Air, banyak menginspirasi orang untuk dijadikan ungkapan, pribahasa atau perumpamaan. “Hidup, mengalir saja seperti air”, “Honorarium tulisanku sudah cair”, atau “Dengan humor, suasana kaku dalam pertemuan itu manjadi cair”. Itu adalah beberapa contoh saja.
Tapi, yang ingin aku blanyongkan ini, bukan perumpamaan, melainkan air sungguhan sebagai benda cair yang berperan sangat vital dalam seni lukis.
Media sosial menjadikan orang-orang yang sangat jauh saling terhubung (bukan berhubungan) satu sama lain. Karena media sosial ini pula, aku (entah bagaimana mula ceritanya), aku bisa melihat karya-karya dari beberapa orang pelukis dari Amerika. Aku kerap mengintip beberapa pelukis cat air. Bahkan aku sempat berkomentar, dan sang pelukis yang ‘mengenalku’ juga melalui media sosial, membalas komentarku.
Suatu kali, aku mengintip lapak seorang pelukis cat air. Aku intip juga komentar-komentar tentang lukisan itu dan juga beberapa komentar tentang pelukisnya, yang bolehjadi mengenalnya secara pribadi. Komentar-komentar itu kebanyakan yaa, memuji-muji dan berbasa-basi standar saja. Tapi ada suatu komentar yang menarik perhatianku.
Komentarnya kira-kira begini. “Beautiful. This painting, reminds me, that the white space is a piece of paper. The white space is NOT painted“. Indah. Lukisan ini mengingatkan(ku), bahwa bidang putih dalam lukisan ini bukan cat, tapi kertas. Atau bagian yang tak (perlu) dicat!
Yak. Dalam senilukis cat air, entah ada atau tidak ‘aturan baku’ itu dalam ‘pelajaran melukis’ dengan cat air, bahwa bidang putih itu memang bukan bagian yang dicat putih, tapi bidang kertas. Karena belajar sendiri melukis (yang belakangan aku ketahui ternyata aliranku, katanya adalah realis-nyelenehis?), aku -disengaja atau tidak, direncanakan atau spontan- sudah melakukan itu (bidang putih adalah kertas, bukan cat). Bahkan ada ungkapan ekstrem bahwa seni lukis cat air sepertinya ‘tak memerlukan’ cat air berwarna putih.
Aku yang belajar melukis sendiri dengan cat air, memang hampir tak memerlukan cat berwarna putih ketika melukis dengan cat air. Cat air bersifat transparan atau ada yang bilang juga shepia. Jadi, jika kita membutuhkan warna biru atau merah yang lebih soft misalnya, pada umumnya pelukis cat air, memberi air lebih banyak, sesuai yang diinginkan. Karena hampir tak mungkin memberi ‘highlight’ pada lukisan cat air (menumpuknya) dengan warna putih karena warna highlight putih, akan berbaur dengan warna yang ditimpa atau ditumpuk.
Jika sudah ‘terlanjur’ memberi warna pada bidang ‘yang seharusnya’ putih, maka aku (juga pelukis lain pada umumnya) biasanya melakukan apa yang kami istilahkan: mendusel.
Mendusel adalah menggosok-gosok dengan kuas basah, bagian yang sudah terlanjur berwarna tadi, menjadi lebih pucat atau bahkan sampai putih. Mendusel, akan ‘lebih aman’ dilakukan jika kertas yang digunakan untuk melukis, adalah kertas tebal. Jika mendusel di kertas standar atau bahkan tipis, maka dijamin, bukannya bidang yang kita dusel menjadi putih, tapi…bolong, sobek!
Akrilik, sebetulnya bisa juga disebut cat air, jika kita mencomot dari istilah: ‘water base’.
Cat akrilik memang berbasis air, mirip cat tembok. Jika dirasa lebih kental, maka kita akan memcampurnya dengan air. Meski, sama-sama berbasis air, tapi hampir semua pelukis memperlakukan cat akrilik seperti memperlakukan cat minyak. Baik secara transparan (jarang sekali pelukis melakukannya pada akrilik), standar saja (dengan kekentalan yang normal) atau opaque (tebal, sehingga bisa ditumpuk-tumpuk berbagai warna).
Cat air dengan cat akrilik bisa dibilang, serupa tapi tak sama. Serupanya, yaitu tadi, sama-sama berbasis air. Perbedaannya adalah: Jika cat air akan tetap bisa ‘luntur’ terkena air meski sudah mengering. Sedangkan akrilik, jika sudah mengering, tak ‘luntur’ jika terkena air.
Jika ingin menggerus, atau aku pernah mendengar istilah lain (yang aku setujui) yaitu ‘mengangkat’ cat yang ‘sudah terlanjur’ digoreskan supaya kembali memunculkan ‘warna asli’ kertas (bisa kertas putih, krem, biru muda atau pink) dengan kuas yang sudah diberi air atau kuas kering, pelukis harus sabar. Karena ‘bidang asli’ kertas yang akan dimunculkan itu harus berkali-kali ‘digerus’, ‘didusel’ dengan sabar.., jangan sampai sobek.
Aku pernah melukis bereksperimen dengan cat air dan telur. Sebetulnya bukan murni eksperimen, karena aku pernah membaca, bahwa pigmen kuning telur sudah lama digunakan untuk melukis. Telur, sebagai perekat. Sedangkan warnanya dari cat air, bubuk kapur, atau bubuk bebatuan berwarna yang ditumbuk halus. Salah-satu maestronya adalah Andrew Wyeth, pelukis realis dahsyat dari Amerika.
Biasanya yang digunakan adalah kuning telur. Tapi karena ‘tak mau rugi’ (haha), aku menggunakan seluruh telur. Nah, ketika cat air bercampur telur itu didusel secara berulang-ulang terus menerus, maka bidang atau permukaan kertas tebal yang didusel itu, panas. Lalu karena cat itu bercampur telur,…maka mengeluarkan bau harum!
Seni lukis Cina, pada awalnya sejalan dengan seni sastra. Aku pernah melihat demo, seorang pelukis sekaligus penyair dari Cina. Melukis di atas kertas tipis. Menurutku, seniman Cina yang melakukan demo itu, tak cuma pelukis dan penyair saja, tapi sekaligus juga pendekar dan ahli pernafasan. Karena, melukis dengan kuas basah, runcing, sementara kertasnya tipis dan setiap ujung kertas dipegang oleh 2 orang (bukan diletakkan di lantai) dan tidak sobek,…pasti hanya bisa dilakukan oleh pelukis, sastrawan, sekaligus pendekar ahli pernafasan.
Nah dunsanak…, selamat main air, eh membuat syair, eh mendusel hingga menghirup harum telur, eh melukis, eh…
Ilustrasi: 1 Di dalam kelas, 2 “Si Bungsu”, 3 “Terpesona pada cahaya”, 4 “Perantau”.
Bidang ‘berwarna’ putih pada lukisan-lukisan cat airku ini, adalah kertas, bukan cat berwarna putih. Atau bahasa ndeso-nya: unpainted space…
Aries Tanjung