Kuberikan cinta dengan segenap rasa yang ada di dada, biar kukecup bibirmu di bawah sinar rembulan berwarna saga, agar kau tahu, dari getar yang ada di jantungku, selamanya aku cinta padamu…
Alena, jika saja semburat dadu di rona wajahmu berkisah tentang cinta kita, mungkin aku tak terlalu letih menunggu jawab yang menggantung di bibir. Kau dan aku dapat meniti jalan setapak yang pernah kita lalui. Genggamanmu yang erat mengaliri ribuan rindu yang tercakup di sana. Mata kita hanya beradu, melanjutkan cerita yang tak pernah usang. Ratusan jarak tak membuat bisik itu hilang terhapus angin, sebab perbedaan hanya sebatas ucap. Dunia tak memusingkan itu, hanya manusia yang berkisah tentangnya. Kau dan aku tetap sama, menabur rindu dengan bunyi degup di rembang petang.
Rindu ini tak pernah padam Alena, meski waktu telah menggusur sebagian usia dan kita terkapar bersama ribuan bahkan jutaan virus yang merajam dengan dahsyatnya. Aku selalu mengenangmu dalam imajiku, bermimpi bahkan mengenang jalan berliku yang telah kita lalui. Adakah pikiranmu juga masih tetap sama? Ah, Alena, meski gemuruh rindu selalu datang mengendap, namun untuk menjangkaumu semua itu adalah semu.
Beragam aturan dan beragam petuah telah mengkristal menjadi ribuan debu yang menerpa wajah dan langkah. Kau berpijak di satu sisi yang kukuh dengan ratusan aturan yang sangat normatif dan aku pun demikian. Alena, batas antara kita meruncing, hukum ketat bikinan manusia telah meluluhkan ribuan semangat yang kita tanam perlahan-lahan. Semua menjadi samar. Keluargaku dan keluargamu membuat jurang tanpa dasar.
Hanya hati yang bicara, berkata bahwa bila agama menciptakan batas yang tak boleh dilanggar, lalu mengapa cinta juga diciptakan? Apakah kita harus menguburnya hingga rata tanpa jejak? Atau haruskah cinta itu kita pendamkan hingga batas cahaya memudar dan enggan bersinar? Ah Alena, lihatlah, jarak yang memisahkan kita tak membuat cinta itu memudar, malah semakin erat terangkum, kau dan aku berjanji tak mau melangkah di jalur pebuh debu, jalur yang dibuat manusia dengan memakai nama Tuhan yang kita sembah.
Alena, adakah keindahan hanya bisa dilihat dalam satu warna? Kau lihat pelangi di ufuk timur sana, perpaduan yang terlukis dengan warna-warni nyata yang penuh dengan sapuan kelembutan alami dari Sang Kuasa, rasanya kian mengukuhkan kita bahwa perbedaan tak perlu menjadi perbincangan yang membuat sebuah jurang kian curam dan kelam, perbedaan akan berjalan seiring dengan cinta kita yang tak kenal batas waktu dan masa.
Lihat Alena, lihatlah tentang beragam pengukuhan ego yang menyatakan bahwa keseragaman adalah keindahan yang harus diperjuangkan. Tidakkah itu menyesatkan? Aku tak hendak membujukmu untuk bersandar pada ide yang kuulurkan untuk kau ikuti. Kau manusia bebas yang merdeka, kau tahu cinta tak perlu memaksa. Aku memberikanmu kemerdekaan, baik dalam berpendapat atau menentukan jalan yang membentang di hadapanmu.
Menurutku pemasungan terhadap apapun yang berkaitan dengan kebebasan pribadi juga kebebasan dalam berpendapat, adalah jalan terburuk dari lorong panjang tanpa akhir, karena di sana tak lagi akan kita temui makna tersirat dari arti bahagia dan rangkuman cinta yang ada di kedua telapak tangan kita. Biar, biarkan itu bersatu tanpa campurtangan dan pendapat yang berusaha membuyarkan arah dan tujun dari langkah yang dituju. Alena, berikan pada jiwa untuk mengirim sinyal ke benak agar kelak ada labirin sunyi yang menuntun kita menuju ke arah yang kita dambakan, yaitu dunia tanpa hiruk pikuk juga gempita yang menyesatkan. Dunia yang memberikan jalan pada untuk memilih alur sesuai dengan etis moral yang berlaku.
Aku ingin bertanya tentang suatu hal Alena, andai cinta membisu tak lagi menyusup di tiap dinding hati, adakah rasa untuk saling memiliki masih mendekam di sudut jemari? Adakah rindu menggiring sunyi untuk memekakkan sepi yang berkepanjangan? Kurasa kau tidak akan segera menjawabnya, sebab dalam pusaran waktu yang bergerak terlalu cepat, langkah tergesa adalah jawab yang tak sempurna untuk diucap. Kau akan memandang dengan lirikan mata bagai seorang penari yang meliuk indah di altar sang pujangga, kau akan mengirim pesan bersama larik-larik tanpa nuansa hitam yang pekat sehingga aku bisa mencernanya dengan hati penuh sukacita.
Ah, betapa bahagianya Alena, ketika kata yang tercipta terbebas dari berbagai intrik penuh debu yang dibarengi dengn rasa iri dan kemunafikan. Kau berkata bahwa cinta yang tercipta untukku selalu luruh dari tepian jeram dengan warna putih kemilau. Alena, di kedalaman samudera aku meliuk mencari jejakmu yang samar namun nyata. Kau meninggalkan secarik pesan yang tersimpan dalam ganggang kehidupan di dasar sana, berpadu dengan bunga bakung yang menguntai indah di tepiannya. Aku ingat akan ucapanku untukmu Alena, “Bunga bakung ini terlihat sangat cantik, ia seperti engkau yang terbungkus indah dalam balutan sutra putih gaun pengantin ketika kita melangkah di altar….” Alena, kuyakin engkau masih ingat akan ucapanku itu, akan kecup yang mesra di balik sinar purnama yang terbelah awan gemawan. Kau menengadah dan aku memandang mata beningmu yang berpadu dengan ribuan cahaya dari bintang-bintang di langit. Sungguh, ingin kubagi rasa ini padamu, rasa yang terucap di relung batinku, bahwa, perbedaan bukan halangan bagiku untuk terus mencintaimu. Terus mencintaimu…
Inilah mungkin untaian kata terpanjang yang kukirim untukmu Alena. Kutulis ini dengan segenap ilusi, tentang bayang yang berkecamuk di dinding tanpa sekat, sehingga ia meruar lalu uapnya menyebar ke segala sendi semesta. Tak perlu kau menjawabnya dengan tergesa, karena aku tahu, bumi berputar tak secepat deru nafas yang ke luar dari tiap dengusan nafas. Dan bumi tidak datar sayangku, ia bulat, berjalan dengan waktu dan pijakan yang tepat. Karena aku tahu senyummu hanya akan tertinggal di lapisan udara yang tak tertangkap oleh raup jemariku. Sebab ketika paduan dari gelegar suara itu menggema, aku hanya mendengar selintas suara yang lamat-lamat menyebutkan namamu.
Alena, kupandangi serpihan itu dengan mata nanar, dengan sengukkan tertahan di dada, dengan jeritan panjang tanpa bisa kutahan, dengan tanya yang tak terjawabkan, mengapa…mengapa kau ada di sana? Mengapa ragamu yang menjadi tumbal dari perbuatan bodoh manusia yang menganggap surga ada di depan mata, yang mengira puluhan bidadari menyambut kedatangannya? Ah Alena… absurditas ini terlalu berat untuk kutanggung. Dalam imajiku, engkau menungguku dengan janji yang tertaut jelas di tulisan tanpa jeda yang kukirim beruntun di layar alat komunikasi yang berada dalam pelukan telapak tanganmu.
Engkau pasti tengah membacanya, membaca bahwa di Minggu ketiga bulan ke tujuh, pada hari yang telah kita sepakati bersama, kau dan aku akan bersanding dan berjalan perlahan menuju altar abadi penyatuan jiwa dan raga yang hanya dapat dipisahkan oleh waktu.
Alena, barangkali SMS-ku masih tersimpan di jantungmu yang sempat berdenyut sebelum bom itu menghancurkannya menjadi berkeping-keping. Tidurlah yang panjang di keabadian waktu kekasih, suatu saat kau akan menjemputku dan kita berjalan bersama dengan mimpi yang tak lagi terkoyak oleh hitamnya hitam, oleh derita buta yang menuntun dia dan dia menjadi lupa bahwa hidup adalah pemberian Sang Ilahi, bahwa kehidupan yang mengepung tiap jejak kaki, tidak bisa tercerabut dari akar yang tertanam di dalamnya.
Tidurlah bersama kenangan yang telah kita jalin dari masa terdahulu hingga kini Alena, tidurlah…
Oleh: Fanny Jonathan Poyk