Keluar dari Pasar Grogol langkahku terhenti. Ada tukang kue rangi di teras pasar, dan … stoplah aku.
Bagiku kue rangi adalah kue nostalgia. Dulu sesekali dibelikan Ibu buat anak-anaknya. Aku sering memperhatikan cetakannya yang unik, terdiri dari dua baris, berderet-deret mirip cetakan kue pancong, hanya lebih kecil. Sudah lama sekali tidak kutemui kue ini dijajakan pedagang yang berkeliling dari kampung ke kampung. Makanya aku surprised menemukannya. Ah, titik liurku, kata aku si anak dulu. Anak sekarang menyebutnya: ngeces akuh.
Begitu aku memesan satu porsi, si abang menyendok bahan yang tersedia, yaitu campuran sagu dan parutan kelapa. Ya, bahan itu kering. Tidak ditambah air, hanya secuil garam untuk rasa gurih. Ketika dipanggang, rupanya parutan kelapa mengeluarkan sedikit santan yang melarutkan sagu aren dan merekatkan semua bagian. Kue rangi pun memulai proses pematangannya, yaitu di-GARANG (hingga) WANGI.
“Agak angus ya bang,” pesanku. Dia hanya mengangguk dan pada saat yang tepat mencungkil kue rangi dari cetakannya, menaruhnya di atas wadah plastik, dan melumurinya dengan larutan gula jawa.
Sepanjang perjalanan pulang, gara-gara si wangi ini, aku terkenang masa kecil. Dulu itu, semua jajanan terasa enak. Termasuk jajanan tradisional Betawi lainnya seperti kue pancong, kerak telor, es puter dengan cuilan roti tawar yang keliling sambil ting-ting-ting di malam hari. Mungkinkan semua enak, karena anak dulu jarang diajak kulineran, sehingga tidak secerewet anak sekarang? Atau, anak dulu memang rakus?
Ketika sampai di rumah dan kukeluarkan dari kantong plastik, kulihat gulanya sudah beleberan. Ah, kurang hati-hati aku menatingnya tadi, sebab tanganku repot membawa beberapa belanjaan lain. Isi wadah plastik kubagi dua, separuh kuberi ART-ku, Diah.
Separuh itu pas! Kan rahasia asyiknya makan jajanan di masa kecil, adalah jumlahnya yang terbatas karena harus berbagi dengan saudara?
Ternyata kue rangi masih seperti yang kuingat: garing di pinggir, liat di tengah, manis di atas. Masih enak buat anak dulu. (BG)