Gaya wawancara Najwa Shihab mengingatkan pada jurnalis sangar Italia, Oriana Fallaci (1929-2016), populer di era 1960-1980an yang kontroversial dan agresif. Tak ragu menyerang narasumber.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO.
TERUS terang, saya ikut kehilangan selera untuk menonton acara ‘talkshow’ Najwa Shihab lagi. Seperti narasumber yang juga menjauh, saya punya prasangka yang tak menyenangkan pada gaya wawancara Nana, beberapa waktu terakhir ini. Terutama sejak dia menghadirkan kursi kosong, lantaran Dr. Terawan Agus Putranto, Menkes Ri saat itu, tak bisa memenuhi undangannya.
Saya kini ikut sepakat dengan mereka yang menyebut, Najwa Shihab sudah mengambil kesimpulan sebelum mendapat jawaban dari narasumber. Dan cenderung mudah menghakimi.
Najwa yang ‘smart’ dan menyenangkan dulu, telah berubah menjadi sosok penyidik yang intimidatif, seperti jaksa. Selain jadi hakim juga. Kerap memotong omongan dan jawaban narasumber, melontarkan celetukan sinis – di media yang seharusnya lebih longgar untuk mendengarkan paparan utuh tamu yang diundang. Tokh dia tak lagi siaran di teve swasta – yang ketat waktu tayangannya.
Saya bukan akademisi jurnalistik yang bisa membedah dan memberikan ulasan serta tinjauan komprehensif tentang gaya atau genre jurnalistik tertentu, dengan rujukan dan referensi yang valid.
Seperti pelaku dan penikmat di musik pop atau film, teater atau seni rupa, saya mengutamakan ‘rasa’ saja.
Dalam jurnalisme, sependek saya tahu: kebenaran hanya sementara – karena bisa berubah besok dan lusa, seiring munculnya faktu fakta baru dan sudut pandang lain. Selain itu, kebenaran juga bisa hadir dari banyak sisi. Karena itu, dalam jurnalisme ada tuntutan “cover both side” dan disiplin verifikasi.
Ya. Sepakat juga bahwa gaya wawancara Najwa Shihab memang telah berubah. Dari gaya “smart” dan “charming” menjadi nyinyir dan menyebalkan.
Ada gosip, ya gosip – karena ini dinding facebook, jadi sah saja menggosip (pen.) – yang menyebut, jurnalis jebolan Metro TV itu kini sudah tidak mau mendengar pendapat atau nasihat orang lain, sehingga menyebabkan narasumber enggan untuk tampil di acara yang dibawakannya kini.
Gaya interview Nana – panggilan populernya – berubah menjadi tegang dan sinis, membuat narasumber seperti bertemu dengan penyidik KPK ataupun kepolisian. Putri ulama kharismatis Quraish Shibab itu bahkan sudah mempunyai kesimpulan, sebelum acara dimulai.
Gaya wawancara Najwa Shihab mengingatkan pada jurnalis sangar Italia, Oriana Fallaci (1929-2016), populer di era 1960-1980an yang kontroversial dan agresif. Tak ragu menyerang narasumber. Orina mewawancari banyak penimpin dan kepala negara dunia yang dibukukannya dalam judul “Interview with History”
Menurut akun @kurawa, para investor dari acara yang dibawakannya pun tak suka dengan cara pembawaan Najwa Shihab yang keras kepala sehingga membuat rating acaranya turun.
“Jurnalisme itu gak harus dengan muka tegang dan sangat serius, Najwa kehilangan semuanya, sekali lagi dia kepala batu,” ujar @kurawa.
Kurawa lantas membandingkan dengan podcast milik Deddy Corbuzier yang jauh lebih santai sehingga mampu membuat salah seorang narasumbernya tertawa riang, sebuah hal mustahil terjadi di acara Najwa Shihab.
Deddy yang channel Youtube-nya — yang kini punya follower 9,5 juta subscriber — mampu mengeksplorasi pertanyaan sensitif dengan “gimmick” dan air muka yang lugu seolah-olah pertanyaan dari rakyat jelata. Sehingga Wapres KH Maruf Amin dan Luhut Binsar Panjaitan pun dengan senang hati mendatangi studionya. Juga Menko Polkam Mahfud MD dan Dokter Terawan tak khawatir penjelasannya dipotong-potong.
Tak semua acara wawancara Deddy Corbuzier saya sukai dan juga tak selalu bersetuju dengan opini narasumber yang diundangnya. Saya bisa patahkan atau abaikan. Tapi setidaknya saya sudah berkesempatan mendapat argumen utuhnya.
TENTU SAJA dengan capaian selama ini, Najwa Shihab punya banyak fans dan pendukung. Tak kurang Susi Pudjiastuti, mantan Menteri Kelautan – yang juga punya slot program talkshow di Metro TV menyebut, Nana @NajwaShihab adalah seorang profesional di profesinya.
“Seseorang disebut profesional dalam profesinya apabila dia mencintai, konsisten, ‘passionate’, memberikan dedikasi dengan semua prinsip dan integritasnya. Sebagai sesama wanita I stand for Najwa,” bela Susi Pudjiastuti.
Akun lain menyebut Najwa tak bisa dibandingkan. “It is a big disgrace when you compare Najwa to Deddy. Have some shame,” kata @andikamalxxxx.
Maksudnya; “ojo dibanding-bandingke”!
Apakah podcast, channel Youtube, produk jurnalisme atau bukan dan apakah bisa disejajarkan – memang bisa diperdebatkan. Sebagaimana dulu apakah “infotainment” produk jurnalistik atau karya hiburan semata? Biarlah akademisi dan dosen jurnalistik yang menelaah dan menjelaskannya.
Merujuk pada definisi dasarnya, jurnalisme adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa. Untuk hal hal yang menyangkut kepentingan publik.
Mengutip Adinegoro, ‘Bapak Wartawan Indonesia’ dalam buku “Hukum Komunikasi Jurnalistik” (1984), jurnalistik adalah sebuah kepandaian dalam hal mengarang yang tujuan pokoknya adalah memberikan kabar/informasi kepada masyarakat umum secepat mungkin dan tersiar seluas mungkin, kata Pak Djamaludin Adinegoro.
Sedangkan ‘podcast’ adalah serangkaian episode audio, yang berfokus pada topik atau tema tertentu dimana kita bisa mendengarkan episode kapan pun kita suka di headphone, di mobil, atau melalui speaker. Channel Youtube mempercanggih podcast dengan menghadirkan secara visual lewat video.
“Anybody can be a journalist. There are opportunities for all of us to contribute to stories” kata Susan E McGregor, Asisten Profesor dari Columbia Journalism School. Siapa saja bisa jadi wartawan. Ada kesempatan bagi kita semua untuk memberikan kontribusi bagi cerita, begitu katanya.
Masyarakat awam, yang ingin mendapatkan informasi utuh, tak pusing dengan perbedaan di antara channel Youtube hiburan atau produk jurnalistik. Mereka hanya ingin mendapat info utuh dari narasumber yang didatangkan – dan Deddy berlega hati menyajikannya. Karena Deddy cukup sabar mendengar paparan narasumbernya.
SETELAH meraih penghargaan bergengsi sebagai “Public Figure Inspiratif Terpopuler” pada ajang Indonesia Television Awards 2022 pada Kamis, 22 September 2022 kemarin, Najwa Shihab memiliki moment untuk memberikan “jawaban” atas serangan untuknya – khususnya yang jadi viral, yaitu dari Nikita Mirzani dan seorang isteri polisi.
Sebelumnya Najwa tak memberikan tanggapan ketika dikritik, kenapa sebagai jurnalis independen pilih pilih yang mau dikomentari. Mengapa Gubernur Ibukota yang habis diperiksa KPK tak dibahas? Apakah menyerang gaya hidup polisi (tanpa menyebut oknum), dalam rangka melindungi dan mengalihkan perhatian publik dari sang gubernur “kelebihan anggaran” yang habis diperiksa KPK – yang kebetulan dari etnis yang sama ? Sambar netizen dan Youtuber lain.
Dengan bukti kemenangan sebagai “Figur Inspiratif Terpopuler”, putri KH Qurais Shihab itu seakan mendpat energi dan tampil percaya diri buat ‘angkat bicara’ terkait isu yang beredar dan dunia jurnalisme.
“Teman-teman hari-hari ini, di tengah tsunami informasi dan virus dusta yang meracuni udara. Saya percaya salah satu tugas jurnalisme adalah menggaungkan suara publik,” ucap Nana. Dunia jurnalis harus berani menyuarakan kebenaran yang dianggap penting untuk publik, tegasnya.
“Ada banyak kebenaran tersebut berupa hal manis ataupun pahit, harus tetap disampaikan secara terbuka. Semuanya harus berani dibicarakan secara bersama-sama hari ini,” ucapnya.
“Dalam upaya untuk membicarakan kebenaran, selalu ada usaha untuk merobohkan nyali. Lewat intimidasi, beragam intimidasi, macam-macam bentuk intimidasinya. Tapi tujuannya selalu satu yaitu membangun rasa ngeri dan menakut-nakuti supaya kita berhenti, dan siapa pun mengalami itu, ” paparnya, di YouTube Indonesian Television Awards.
Najwa Shihab mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk bersatu agar tetap berani dalam menyuarakan kebenaran. “Mari rapatkan barisan, teman-teman. Mari saling menularkan nyali, memperjuangkan nilai integritas, toleransi, pentingnya partisipasi, nilai yang sama sama kita percaya di narasi, ” ucapnya.
“Supaya selalu ada orang-orang di luar sana, yang juga menolak berhenti dan terus berani,” katanya.
Agak kontroversial dan jadi hipokrit, memang.
Dia bicara “kebenaran” tapi memborong kebenarannya sendiri dan fasih ngomong “toleransi” – tapi cenderung “tidak toleran” terhadap opini narasumber dan masyarakat yang yang punya opini lain. ***