Bila kututurkan dengan bahasa yang verbal, bisa jadi ada ketersinggungan di antara kita, sebab setelah masa itu mulai memanas, aku dan kau mendapati kalau pilihan kita berbeda. Kau mulai menjadi sosok yang aneh di mataku. Ya kau sepertinya bukan kau. Mungkin kau juga begitu, memandang aku dalam perspektif yang berbeda, tapi itu bukan dalam hal kepercayaan. Sekali lagi kutekankan, bukan dalam hal kepercayaan. Kau dan aku tahu bahwa sejak dulu kita berbeda, dan kita tak pernah mempermasalahkannya, kita saling mengerti, saling paham bahwa di dunia ini banyak warna dan banyak kehendak. Aku tak bisa memaksamu dengan kehendakku dan kau pun begitu.
Lalu jika semua masalah bisa diatasi, mengapa sekarang persoalan yang dulu tidak menjadi prioritas, kini kian menukik tajam seolah aku maupun kau menjadi mata-mata di antara kita dan kita saling mengintai untuk mencari tahu tentang apa saja yang ada dalam diri kita, termasuk pilihan siapa yang akan menjadi pemimpin di negeri ini. Kemudian kau mulai mengulik tentang siapa teman-temanku dan aku juga begitu, mulai mencari tahu mengapa kau terikat demikian kuat pada organisasi militan yang membuatmu seolah hidup harus seperti apa yang kau dan kelompokmu inginkan. Selanjutnya aku pun demikian, bertahan dengan kokoh pada pilihanku.
Setelah itu aku terhenyak ketika melihatmu di televisi dalam sebuah demonstrasi, kau meneriakkan kata yang paling menyakitkanku, yang membuat aku semakin merana dan sedih. Kau tampak begitu beringas dan kejam. Ara, kau tahu kan apa akibatnya? Kau juga tahu tentang pilihan kita? Mengapa kau mencederai persahabatan yang sudah terjalin sejak kita kecil? Adakah yang salah denganmu atau aku? Aku bertanya, meski kuyakin tanyaku tak menggoyahkan keputusanmu, begitu pun keputusanku. Kita seri.
Akan tetapi tanya itu membuat dadaku sesak. Aku berusaha menemuimu, ingin memastikan sekaligus mencari tahu apa rencanamu menjelang awal bulan Desember nanti. Kau menanti kedatanganku dengan wajah muram. Katamu, “Kami harus mengadakan demonstrasi kembali. Ada konspirasi yang hendak menggagalkan ditahannya sang pembuat masalah. Kau sudah tahu orangnya, kau berpihak padanya, kan?” selidiknya.
Aku menghempaskan tubuhku di sofa yang ada di ruang tamunya. Sambil menarik nafas dalam-dalam kukatakan padanya, “Jika aku memilihnya, apa yang akan kau lakukan padaku? Kau akan memecatku menjadi sahabatmu?”
Ara terdiam, “Sudah kuduga. Karena kau seagama dengannya, maka kau membelanya.” Katanya ketus.
“Ara, apa yang kau maksud? Apa yang ada di kepalamu? Aku tak suka kau mengkaitkan semuanya dengan agama. Selalu agama, apakah kau sudah tahu letak surga dan neraka? Jika kau tahu baru bisa kau jelaskan tentang kesalahan di dalam pilihan bergamaku. Ingat, aku tak mau semua yang kulakukan kau kaitkan dengan agama. Agama urusanku secara vertikal dengan Tuhanku. Tak perlu seorang pun tahu, hanya aku dan Dia!”
Ara terdiam. Hanya itu yang bisa dilakukannya. Lalu ketika caci makinya dengan menyebut nama-nama binatang pada sosok pilihanku, aku terkejut dan kian terluka. Sungguh aku ketakutan dan berharap jangan sampai ia tertangkap aparat karena ucapannya itu. Tapi nasi sudah menjadi bubur, wajah Ara yang kurasa bukan Ara, tampak jelas memperlihatkan kalau dia Ara. Ah, Araku, yang diam-diam kucintai dengan sepenuh hatiku, yang tidak pernah tahu kalau aku mencintainya.
Aku juga tak ingin ia tahu, sebab di negeri dengan segala peraturan manusia yang selalu dikaitkan dengan agama ini, menikah beda keyakinan adalah hal yang tak boleh terjadi.
Manusia seolah telah menjadi perpanjangan tangan Tuhan, membuat peraturan yang ‘seolah-olah’ itu bisikan yang diberikan olehNya, bahwa cinta hanya bisa bersatu jika ada satu nakhoda di dalam satu ikatan pernikahan. Akibatnya, di sini, di negeri dengan paham demokrasi ini, banyak hati yang patah cinta karena perbedaan itu. Ara, aku sudah memikirkannya sebelum kau tahu bahwa aku selalu mengasihi dan menyayangimu.
“Jangan pilih dia Sisilia, kalau kau memilihnya maka negeri ini akan semakin terpuruk. Satu suara yang kau berikan, akan memperparah keadaan. Kau tahu dia telah menjual sebagian dari negara ini pada taipan-taipan luar negeri yang kaya raya. Melalui reklamasi pantai, melalui penggusuran rumah-rumah kumuh, melalui penebangan hutan, melalui property, semuanya habis, nanti kita akan menjadi pendatang di tanah kita sendiri. Sisil, harusnya kau berpikir sejauh itu!” katanya.
“Kau sudah melihat langsung surat perjanjian penjualan semua aset-aset negara itu? baik aset bergerak dan tak bergerak?” tanyaku sambil menatap matanya. Tajam.
Ia menggeleng, “Tapi aku yakin, seyakin-yakinnya apa yang yang kukatakan benar. Aku mendengar semua ini dari orang-orng yang patut dipercaya.” Katamu.
“Aku pun demikian,” balasku. “Aku tahu ia sosok yang baik dari media sosial, televisi, Koran dan tutur tinular dari gossip berantai.” Lanjutku.
Usai kau mengucapkan kalimat itu, kau semakin menjauh dariku. Aku seperti pengintai atau spionase yang berusaha mencari tahu di mana kau berada. Kami bagai dua aktivis partai terlarang yang mencari informasi secara rahasia, diam-diam, seolah-olah negara ini sedang dalam situasi genting. Padahal sesungguhnya, kami tengah menjadi mata-mata untuk kepuasan pribadi kami sendiri. Ara memata-mataiku apakah aku masih setia dengan calon pilihanku, dan aku pun demikian, apakah Ara telah berubah menjadi semakin militan dengan pilihannya, atau sebaliknya.
Ah perkiranku meleset, ketika ia mengikuti ‘sosok’ yang ia katakan ‘manusia suci’ itu, di suatu demonstrasi besar-besaran, aku tahu Ara memang telah berubah, dan pastinya ia pun menganggapku demikian.
Tenggorokanku terasa kering. Aku menatapnya dengan pandangan sulit untuk kupercaya, ia menjadi begitu beringas di mana keberingasan itu bagai menjalar ke seluruh wajahnya. Dan akhirnya aku melihat wajah Ara telah berubah, ia bagai mahluk keji yang sangat menakutkan. Mungkin padangan Ara padaku pun demikian, ia melihat aku semakin kejam dan wajahku berubah seperti monster ketika aku meneriakkan ‘yel-yel’ yang berkaitan dengan kampanye dari sosok yang kupilih.
“Hidup Kiki!” teriak Ara.
“Hidup Jet Lee!” teriakku.
Kami terus berteriak hingga suara parau dan letih. Ketika aku berkemas untuk pulang, Ara menghampiriku. Katanya, “Kita tunggu nanti siapa yang menang Sisil, kita tunggu!” katanya.
Aku tertawa dalam hati, Ara…Ara…mereka sedang menebarkan janji kosong, andai pun mereka-mereka menang, aku yakin menjadi Ketua Rukun Tetangga pun tidak diberikan kepada kita.
“Jadi, setelah pemilihan gubernur ini usai, aku akan menikahimu di negeri orang. Di sana kita bisa menikah tanpa harus mencantumkan kita beragama apa…” Ara mengatakan hal itu dengan tiba-tiba dan serius. Aku menahan gejolak yang mencabik-cabik perasaanku. What?! Apakah Ara sudah sinting? Tanyaku dalam hati. Atau ia sudah mengalami pencucian otak secara sistematis?
“Kau tidak salah dalam berkata-kata?” tanyaku sembari menatapnya tanpa kedip.“Kau masih bertahan dengan pilihanmu?” aku terus bertanya.
“Sssstt…jangan keras-keras biacaranya, nanti ada yang mendengar. Begini, usai pemilu ini, katanya aku akan ditawari menjadi bupati di daerah anu, kau senang, kan menjadi Nyonya Bupati?”
“Tidak.” Jawabku. “Aku hanya ingin kau menjadi Araku yang baik hati, yang pernah kukenal ketika kau masih TK. Aku tak mau mengenalmu jika kau berteriak kasar dan beringas dengan kata-kata yang tak bermoral…!” Tandasku.
Ara memegang tanganku. Dua minggu kemudian kami mendaftarkan diri di sebuah kantor catatan sipil di negeri tetangga. Kami benar-benar tak tahu siapa yang menang di pemilu kali ini. Dan kami rasa, apa yang kami lakukan sudah benar. Sebab, kami yakin seyakin-yakinnya kalau Tuhan yang kami sembah menginginkan kami bersatu, bersatu untuk menunjukkan keharmonisan di dalam berumahtangga dan bernegara.
Dan Ara? Ia sibuk bekerja, mencari uang untuk aku dan anak-anak yang akan kulahirkan kelak. “Nanti, akan kubiarkan anak-anakku memilih jalan hidup dan agama mereka masing-masing. Sebab busur telah kubetangkan, dan anak panah akan melucur sendirian, mengikuti alur kehidupan yang ia pilih. Anak panah itu manusia merdeka, merdeka dengan kehidupannya.” Katanya.
Hai…hai…Ara sayang…aku terkulai di pundaknya…
Oleh : Fanny Jonathan Poyk