Seide.id – Dalam kamus Bahasa Indonesia kata polarisasi adalah pembagian atas dua bagian (kelompok orang yang berkepentingan dan sebagainya) yang berlawanan. Yang padanan katanya sering disebut sebagai pembelahan masyarakat menjadi dua yang saling berhadapan. Tentu saja kita mengenal kata cebong, kampret, NKRI, Kadrun, PKI, Yaman, Arab dsb yang bermunculan. Dimana semakin menguatkan dominasi masing-masing kelompok, melalui buzzer-buzzer yang makin menguatkan kebencian terhadap lawan pendukungnya.
Terhitung terjadi model polarisasi identitas sudah terbangun sejak tahun 2012, 2014, 2017 dan 2019 membelah menjadi dua kelompok bermusuhan. Tentu ini tidak dapat dikatakan sebagai gimmick politik demokrasi, karena selalu muncul terus menerus dan jelas ini adalah design politik yang dibangun oleh siapa? Jelas Partai Politik tentunya.
Indonesia sebagai negara Kesatuan, jelas akan dapat terpecah jika design politik terus menerus seperti membiarkan atau bahkan menikmati situasi polarisasi identitas ini. Walau mengatakan politik identitas bukan bagian dari skenario politiknya. Namun nyatanya apa yang berkembang di masyarakat telah digunakan dalam mendulang suara selama “lima kali” dalam proses pesta demokrasi.
Indonesia sebagai bangsa yang besar, majemuk atas berbagai suku, agama, bahasa, keturunan menjadi negara Kesatuan tentu bisa luluh lantak jika model polarisasi masyarakat dibelah terus menerus oleh kepentingan politik kekuasaan, yang sebenarnya sudah memakan ratusan ribu nyawa dalam perjalanan sejarahnya.
Kita ingat peristiwa gelap yang terjadi sepanjang sejarah bangsa akibat dari polarisasi masyarakat yang semakin mengerucut tahun 1965, Orde Lama, Orde Baru, Jawasentris, Berasnisasi. Sangat lama disembuhkan, perlu proses panjang untuk rekonsiliasinya penyatuan kembali akan kesadaran sebagai anak bangsa yang hidup dalam kesatuan.
Memang bahwa tujuan akhir dari setiap Partai Politik adalah memperoleh kekuasaan sebesar-besarnya, menjadi pemenang dari setiap pemilihan. Namun memenangkan dengan cara mengabaikan tujuan persatuan, kebersamaan, kesatuan sebagai bangsa yang utuh apalagi sampai dengan aliran darah dan nyawa. Sangat perlu ditinggalkan dan masukkan dalam kotak, kunci rapat-rapat dan upaya memakai atau memanfaatkan kembali bar-bar demikian jadikan sebagai dosa tidak terampuni.
Partai Politik harus mampu meninggalkan cara polarisasi demikian, merubah menjadi Partai Pencerah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Memberikan pencerahan sebesar-besarnya untuk dapat memenangkan setiap pemilihan dalam pesta demokrasi.
Memberikan konsep-konsep ide perbaikan, kerjasama pemikiran dalam satu konsensus perasaan senasib dalam membangun kehidupan masa depan yang lebih baik sebagai sesama umat manusia, sebagai design politik.
Demikian juga kandidat tokoh pemimpin, juga jangan berdiam diri menikmati yang terjadi seperti menanti di tikungan untuk menang. Kandidat Tokoh harus mampu melahirkan pemikiran-pemikiran cerdas, ide-ide yang jelas terukur, teruji rekam jejaknya tidak hanya mampu berbicara namun sungguh terbukti bekerja bagi kemajuan bangsa dengan mengorbankan dirinya untuk masa depan bangsa yang lebih baik.
Dalam hal ini tentu tidak baik para kandidat tokoh calon dalam Capres, hanya mengatakan akan Meneruskan Yang Dikerjakan Jokowi, namun membiarkan potensi kerusakan terjadinya polarisasi identitas. Bahwa meneruskan segala hal yang baik dari pemimpin sebelumnya, sudah diamanatkan oleh undang-undang. Tidak perlu dikatakan lagi.
Tokoh-tokoh calon penurus kepemimpian bangsa, tentu tidak bisa dibenarkan hanya menerima “Warisan Kebaikan” tanpa berbuat apa-apa, tanpa ada memberikan ide-ide solusi yang konstruktif bagi kemajuan bangsa, tanpa rekam jejak yang teruji.
Bukan membiarkan atau malah menikmati semakin kuatnya dua kelompok kebencian, untuk kemudian memenangkan pemilihan. Bukan demikian caranya.
Masyarakat sangat perlu diberikan edukasi pencerahan politik. Waktu seperti berkejaran antara penguatan kebencian versus penguatan pencerahan dalam menuju 2024. Tentu kita semua berharap yang terbaik yang menang adalah Pemimpin Yang Mencerahkan.
Partai Politik dengan seluruh jajarannya harus bekerja keras menghimpun crowdfunding sebesar-besarnya yaitu dari masyarakat, dan tidak hanya mengandalkan dari Donatur Yang Baik Hati saja bagi perjuangan politiknya. Sehingga oligarki adalah bumbu penyedap dan bukan menu pokok energi perjuangan.
Segala potensi yang dimiliki baik adanya Figure Tokoh, Partai Pendukung, Aset Media harus mampu dipakai untuk memberikan pencerahan politik sebagai design bangunan politik perjuangan. Karena ini adalah modal dalam membangun masa depan baik selaku Tokoh, Partai Politik.
Waktu masih ada tanpa harus menunggu saat kampanye yang hanya beberapa bulan diberikan oleh KPU. Bekerjalah dari sekarang untuk terus menerus memberikan pencerahan, dan meninggalkan persembunyian dibalik tikungan untuk menang dari adanya dua kelompok permusuhan. Bahwa meneruskan apa yang baik, adalah keharusan dan bukan modal politik warisan.
Kita semua berharap adanya pencerahan yang membangun kebersamaan dan tidak malah mengembangkan apalagi berkontribusi aktif memperkuat kebencian. Waktu masih ada walaupun semakin sempit akibat sejak 2012 design pembelahan dimulai.
Tahun 2024 harus menjadi tonggak bagi ketahanan dan kemajuan bangsa Indonesia.
Dan Partai Perindo yang dari namanya tercermin sangat mengedepankan Persatuan Indonesia, tentu akan berjuang dengan segenap daya upaya memberikan pencerahan, perbaikan, pembelaan untuk semua kebaikan dan pencapaian masa depan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat bangsa dan negara.
Penulis : Jeannie Latumahina*
Ketua Umum Relawan Perempuan dan Anak Perindo