Benarkah Puisi Bisa Bikin Baper?

Seide.id – Seorang teman penyair Leli dari Solo memberikan komentar ini terhadap salah satu puisi saya yang pernah diposting beberapa waktu :

Leli:
Kata kata yang tertulis begitu puitis…saya kadang heran koq bisa ya laki laki seromantis dokter tanpa kesan gombal.

Komentar seorang lelaki untuk puisi saya:
Marzuki Pasaribu: Sesak napas maunya puisi ini jgn berakhir pa dokter.

Sebuah puisi saya berjudul “Kita Hanya Bisa Menanti Ketika Tahu Musim Pasti Berganti”, mengundang beberapa komentar. Ini puisi sendu, barangkali setiap pembacanya bisa ikut merasakannya, bahkan mungkin menjadi tersentuh. Sebagaimana kita maklumi, setelah puisi dilahirkan, dia menjadi milik semua orang, dan bebas dikagumi, dicintai, atau mungkin tidak disukai. Dia hadir seorang diri, tak seorang bisa membelanya, termasuk penyairnya sendiri.

Kalau saya mengutip sebuah komentar sebagaimana tertulis di atas, karena saya merasa ada paradoks. Ternyata seorang lelaki bisa ikut trenyuh pada puisi saya yang satu ini. Dan lelaki ini seorang suku Batak, maaf, yang dalam citra kita bukan sehalus suku Jawa, Solo khususnya. Maka terasa janggal kalau ada lelaki, dan Batak pula yang bisa ikut trenyuh dengan puisi, itu suatu yang istimewa, dan luar biasa. Bahwa lelaki Batak tentu bukan tanpa berperasaan. Saya kira soal berperasaan semua orang sama. Tentu juga bisa berperasaan halus seperti suku lain, karena ini soal manusia.

Sebagaimana lazim puisi melankolik romantik saya duga, bukan untuk menyombongkan diri, kebanyakan disukai oleh kaum ibu, wanita pada umumnya. Bisa beratus yang mampir dan memberi komentar.

Mereka mengaku bisa trenyuh, bahkan ada juga yang mengaku bisa menangis membaca puisi saya. Dan itu saya kira bentuk sentuhan sebuah puisi, dan di balik itu saya yakin puisi tidak memaksa untuk harus bagaimana pembacanya menjadi.

Sekali lagi ini hanya untuk fun saja, kalau saya sengaja angkat kasus ini. Bukan hendak menafikan bahwa orang Batak kurang tajam berperasaan, karena nyatanya bisa sama halusnya dengan semua pembaca yang sudah mengalami hal yang sama pada puisi yang sama.

Handrawan Nadesul

Terjatuh Itu Human Error