Bengkok Seruas

CERPEN OLEH : NADJIB KARTAPATI Z

Hujan masih merintik ketika saya sampai di gardu penjagaan. Ternyata belum tampak seorang pun peronda. Saya mengumpat sendiri dalam hati. Mantel saya tanggalkan dan saya melemparkannya ke pojok bangku. Segera saya menyulut sebatang rokok sebagai usaha mengusir dingin. Dan hujan yang sudah merintik itu kembali mendahsyat lagi. Harapan saya sebentar lagi akan datang kawan-kawan peronda, semakin buyar. Dalam cuaca begini tentu saja mereka lebih senang menenggelamkan tubuhnya ke dalam selimut. Diam-diam saya menyadari betapa rendahnya kesadaran warga kampung dalam soal ronda malam.

     Pelahan-lahan timbul penyesalan saya kenapa saya mau tinggal di kampung yang rawan ini. Kalau saja tidak karena didorong-dorong Amir, sahabat saya, mustahil rasanya saya mau kontrak rumah di sini. Dalam pandangan saya, kampung ini tampak benar-benar kotor dan jorok. Di sepanjang gang anak-anak kecil buang hajad seenaknya. Para ibu membuang sampah di mana-mana. Dan kejorokan ini membudaya pula dalam sistem pergaulan. Para muda-mudinya bebas bergaul tanpa malu-malu. Dalam empat bulan ini saya sudah mendengar tiga gadis hamil sendiri. Gawat!

     Hati saya semakin kecut saat dua batang rokok ludes masih saja tidak ada kawan peronda yang datang. Arloji di lengan saya menunjukkan pukul 00.00 tengah malam. Tiba-tiba saya melihat dua anak tanggung berlari-lari dalam deras hujan. Mereka berpaling ke arah saya tetapi terus saja berlalu. Saya mengira mereka baru pulang dari nonton film di gedung bioskop atau kongkow-kongkow di rumah kawannya. Sebab kedua anak tanggung itu saya kenal sebagai “kelelawar”.

     Beberapa menit kemudian kedua anak itu berlari-lari ke arah gardu pos penjagaan. Hati saya berbunga. Paling tidak, saya mendapat teman ngobrol.

     “Jaga, Om?” sapa seorang di antaranya dengan ramah.

     “Ya. Tapi sial, sampai jam duabelas tidak ada kawan yang datang,” jawab saya dengan ekspresi kesal.

     “Ya, sudah, Om, sekarang kami temani,” sahut yang satunya.

Saya keluarkan sebungkus rokok yang baru saya ambil dua batang. Mereka segera menyambut dengan kegirangan sambil mengucapkan terima kasih. Untuk selanjutnya kami pun merokok bersama-sama.

     “Hujan-hujan begini kok begadang, Dik?” tanya saya berbasa-basi.

     “Waow, malam ini ada acara seru, Om. Hebat deh! BF pokoknya!”

     “Ha? BF? Blue Film maksud kalian?” tanya saya bersemangat.

     “Iya, Om. Ada perempuan bengkok seruas!” lanjut satunya.

     “Bengkok seruas? Apa artinya perempuan bengkok seruas itu?”

     Mereka tertawa cekikikan. Saya semakin penasaran saja dibuatnya. Saya ulangi pertanyaan saya dengan lebih saya tekankan.

     “Bengkok seruas itu ‘kan begini, Om?” ujar salah seorang dengan membengkokkan seruas jari telunjuknya.

     Saya mendelong tidak mengerti.

     “Jelasnya perempuan serong, Om. Perempuan selingkuh!” timpal yang satu dengan wajah setengah serius setengah bercanda.

     “Ooo,” sambut saya terperangah. Sialan benar, anak muda memang kaya ungkapan. “Jadi maksud kalian ada perempuan berbuat serong?”

     “Benar, Om. Dia istri Bang Amir!”

     Blass! Langsung saja saya raba dada saya lantaran jantung saya merasa seakan copot dari gantungannya. Benarkah pendengaran saya barusan?

     “Istri Amir berbuat serong dengan lelaki lain maksudmu?”

     “Ya, begitulah, Om. Yang asyik, partnernya justru masih ingusah, Om. Serem deh pokoknya!”

    Hati saya menggemuruh bagai magma gunung berapi. Akan tetapi saya masih sangsi dengan kebenaran infomasi yang saya dengar ini. Jangan-jangan kedua anak tanggung ini cuma guyon. Namun ketika saya desak dengan berbagai pertanyaan, meraka bahkan bersemangat untuk bercerita panjang-lebar. Mereka mengatakan bahwa sudah lebih tiga kali mereka mengintip. Kesempatan itu terjadi sewaktu Amir pergi kerja lembur, demikian ungkap mereka. Dan mereka melanjutkan bahwa malam ini kemungkinan besar peristiwa itu akan terulang kembali. Dan ketika saya tanya dari mana mereka tahu bahwa malam ini akan “main” lagi, mereka menjawab bahwa mereka melihat si Amir lagi pergi ke luar kota. Aku mengangguk-angguk keheranan.

     “Sudah mulai jam sembilan tadi anak lelakinya kelihatan mondar-mandir di sekitar rumah Bang Amir,” kata mereka hampir bersamaan.

     Ketika hujan mulai mereda, kedua anak itu saya ajak menyelidiki suasana rumah Amir. Ternyata ramalan mereka tidak meleset. Kami mengintip dari celah-celah dinding kamar. Saya melihat istri Amir sedang “play” dengan anak tetangga, meskipun pandangan saya jadi kabur lantaran dahsyatnya gejolak emosi saya. Ya, Tuhan! Mereka sungguh berani! Betapa tidak! Mereka berbuat mesum di atas tikar di bawah ranjang, sementara di atas ranjang dua anak Amir yang masih kecil itu tertidur pulas.

     “Om, yuk kita dobrak saja!” usul kedua pemuda gondrong ini.

     Saya sudah hampir menyetujui ajakan mereka. Kemurkaan saya sudah benar-benar memuncak. Sebagai suami, saya merasa ikut dikhianati. Sementara suaminya pergi kerja, di rumah istrinya memasukkan lelaki. Bejad! Ini sungguh perbuatan binatang yang tidak bisa lagi ditolerir. Di atas semua itu, Amir adalah sahabat akrab saya, bahkan sampai ke tingkat seperti saudara sendiri.

     Akan tetapi, sisi lain dari batin saya memprotes keras. Saya tahu persis watak Amir. Keras, cepat marah, dan kurang berpikir. Kalau sampai dia tahu akan kasus ini maka bukan mustahil rumah tangganya bakal berantakan. Amir tentu akan marah dan menceraikan istrinya. Maka tak ayal kedua anaknyalah yang akan menjadi korban. Dan saya tidak tega bila anak-anak kecil yang tak berdosa itu jadi sengsara. Tiba-tiba saya merasa ikut bertanggung jawab dalam masalah ini. Dan saya harus bisa mengambil satu langkah bijaksana, setidak-tidaknya daripada mendobrak rumah Amir dan menyerahkan mereka ke RT atau kepala desa.

     “Tidak usah, Dik!” kata saya. “Peristiwa ini kita tutup sementara. Kalau kita gerebek, akibatnya tidak kecil. Kasihan keluarga Amir.”

     Kedua pemuda gondrong itu tampak terbengong. Agar tidak terlanjur salah tafsir terhadap seruan saya, segera saya beri mereka pengertian macam-macam. Syukurlah bisa menerima saran saya.

     Di rumah, saya gelisah setengah mati. Saya tidak tega membiarkan kebejadan itu berlarut-larut. Tetapi jika saya laporkan peristiwa itu kepada Amir, tentu ia tersinggung dan marah, plus rasa malu karena harga dirinya jatuh di mata saya. Saya khawatir kalau karena itu Amir lantas menceraikan istrinya, dan itu artinya malapetaka bagi kedua anaknya. Martabat dan harga diri Amir sebagai suami pasti merasa diinjak-injak oleh pengkhianatan istrinya itu.

     “Kenapa kamu ngelamun mulu?” tanya istri saya, membuat saya terkejut. 

     Saya segera menyembunyikan keterkejutan itu seolah tidak terjadi apa-apa. 

     “Ah, enggak! Saya Cuma merasa prihatin terhadap lemahnya kesadaran warga kampung ini. Semalam saya ronda seorang diri…” jawab saya.

     Istri saya begitu mudah percaya, bahkan ia menimpali ucapan saya dengan seruan agar saya tidak perlu ke luar beronda minggu depan.

     Sebelum saya berhasil menemukan jalan kebijaksanaan buat keluarga Amir, sahabat saya, saya memutuskan agar selalu berusaha mencegah peristiwa bejad itu. Konsekuansinya, saya harus senantiasa keluar rumah setiap malam untuk mengawasi gelagat si anak tetangga yang makan tanaman orang itu. Usaha saya ini berhasil. Si anak tetangga tidak mempunyai kesempatan karena selalu kepergok diri saya. Saya prihatin juga atas sikapnya, tetapi sekaligus bersyukur.

     Lima hari berjalan dengan aman, sebab lima hari itu pula saya selalu ke luar rumah. Tetapi akhirnya saya pikir bahwa saya tidak bisa berbuat begitu tiap malam. Dan saya jadi panik kembali saat Amir menghubungi saya.

     “Maaf, saya nggak bisa kamu ajak ke rumah Rizal malam nanti. Saya kena giliran lembur lagi,” katanya menolak ajakan saya jagong bayen di rumah Rizal, sahabat kami

     Dan kepanikan saya itu sempurna bentuknya saat siang harinya kedua pemuda gondrong itu memberikan informasi kepada saya.

     “Om, nanti malam kawan-kawan siap meng-gerebeg. Si pencuri itu tentu akan menjalankan roll-nya, sebab kami tahu Bang Amir kerja lembur.”

     Saya tak bisa berkata apa-apa. Kepala saya segera saja nyut-nyutan. Rupanya anak-anak muda kampung ini sudah saling sepakat. Ah, begitu cepatnya mereka tahu. Namun, anehnya, kenapa Amir sendiri belum mencium sampah busuk di rumahnya? Saya jadi pusing tujuh keliling. Nanti malam tentu terjadi kegemparan di kampung ini, dan akan disusul selanjutnya dengan kegemparan perceraian. Alangkah malangnya kedua anak kecil mereka.

     Saya berpikir keras untuk mencegah bencana itu. Akhirnya saya menemukan ide. Segera saya tulis dua buah surat kaleng masing-masing untuk istri Amir dan anak tetangga itu. Untuk istri Amir saya katakan dalam surat kaleng saya, bahwa sejumlah warga sudah mencium tindakan perselingkuhannya. Para tetangga bersepakat hendak mengadu kepada Amir jika perbuatan itu masih saja dilakukan. Selebihnya saya memberikan banyak nasihat, mengingatkan bahwa anak-anaklah yang menjadi korban bila ayah dan ibu mereka bercerai. Terakhir, saya memohon supaya perselingkuhan itu diakhiri saja.

     Sementara itu, surat untuk anak tetangga, isi surat kaleng saya bernada mengancam. Saya tandaskan bahwa jika ia tak mau menyudahi perbuatannya yang melanggar susila itu, kami atas nama warga kampung tidak segan-segan lagi akan meng-gerebeg-nya. Nanti malam warga kampung sudah siap menangkapmu, demikian tulis saya dalam surat. Dan saya katakan pula bahwa setiap ia melakukan hubungan itu, kami selalu saja mengintipnya.

     Mula-mula saya kebingungan juga bagaimana saya harus mengirim surat-surat ini. Akhirnya saya dapat akal. Saya menyuruh anak kecil yang kebetulan lewat di depan rumah saya. Ia saya suruh menyampaikan langsung kepada pihak yang bersangkutan, dan saya pesan agar tidak sekali-kali bilang bahwa surat itu dari saya.

     “Katakan bahwa surat ini dari orang yang tidak kamu kenal,” kata saya me-wanti-wanti. Dan anak itu menyanggupi setelah saya beri uang yang jauh lebih besar dari uang sangunya ke sekolah.

     Hati saya jadi tenteram meskipun saya tidak tahu apakah  surat kaleng saya itu benar-benar disampaikan atau disobek di tengah jalan. Saya hanya berdoa semoga anak itu bertanggung jawab atas tugasnya.

     Pada malam harinya sengaja saya tidak keluar rumah, tetapi saya juga enggan tidur. Detik demi detik berlalu dengan menegangkan, seolah-olah ada yang sedang saya tunggu. Berbatang-batang rokok habis saya hisap. Berulang kali saya membentak istri saya manakala ia menyuruh saya tidur. Hati saya terus-menerus digerayangi kekhawatiran, jangan-jangan kampung tiba-tiba gempar dengan adanya peng-gerebegan atas istri Amir. Setiap bunyi yang datang dari luar rumah selalu membuat hati saya berdebar-debar.

     Tiba-tiba apa yang saya takutkan itu terjadi. Di luar terdengar suara yang cukup riuh. Saya mendengar langkah beberapa orang berlari sambil berteriak-teriak. Dan saya mendengar pula jerit lelaki meminta tolong. Lalu saya mendengar semacam suara pukulan. Si anak tetangga itu sedang dikeroyok, pikir saya dengan jantung meledak-ledak.

     Tanpa pikir lagi saya langsung meloncat membuka pintu. Saya berlari ke arah keributan itu terjadi. Beberapa lelaki berkerumun. Suasana jadi hiruk-pikuk. Sinar senter bersilangan dari segala penjuru. Saya belum lagi berhasil membelah kerumunan orang-orang itu, seorang pemuda sudah berkata kepada saya keras-keras, “Mas Amir tertangkap basah berselingkuh dengan Mbak Lasih!”

     Tuhan seru sekalian alam! Jantung saya seakan berhenti berdetak. Di tengah kerumunan saya lihat Amir dan janda bernama Lasih itu berjongkok dengan pakaian yang kocar-kacir. Wajah Amir tampak muram. Dari mulutnya mengucur darah kental. Sementara wajah janda Lasih kelihatan pucat, pias bagai kertas. Rambutnya acak-acakan. Keduanya begitu lusuh dan kotor, sakan menjadi potret desa ini secara psikologis.

     Pamit kerja lembur ternyata lembur di rumah janda. Tepat juga kalau disebut “bengkok seruas”. Saya hanya bisa mengucap istigfar kepada Allah, meski dengan tengkuk yang merinding.

Pati, Desember 1981