Cerpen ini kupersembahkan sebagai rasa duka dan simpatiku pada peristiwa di Mako Brimob dan gereja-gereja di Surabaya, juga keluarga dan para korban yang tewas… ( Fanny J Poyk)
BOM
Malam yang benar-benar pekat, mempercepat detak jantungku tatkala kubuka pos-el di laptopku, ada tulisan dari seseorang yang mengaku bernama Tuhan. Jenis kelaminnya tak disebutkan, apakah ia laki-laki atau perempuan. Orang aneh, pikirku. Malam semakin berkuasa untuk memerintah jemari agar lebih giat menggerakkan mouse di layar laptopku. Ketika ujung telunjukku kembali membaca apa yang dituliskannya, aku terhenyak, jantungku berdetak cepat, bunyinya dug…dug…seperti irama house music yang menghentak keras.
Telunjukku seolah tak mau lepas dari mouse yang ada di sebelah kanan laptopku, tanda panah yang ada di layar laptop, berjalan meliuk-liuk ke arah huruf-huruf yang ada di pos-el itu. Tanda kursor itu seperti mempermainkanku. Lalu tepat di kata ‘bom’ tanda itu berhenti. Tak lama muncul lanjutan dari kata itu; Waspada, tiga gereja akan kuledakkan, tertanda, aku, Tuhan!
Astaga. Aku menarik nafas sejenak. Degup yang tadinya sudah kuanggap kencang, kini semakin tak beraturan. Nama gereja yang ditulis di situ jelas, baru beberapa jam yang lalu bom diledakkan di sana, empat orang tewas. Aku menatap layar laptop dengan mata nanar. Dia memperkenalkan diri dengan nama Tuhan, dan dia sudah melaksanakan tugasnya. lalu aku berusaha mengangkat telunjukku, berpindah tempat mencari berita tentang pengeboman itu di saluran lain. Namun kurasakan ada tenaga maha dahsyat yang menahannya, seolah dia mematri telunjukku untuk terus memantau apa yang akan ditulisnya lagi.
Tanda panah di layar laptopku itu masih melayang-layang, tak berpijak dari pos-el sosok yang mengaku bernama Tuhan.
Kemudian kujawab tulisannya dengan sebaris kalimat tanda tanya di ujungnya. “Mengapa kau melakukan semua itu? Mereka yang mati tidak bersalah, mengapa?”
Dengan cepat ia menjawab, “Tak ada yang kusesali dari semua itu. Usai tugasku ini, aku akan menghadap Tuhanku, duduk bersamanya di surga yang abadi. Dunia ini sudah penuh onak juga duri. Aku lelah menderita.Beruntung aku bisa memantau alamat pos-elmu. Jadi, jika kau akan ke mana-mana, hubungi aku dulu agar aku bisa memberitahumu apa yang akan terjadi ke depannya, dengan begitu kau akan menjadi lebih hati-hati. Ingat namaku Tuhan, kau tahu kan seperti apa kekuasaan Tuhan?”
Tanda panah kursor itu terhenti di ujung kalimat, lalu muncul gambar boneka tersenyum dengan garis bibir menyeringai di ujungnya. Wajah boneka itu terlihat jelas, sangat jelas. Lalu gambar seorang perempuan dengan daging yang tercerai-berai ia kirim ke layar.
Sakit jiwa! Teriakku. Kali ini telunjukku bisa kuangkat. Aku memijit-mijitnya sekejap, rasa kesemutan tertinggal di ujungnya. Aku merasa ngeri bercampur takut. Ketika aku hendak mengangkat bokongku, saat pergelangan tanganku menjadi tumpuan dari seluruh tubuhku, beberapa kalimat yang lumayan panjang muncul lagi di pos-elku. Nada kalimatnya masih sama, serius dan disertai dengan nada ancaman. Tulisnya, “Setelah peristiwa di Marawi, Filipina juga di Mako Brimob, aku tidur sejenak, untuk sementara tak ada gelombang panas yang menghentakkan negeri ini. Tapi hati-hati, itu bukan berarti aku dan teman-temanku diam, kami sedang menyusun strategi. Banyak orang tak bersalah akan mati, seperti yang sudah-sudah, aku membebaskan mereka dari penderitaan, camkan itu, aku Tuhan…”
Entah ancamannya akan terjadi atau tidak atau apakah dia sudah mati atau masih hidup, dan mungkin ini hanya gertak sambal belaka, aku tidak boleh menganggapnya remeh, khususnya pada kalimat yang tertulis di laman pos-elku. Harus ada solusi untuk mencari tahu siapa sosok yang berada di balik nama Tuhan. Tidak boleh gegabah menuduh, sebab sedikit salah berkomentar maka akibatnya fatal. Atau bisa jadi ini sebuah perangkap yang datang dari berbagai kalangan dan berbagai kepentingan tersamar dari orang-orang yang tidak menyukai pemerintahan ini juga statusku-statusku di Facebook. Kuakui, aku kerap menulis status bernada satire pada lawan-lawan politik yang tak kusuka. Terkadang aku malah mengejek mereka dengan gambar-gambar yang kuanggap mewakili rasa tak senangku. Terkadang pula aku bagai ahli di dalam menganalisis perkembangan politik yang ada, padahal sejujurnya aku hanya banyak membaca beragam berita benar atau tidak dari beberapa postingan di internet, lalu kutuangkan dalam bentuk opini yang kuanggap benar. Mungkin saja postingan itu hoax, tapi aku suka sekali bermain dengan kata.
Melihat peristiwa pengeboman yang ditulis orang yang mengaku bernama Tuhan itu, aku lalu teringat akan kiprah para teroris di beberapa negara yang sekarang tengah garang-garangnya melakukan penyerangan, entah itu pada musuh yang terlihat, atau pada orang-orang sipil yang tak berdaya. Aku lalu teringat dengan artikel yang pernah kutulis di sebuah koran ibu kota tentang strategi perang kaum radikalisme dan cara-cara mereka merekrut anggota. Tulisan itu memang bernada subyektif, seperti pemikiranku yang sudah terbentuk untuk membenci segala hal yang berkaitan dengan radikalisme hingga mengarah pada pencucian otak untuk melaksanakan bom bunuh diri.
Mungkin saja, ya mungkin saja ada yang tak suka dengan artikel itu, hingga ia mencari alamat pos-elku, lalu memakai nama Tuhan sebagai namanya. Atau nama itu telah menjadi semacam nama baru dari organisasi yang dibentuknya, lalu ia mencari link secara acak untuk mengumumkan aktivitas organisasi mereka dan kebetulan pos-elku yang menjadi sasaran? Pertanyaan itu semakin menjadi-jadi dan berputar-putar di benakku. Ia telah menjadi semacam chip yang dimasukkan ke bawah kulitku dan memantau serta mengikuti ke mana aku pergi. Setiap hari, paling tidak sepuluh surel dari sosok yang bernama Tuhan itu memenuhi wallku.
Benarkah ia sudah mati? Atau ini hantukanyakah? Gundah dan gelisah mulai menerjang pikiranku. Satu-satunya jalan memang membuat alamat pos-el baru. Namun, apakah itu harus? Apakah aku musti mengalah dengan sosok sakit jiwa yang mengaku selalu hendak mengguncang dunia, lalu bertemu dengan puluhan bidadari dan masuk surga? Ah, benar-benar manusia sakit.
“Kau juga sih yang cari perkara. Kau ingat peristiwa seorang dokter di daerah Sumatera Barat yang diusir warga sekampung gara-gara tulisannya di laman Fb?” Bima teman sekantorku berkata.
Aku tercenung. Rekan-rekan sekantor seakan menjadi hakim yang menjatuhkan vonis sepihak, menghujam ke batok kepalaku sehingga aku tak bisa tidur semalaman. Apakah ini berarti pembunuhan karakter mulai bermain dan akhirnya membuat aku menjadi paranoid, lalu berpikir dengan penuh rasa cemas bahwa sosok yang mengaku bernama Tuhan ini, sengaja datang dan akan membuatku gila?
Hari ini akan ada banjir tangis dan air mata di sebuah gereja, tulisnya.
Gereja mana? Hei kau, jangan membuatku cemas dan tidak bisa tidur!
Benar, tunggu saja! Tapi ingat, jangan kau tulis dulu berita ini di status Fb-mu. Aku tak suka, salamku Tuhan…
Aku duduk mematung dengan tatapan satu arah ke layar laptopku. Menunggu pos-el masuk dengan jantung berdetak cepat. Mahluk yang bernama Tuhan ini seolah mempermainkan perasaanku. Ia tahu aku sedang gemetar bercampur cemas, ia juga tahu ketika air mataku mulai mengambang di pipi.
Tuhan, panggilku pada sosok yang kusembah. Jangan biarkan mahluk yang memakai namaMu itu benar-benar melaksanakan niatnya. Entah dia siapa, gagalkan segala rencananya. Gagalkan ya Tuhanku!
Aku Tuhan! Kau tak bisa mengadu kepada Tuhan yang lain. Apa yang sudah kutulis ke padamu itu akan menjadi nyata. Kau hanya manusia biasa yang terdiri dari daging dengan pikiran dangkal yang tidak melihat bahwa hidup ini absurd dan penuh perjuangan. Kau sendiri tak tahu apa itu arti perjuangan. Bagiku perjuangan adalah pengakuan, pengakuan bahwa apa yang aku lakukan benar dan tak ada yang salah. Kau menyangkali eksistensiku. Lihat saja nanti apa yang akan kulakukan!
Nanar mataku memandang berita tiga gereja dibom itu. Empat orang yang tewas dan daging yang berceceran adalah bukti nyata bahwa ia memainkan perannya. Semua itu terpampang jelas di layar laptopku.
Mengapa kau lakukan ini? Tulisku dengan jari jemari yang gemetar.
Sudah kukatakan kalau aku Tuhan. Mengapa kau masih meragukan kemampuanku?
Perbuatan Tuhan tidak seperti ini, Ia penuh kasih sayang dan cinta.
Kau tahu mengapa manusia selalu menganggap aku demikian? Kasih sayang dan cinta hanya dimiliki oleh orang-orang sesat yang menyangkal keberadaan dua kata itu. Mereka tahu bahwa hidup di dunia ini tak selalu nyaman, tak selalu indah. Ketika bayi pertama kali muncul di dunia, tangis yang ke luar adalah tangis penderitaan. Seumur hidupnya ia harus menanggung derita itu. lalu jika hidup ini hanya untuk memikul penderitaan itu, buat apa seseorang harus hidup? Lihat mereka yang hidup mewah, korupsi dan ketimpangan-ketimpangan lainnya, dari sekian puluh juta orang yang ada di dunia ini, mereka berjuang keras untuk bisa hidup. Manusia hidup harus makan tiga kali sehari, jika tak ada makanan mereka merampok dan membunuh. Jadi, dari pada semua itu selalu dan selalu terjadi, maka nyawa yang ke luar dari tubuh adalah pilihan terbaik. Aku telah menuntaskan semua itu. Ingat, kalimat terakhir ini kurasa sebuah diksi yang bagus, kau bisa menulisnya di laman Fb-mu. Oke baiklah, aku pergi sekejap, usai dari gereja yang hancur lebur itu, aku hendak mencari tempat lain yang kurasa cocok untuk kuledakkan lagi.
Akhirnya aku menangis sejadi-jadinya. Malam sunyi ketika sepi memberikan rasa gigil. Sebuah berita kubaca di Youtube, seorang perempuan telah memasang bom di tubuhnya, lalu meledakkannya tanpa rasa takut. Ia hanya menarik pemantik lalu “Dhuarrr!” bumi berguncang, nyawa melayang dan dunia membisu.
Tangisku belum berhenti. Kuteliti nama si pembawa bom di antara linangan air mata. Ia perempuan yang tinggal di ujung gang dekat rumahku yang telah menjadi teman sepermainanku sejak kanak-kanak. Perempuan yang selalu mengirimiku pos-el. Perempuan yang selalu membujukku untuk menerima lamaran seorang lelaki berjubah, bertutur santun, berhidung mancung, berwajah tampan. Lelaki yang berasal dari salah satu negeri di Middle East. Lelaki itu, konon sudah merekrut puluhan perempuan Indonesia yang polos dan lugu, seperti Siti Aminah, gadis teman baikku yang mengirimku pos-el dan mengaku bernama Tuhan…
(Fanny Jonathan Poyk)