Budi Pekerti, Film tentang Viral, Moral, dan Siapa yang Disalahkan

budi pekerti01

“Apakah cuma karena video 20 detik, 20 tahun pengabdian Ibu jadi guru akan hancur?” – Tita. “Salah atau benar cuma perkara yang paling banyak ngomong!” – Muklas

Oleh IVY SUDJANA

SAYA meyakini kalimat-kalimat itu akan kelak menghantui benak penonton usai menyaksikan film Budi Pekerti. Karya Wregas Bhanuteja, sutradara muda dari Yogyakarta ini menjadi fenomenal, bukan hanya karena mendapat titel official selection di Toronto International Film Festival 2023, SXSW Sydney 2023, Taipei Golden Horse International Film Festival 2023, juga Opening Jakarta Film Week dan 17 nominasi untuk FFI 2023 mendatang.

Budi Pekerti menjadi fenomenal karena berkisah tentang guru, tanpa menggurui. Impresi yang saya peroleh bukan karena saya sudah menonton filmnya, hanya pernah menikmati trailernya.

Namun, saya beruntung mengikuti talkshow online Generation Girl dan Pengajar Belajar yang mengupas film ini bersama Wregas Bhanuteja, sang sutradara dan L. Aprillana Wiwit W, guru BK SMP Stella Duce 1, Yogyakarta; yang dulu juga menjadi guru BP selama sang sutradara belajar di SMP tersebut.

Perbincangan dalam ruang maya itu mulai menghangat ketika Wregas Bhanuteja justru banyak berbagi bagaimana proses belajarnya di SMP, terutama apa yang dididik Bu Wiwit dulu.

Salah satunya adalah ketika mengikuti pelatihan dasar untuk menjadi anggota OSIS. Sebut saja permainan memindahkan sejumlah kelereng dengan sebilah kecil triplek sejauh 100m, salah satu ladang belajarnya tentang bertanggung jawab. Sebuah tugas yang sepertinya muskil, tetapi sesungguhnya bisa disiasati.

Tedja, panggilan untuknya dari Bu Wiwit saat itu begitu bersemangat, dan memindahkan sekaligus semua kelereng, yang berakhir nyaris semuanya terpental ke segala arah, dan tersisa dua butir kelereng saja.

Permainan itu mengajarkan Teja dan teman-teman memahami diri dan bertanggung jawab. Ketika dibebankan pekerjaan, seberapa sanggup kita menyelesaikan pekerjaan, belajar mengukurnya juga semampu apa untuk menyelesaikan. Tidak sok-sok-an mengambil semua, lalu terbengkalai.

Lalu, Teja juga bercerita tentang aktivitas bermakna lainnya. Ada tantangan, sepiring besar makanan yang perlu dibagi bersama 15 anggota kelompok. Awalnya limabelas anak langsung menggunakan logika, secara teliti membagi-bagi lauk menjadi potongan kecil-kecil, demikian juga sayurnya. Tetapi mereka jadi kesulitan sendiri, bagaimana proses memakannya.

Akhirnya Bu Wiwit memberi contoh untuk saling mengoper piring satu sama lain, di mana dalam proses tersebut diyakini setiap yang makan dari yang pertama dan seterusnya hanya akan menyuap secukupnya agar semua kebagian. Cara berbagi tersebut kata Bu Wiwit disebut berbagi dengan hangat, berbagi dengan kesadaran untuk berbagi.

Insight yang didapatkan Wregas Bhanuteja saat usia SMP itu justru tertanam betul hingga sekarang. Termasuk ketika memproses beberapa film yang punya value yang berbeda, seperti halnya film terbarunya, Budi Pekerti.

Ketika pemutaran di kota kelahiran Wregas, Yogyakarta, rata-rata reaksi penonton seperti ini. “Relate untuk dunia sekolah, dan guru BP seperti kami, yang kadang jadi berpikir ulang tentang tindakan yang diambil karena cemas nanti diviralkan”, “Menontonnya serasa menyelam ke dalam dunia anak-anak”, “Film yang relate utk gen Z, yang apa-apa viral”, “Ini cocok banget untuk film keluarga”, “Film ini mengingatkan utk bijak menjadi netizen”, dsbnya.

Tak heran, memang karena kondisi terkini masyarakat adalah mau terkenal dengan viral. Meski sederet pasal UU ITE telah dibuat sebagai ‘ancaman’, tetap saja siapapun senang sembarang merekam tindak tanduk orang lain untuk menjadi konten.

“Film ini merekam orang sedang marah-marah, tak seperti konteks yang terjadi, tapi disebarkan. Lalu, netizen menuntut orang tersebut minta maaf, termasuk menghakimi juga bahwa sebagai pendidik, hal itu tidak benar. Padahal netizen tidak tahu kejadiannya sesungguhnya seperti apa,” ujar Wregas men-spill sekilas tentang film ini.

“Budi pekerti itu seperti pikiran berkesadaran. Perlu ada regulator untuk mendampingi segala info media sosial yang masuk. Kalau tanpa regulator, kebenaran yang ada adalah yang diviralkan, yang diakui orang banyak. Regulator yang dimaksud di sini orang dewasa terdekat di sekitar anak, termasuk orang tua, guru, pelatih, dll,” tambah Bu Wiwit.

Aktor Dwisasono dan Sha Ine Febriyanti dalam film Budi Pekerti karya sutradara Wregas Bhanutedja

“Tindakan menghukum tak selalu menjadi penyelesaian yang baik, karenanya mulailah kita mengajarkan refleksi diri. Hal itu tak mudah dilakukan awalnya. Tapi perkenalkan saja dulu kepada siswa. Dengan refleksi kita jadi bisa merenungkan apa yang telah terjadi dan memaknai apa yang akan dan mau dilakukan. Mau lanjut atau ubah, tentu kembali kepada setiap pribadi. Dan refleksi diri bisa diterapkan semua kejadian, menyenangkan maupun tidak,” imbuhnya lagi.

Senada dengan Bu Wiwit, Susi Fitri – Dept. Advokasi dan mediasi PB ABKIN, yang juga dosen Bimbingan Konseling di Universitas Negeri Jakarta, pengampu banyak konselor sekolah sebelum terjun menghadapi siswa; sempat membahas ini juga seminggu sebelumnya dalam sebuah live Instagram terutama menujukan kepada orang dewasanya.

“Internet, gadget, media sosial, hanya alat. Yang dibikin orang dewasa juga. Dengan mudah kita menyalahkan internet, memarahi siswa kebanyakan main handphone, tetapi sebagai orang dewasa kita lupa mengevaluasi diri. Apakah ketika berhadapan dengan anak, kita juga sibuk dengan handphone? Kita komentar mengapa generasi sekarang suka melakukan bullying? Tetapi, apakah kita yang mengaku dewasa ini tidak semena-mena dan merundung junior di tempat kerja? Anak-anak itu melihat contoh, kok, dari orang dewasa di sekitar.”

Kembali ke film Budi Pekerti yang akan pertama kali tayang untuk umum tanggal 2 November nanti, Prilly Latuconsina yang berperan sebagai Tita, puteri Bu Prani (Sha Ine Febriyanti), dalam podcast #DanielTetanggaKamu menuturkan alasan mengapa film ini patut ditonton di masa sekarang.

“… Kayak, oke elo ngebully orang, ini lho yang terjadi behind closed doors. Omongan elo satu dua itu bisa mengubah hidup dia gitu, dan bisa membuat si orang ini jadi sangat menderita. Gila sih, jangan sampai kita jadi orang yang sampai bikin orang lain menderita gara-gara kata-kata kita. Apalagi habis ngomong, udah kita naruh handphone kita, selesai gitu. Tapi, nggak selesai buat orang yang mengalami.”

Jleb bukan, untuk situasi bermedia sosial sekarang.

Penasaran? Bagaimana Budi Pekerti akan membuat setiap dari kita merasa tercekat, lalu mau melambatkan diri untuk tidak reaktif merespons apa yang tak kita ketahui kebenarannya?

Tayang mulai 2 November 2023 di bioskop berbagai kota di Indonesia. Tonton yuk!

  • Penulis adalah seorang bloger, pendidik, mantan guru BK, fasilitator kesehatan dan reporduksi. Lulusan IKIP Jakarta. Penerima Penghargaan dari Kementrian DIkbud . Tinggal di Yogyakarta
SEIDE

About Admin SEIDE

Seide.id adalah web portal media yang menampilkan karya para jurnalis, kolumnis dan penulis senior. Redaksi Seide.id tunduk pada UU No. 40 / 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Opini yang tersaji di Seide.id merupakan tanggung jawab masing masing penulis.