PADA buku tentang Covid 19, Titik Nol Corona saya memberi kesan bahwa Egy mengabadikan moment sejarah. Di pusat penanggulangan Covid-19, Egy merekam moment moment penting pembrantasan pandemi global itu, dan hasilnya: Indonesia terbaik dalam penangannnya. Kita dipuji dunia.
Keberanian Presiden RI Jokowi untuk tidak melakukan lockdown langsung mempertaruhkan jabatannya – ketika banyak negara lain justru melakukannya: Lockdown total. Sedangkan Jokowi mempertimbangkan hajat hidup orang banyak – selain biaya besar yang harus ditangung. Jokowi kemudian mengandalkan Letjen TNI Doni Monardo – lulusan Akmil 1985, yang pernah bertugas di Timor Timur (1995) ini – sebagai jendral perang di lapangan, dengan dukungan pasukan dari berbagai instansi.
Ini pertama untuk Letjen Doni Monardo melawan virus, dan pertama juga bagi bangsa Indonesia dan dunia. Musuh yang tak kasat mata. Korban bergelimpangan dengan cepat. HP tak henti berdering dari segala penjuru angin. Kurang tidur kurang istirat berlangsung berminggu minggu. Menguras stamina, pikiran sekaligus perasaan.
“Sudah gak penting posisi saya apakah tenaga ahli atau staf khusus atau apa saja – saya sudah jadi bagian dari degub jantung Doni Monardo, ” kenang Egy yang mengikuti kemana pun Sang Jendral pergi. Masa itu, di seluruh dunia – tak ada yang tahu kapan pandemi berakhir. Korbannya jutaan, kerugian triliunan. Mengubah lanskap kehidupan dan peradaban. Secara global, cara hidup dan bekerja manusia berubah. Work from home menjadi kosakata baru.
Kawan lama. Egy Massadiah (berkumis, dua dari kiri) saat berpose bersama Mayor Doni Monardo di tahun 1998 di Lapangan Kopassus – Cijantung, Jakarta Timur.
Dan Indonesia dalam sepak terang Letjen Doni Monardo menyelesaikan dengan baik. Dan kemudian, pernah diramalkan bahwa dampak pandemi Covid 19, akan panjang sampai 10 tahun. Namun dua tahun berlalu, semua normal kembali.
Pandemi Covid-19 berlalu. Tapi bencana alam berdatangan; banjir, longsor, gunung berapi meletus, hutan terbakar, dll. Lagi lagi Letjen Doni dan Egy menyabung nyawa. Menaiki helikopter di wilayah bencana, dimana terjadi perubahan cuaca, mendadak angin kencang, sehingga helikoter kesulitan mendarat.
“Nyawa ini sudah diserahkan untuk kepentingan bangsa, jadi kami sudah iklhaskan apa pun yang terjadi, ” katanya, saat melewati bahaya saat pesawat yang mereka tumpangi nyaris jatuh.
Dan itu masih mendapat omelan dari netizen yang memposting gambar dari lokasi : “sampai kini belum ada bantuan yang datang” – tanpa menimbang lokasi dan kondisi bencana. Selain menahan tantangan alam – berbagai hambatan menuju lokasi – tim BNPB juga harus kerap menahan emosi.
Egy Massadiah dan Doni Monardo sudah berkawan sejak 1997, dan intens berada di samping Doni saat peristiwa Mei 98 terjadi. Persahabatan di antara mereka yang beda profesi dan pengabdian terus terjaga meski kemudian jarang berjumpa.