Cangkok Jantung Babi: Tanggapan Kalangan Pemuka Agama dan Medis di Indonesia

Seide.id – Cangkok jantung menggunakan jantung babi telah dilakukan terhadap David Bennett (57) dari AS. Di satu sisi, itu menjadi solusi akan kebutuhan donor. Namun, di sisi lain, terobosan ini ramai dibicarakan ketika dikaitkan dengan agama.

Terkait kelangsungan hidup pasien yang membutuhkan organ ini, masing-masing memang memiliki pendapat sendiri-sendiri.

Dr Mohammed Ghaly

Profesor bidang Islam dan etika biomedis di Qatar’s Hamad Bin Khalifa University, ikut merespons kontraversi ini.

“Kami memiliki aturan Islam yang mengatakan, sesuatu yang dilarang bisa menjadi diperbolehkan jika ada kebutuhan medis. Bagaimanapun, menyelamatkan nyawa manusia dipandang sebagai sikap yang sangat mulia dalam Islam,” kata ia.

Alasan Dokter Muhammad Mansoor Pilih Cangkok Jantung Babi untuk Manusia

Bagaimana dengan Indonesia? Seide pun meminta pendapat dari kalangan medis dan pemuka agama di Indonesia.

Habib Bakar bin Smith

Menurut Habib Bakar bin Smith, cangkok ini marupakan sesuatu yang baru. Dengan rendah hati ia juga meminta maaf karena, “ilmunya belum sampai ke sana.” Habib ini memang dikenal rendah hati.

“Hanya untuk info, pernah ayah sewaktu anfal jantung di RSU Dr. Kandow, Malalayang, Manado, dan ada satu jenis obat suntik (menyuntiknya juga di daerah pusar). Masalahnya, obat tersebut mengandung zat-zat yang berasal dari hewan babi,” tutur ia.

Langkah yang dilakukan selanjutnya adalah bertanya kepada gurunya di Madinah.

“Saat bertanya kepada seorang guru kami di Madinah, beliau membolehkan dengan berbagai dalil. Masalah fiqih (hukum-hukum) dalam Islam ada berbagai pendapat dan tentu saja dianya mesti ahli,” jelas ia kepada Seide, pada Sabtu (15/1/2022).

Pendeta Gilbert Lumoindong

Menurut Pendeta Gilbert, cangkok jantung ini harus dilihat dari dua perspektif. Yang pertama, yang meributkan. Pendeta Gilbert lalu mengajak orang untuk menempatkan diri sebagai pasien.

“Yang meributkan ini pasti enggak kena penyakitnya dan bukan pasiennya. Karena kita harus berempati. Kalau memang pasiennya, pasti apa pun yang penting sembuh dulu. Gitu. Jantung babi, jantung babi lah,” ucap ia kepada Seide, Sabtu (15/1/2022).

“Saya teringat pada ucapan Yesus padahal itu Hari Sabat. Angkat tilammu dan berjalanlah. Orang-orang bilang, mengapa engkau memikul tilammu di Hari Sabat? Orang ini menjawab singkat, yang menyuruh aku mengangkat tilam, yang menyembuhkanku. Dengan lain kata, aku sakit juga engkau enggak peduli kan? Sekarang aku sembuh, kamu malah ribut. Kurang lebih kan begitu,” kata ia.

“Namun. Yesus memberi jawaban menarik. Bukan manusia untuk ri Sabat. Tapi hari Sabat untuk manusia. Semua aturan, hukum Tuhan, pada akhirnya untuk kebaikan manusia. Jadi, jangan diubah,” ujar ia.

“Jangan sampai akhirnya manusia yang jadi obyek. Karena pada dasarnya manusia harus jadi subyeknya. Manusia harus jadi yang utamanya. Bukan jadi pelengkap penderitanya,” lanjut ia.

Kontraversi Cangkok Jantung Babi pada Manusia

“Seperti halnya dengan larangan makan babi, semua kembali kepada orangnya. Saya percaya, karena larangan itu pada Alkitab ditujukan pada orang-orang Ibrani dan ketika saya lihat gaya hidup orang Iberani intinya,” ujar ia lagi.

“Apa pun yang untuk keselamatan manusia, apa pun yang untuk kehidupan manusia, apa pun yang untuk membuat manusia dapat memperpanjang hidupnya, akhirnya diperbolehkan,” kata iae

Yang kedua, dari yang meributkan hal ini. Dan ada dua pandangan. Dari penelitinya sendiri, dari sekolahnya sendiri yang pada dasarnya ingin menciptakan terobosan atau dari orang-orang yang hanya ingin legalistiknya.

“Mudah-mudahan, biarlah kita tidak terpancing pada legastik tapi kita justru masuk dalam terobosan-terobosan dasyat untuk pertolongan manusia. Yang ribut akan terus ribut. Tetapi, pembuat terobosan akan terus menjadi membuat terobosan,” jelasnya.

“Doa saya mari kita fokus. Kalau kita lihat dari pandangan iman Kristen, mari kita fokus seperti Yesus. Hadir untuk menyelamatkan, menolong, memberi arti dan hadir untuk memberi damai,” tutur pendeta Gilbert.

Pendeta Muriwali Yanto Matalu

Pada pertanyaan ini, Pendeta MYM menjawab singkat pada Seide.

“Sepertinya akan incompatible, manusia bukan babi, babi bukan manusia,” tuturnya.

Dokter Hendrawan Nadesul

Dokter Handrawan, yang seringkali mengingatkan tentang kesehatan jantung menanggapi hal ini dari sisi bidangnya.

“Cangkok jantung betul membantu kasus jantung yang sudah tak mungkin diatasi dengan obat atau cara pembedahan.
Kasus jantung yang berindikasi harus cangkok saya pikir tidak banyak. Lebih banyak sebab koroner,” ujarnya.

Terkait dengan kepercayaan seseorang, Dokter Handrawan mengembalikan pada keputusan pasien tersebut.

“Bagi yang berindikasi harus cangkok, dan penganut Muslim, keputusan di tangan masing- masing. Keyakinan apakah masih boleh toleransi bila tujuannya untuk terapi. Sepertinya ada ayat tentang itu.” jelas Dokter Handrawan, Seide, 15/1

Jesse Monintja, Psikolog

Sebagai Psikolog, Jesse melihatnya dari sisi ilmu dan agama.

“Ini masalah medis dan agama. Secara psikologis adalah bagaimana perasaan terhadap yg menggunakan transplantasi. Tentu bagi orang Islam pasti haram, ” tutur psikolog ini pada Seide, 15/1.

Masing-masing memang memiliki pendapat tersendiri. Namun tentang pasien penerima jantung babi, David Bennet, sampai Sabtu 15/1 ini, meski keadaanya baik, tetap dalam pengawasan tim dokter.
(ricke senduk)

Seharusnya Tidak Jadi Kontraversi, Tetapi Harmoni

Manusia: Homo Rasionale dan Miniatur Jagad (Catatan Kontroversi Cangkok Jantung Babi ke Manusia)

Avatar photo

About Ricke Senduk

Jurnalis, Penulis, tinggal di Jakarta Selatan